Karantina Wilayah Mesti Lindungi Semua Lapisan Masyarakat
Kebijakan karantina wilayah harus melindungi semua lapisan masyarakat. Pekerja informal, seperti pedagang kaki lima, buruh serabutan, dan pekerjaan harian lainnya, membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan karantina wilayah diharapkan melindungi semua lapisan masyarakat. Pekerja informal, seperti pedagang kaki lima, buruh serabutan, dan pekerjaan harian lainnya, mesti lebih diperhatikan. Pemerintah dituntut kreatif dalam hal itu.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, menjelaskan, dengan penyebaran yang begitu cepat dan mudahnya pertemuan fisik, infeksi Covid-19 menjadi kian tak terhindar. Maka dari itu, perlu ketegasan dan kreativitas semua pihak untuk mencari solusi. Karantina wilayah bisa menjadi solusi jika kebijakannya bisa dijabarkan dengan baik dan diimplementasikan ke semua kalangan.
Menurut Imam, ada dua pemahaman tentang berkerumun atau keluar dari rumah. Pertama, orang yang memiliki keperluan mendesak sekali dan tak punya pilihan. Lalu yang kedua mereka yang tidak peduli dengan penyebaran wabah penyakit mematikan ini.
”Kalau yang sedang butuh pertolongan kan tidak mungkin dilarang keluar, tetapi kalau ada yang keluar hanya untuk ngopi ini yang boleh ditindak seperti di negara lain,” kata Imam saat dihubungi, Minggu (29/3/2020), di Jakarta.
Pekerja informal, seperti buruh harian lepas, pedagang kaki lima, hingga ojek daring, akan menjadi kelompok yang paling terdampak baik secara kesehatan maupun ekonomi.
Imam menjelaskan, pekerja informal, seperti buruh harian lepas, pedagang kaki lima, hingga ojek daring, akan menjadi kelompok yang paling terdampak baik secara kesehatan maupun ekonomi. Mereka tidak punya pilihan selain tetap berada di luar dan mencari nafkah.
”Ada keluarga yang hidupnya bergantung dari penghasilan harian. Ini yang harus dipikirkan,” kata Imam.
Kebijakan untuk menunda membayar cicilan hingga satu tahun, kata Imam, sudah tepat. Namun, kebutuhan lain juga perlu dipertimbangkan, seperti listrik dan kebutuhan pokok lainnya.
”Kalau listrik di bawah 450 watt sudah pasti itu keluarga yang tidak mampu, bisa dibantu. Pemerintah harus kreatif soal ini. Bisa tidak membuat mereka (yang tidak mampu) tidak perlu ke pasar tradisional tetapi tetap terpenuhi kebutuhannya. Kalau orang kaya, mereka pasti punya stok,” kata Imam.
Imam juga mengingatkan, karantina wilayah tidak perlu hingga melakukan penutupan jalan produksi yang akan berakibat fatal pada distribusi kebutuhan pokok. ”Ini konsekuensi yang dihadapi masyarakat kurang mampu, maka perlu betul-betul disiapkan mulai dari kebijakan sampai penjabarannya,” ungkapnya.
Cegah penularan
Dari sisi kesehatan, Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, melihat pemberlakuan karantina wilayah bisa dilakukan sebagai upaya untuk mencegah yang sehat tidak sakit atau terinfeksi mengingat terbatasnya daya dukung rumah sakit di Indonesia menghadapi wabah tersebut.
”Kalau karantina wilayah kan tidak boleh keluar-masuk di wilayah tertentu dan itu diatur dalam undang-undang. Karantina itu jadi bagian dari pengendalian penularannya,” kata Yunis.
Selama ini, kata Yunis, pemerintah masih fokus pada penanganan kuratif untuk menyembuhkan warga yang tertular. Meningkatnya angka kasus positif membuktikan pembatasan sosial belum betul-betul dijalankan.
Dari data Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19, jumlah kasus positif bertambah 130 orang dari 1.046 orang menjadi 1.285 orang. Jumlah kasus kematian pun bertambah 12 orang dari 87 orang menjadi 114 orang.
Sementara pasien yang sembuh atau dua kali mendapatkan hasil negatif dari pemeriksaan mencapai 64 orang atau bertambah lima orang dari sebelumnya 59 orang. Wabah mematikan itu juga sudah menyebar di 30 provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.
”Untuk DKI Jakarta sebagai episentrum wabah di Indonesia tampaknya karantina wilayah itu bisa dijalankan dan ideal untuk saat ini,” kata Yunis.
Diam-diam
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengungkapkan, banyak sekali laporan masyarakat terkait tindakan represif aparat di daerah-daerah dalam membubarkan kerumunan. Hal itu dinilai sebagai bentuk kesewenangan dan karantina wilayah yang dilakukan secara diam-diam.
”Ini bukan darurat sipil. Hharus ada penetapan tata cara pelaksanaan karantina agar tidak seperti di India, misalnya, yang warganya dipukuli kalau keluar rumah,” kata Asfinawati.
Asfinawati menjelaskan, harus ada penetapan status darurat kesehatan dari Presiden Joko Widodo sebelum melakukan karantina wilayah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pemerintah juga perlu mengeluarkan peraturan pemerintah tentang tata cara penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat sebelum dilakukan tindakan-tindakan tertentu, termasuk karantina.
”Yang ada selama ini hanya keppres tentang pembentukan tim gugus tugas. Penetapan status darurat pun dilakukan oleh BNPB, bukan presiden. Harusnya dengan tingkat kasus seperti sekarang sudah ada status darurat kesehatan itu sebelum karantina,” kata Asfinawati.
Sebelum kebijakan-kebijakan itu dibuat, tindakan represif yang dilakukan aparat hukum terhadap warga yang berkerumun menjadi pelanggaran hak warga negara. ”Itu perbuatan melawan hukum dan semena-mena,” ujarnya.