Jelantah Dipakai di Industri Makanan
Jelantah yang sebenarnya tak layak konsumsi ternyata masih ditemukan di sejumlah usaha rumahan. Mereka sengaja membeli jelantah untuk menekan ongkos produksi.
JAKARTA, KOMPAS — Jelantah atau limbah minyak goreng diperjualbelikan sebagai bahan baku produksi usaha makanan berskala rumahan. Para pelaku terhubung dalam ekosistem bisnis yang minim pengawasan. Kesehatan konsumen menjadi taruhannya.
Investigasi harian Kompas selama 18 Februari-13 Maret 2020 menemukan jual-beli jelantah dan penggunaannya di sejumlah usaha rumahan. Praktik sudah berlangsung bertahun-tahun, produknya pun dipasarkan ke berbagai wilayah dan menjadi makanan sehari-hari masyarakat.
Salah satunya di sentra pembuatan bawang goreng di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di kawasan padat penduduk yang diapit kompleks perumahan dan jalan tol itu, ada lima usaha rumahan bawang goreng. Dari sana, bawang goreng dipasarkan di pasar tradisional, penjual bakso, nasi uduk dan makanan lainnya dengan harga Rp 120.000 per kilogram (kg).
Paryono, salah satu pemilik usaha, mengaku, dalam sehari menggunakan 20 jeriken (satu jeriken berisi sekitar 18 liter) jelantah untuk menggoreng 2,5 ton bawang merah. Sementara itu, Poniyem (54), pemilik usaha lainnya, memakai 10 jeriken jelantah untuk menggoreng 1 kuintal bawang goreng dalam sehari. Untuk penggorengan satu ton bawang goreng, penggunaan jelantah memotong ongkos hingga sekitar Rp 1 juta ketimbang penggunaan minyak baru.
Baca juga: Lika Liku Jelantah, Si Limbah Minyak Goreng
Baik Paryono maupun Poniyem membeli jelantah dengan rentang harga Rp 120.000-150.000 per jeriken. Lebih murah daripada minyak goreng curah yang saat ini harga per jerikennya mencapai Rp 180.000. ”Kalau barangnya ada, ya, kami pakai jelantah. Soalnya mau pakai jelantah, minyak curah, ataupun minyak kemasan, enggak ada pengaruh ke bawang goreng,” kata Paryono.
Seluruh kebutuhan jelantah di sana disuplai oleh pemasok yang juga merupakan warga setempat, yaitu Furqon (60). Saat ditemui di rumahnya yang berjarak 20 meter dari pabrik bawang goreng, Furqon mengaku berlangganan jelantah dari pengumpul jelantah asal Tangerang, Banten. ”Dari pengumpul harganya Rp 7.000 per liter, saya jual Rp 8.000 per liter,” ujarnya.
Pola serupa juga terbentuk di sentra pembuatan kerupuk kulit di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Pabrik Tahu SKW di Pos Pengumben, Jakarta Barat, serta pabrik tahu goreng di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
US (38), pengawas usaha tahu pong di Desa Cibadak, Kabupaten Bogor, mengatakan, jelantah diantar oleh penjualnya langsung. ”Kami menerima di sini saja, tidak cari sendiri,” katanya.
Seorang pekerja tengah menuangkan minyak jelantah di penggorengan kerupuk kulit di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (24/2/2020). Usaha itu menggunakan jelantah yang dicampur minyak baru untuk menghemat ongkos produksi.Secara nasional, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga memperkirakan, 20 persen minyak goreng yang digunakan masyarakat merupakan jelantah. Pada 2019, angkanya diperkirakan sekitar 896,55 juta liter. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 2,68 triliun-Rp 4,48 triliun. Nilai dihitung berdasarkan harga rata-rata jelantah sekitar Rp 3.000- Rp 5.000 per liter.
Mudah didapat
Bagi pemilik usaha makanan jadi, mendapatkan jelantah tidaklah sulit. Tak perlu mencari-cari, para pemasok jelantah datang sendiri menawarkan dagangannya. Bayu (21), pedagang pecel lele di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, pernah ditawari jelantah restoran. Pemasok itu mengikutinya saat berbelanja minyak goreng kemasan di Mal Blok M Square. ”Harganya murah, Rp 25.000 untuk dua kantong besar. Kelihatan minyaknya sudah kecoklatan,” katanya.
Mengumpulkan jelantah dari sumbernya pun tak terlalu sulit. Kios dan warung makanan biasanya mengumpulkan jelantahnya untuk dijual pada pengumpul yang kerap datang. Dari tangan pertama, jelantah mulai memiliki harga, yaitu berkisar antara Rp 50.000-80.000 per jeriken.
May, pemilik warung ayam goreng di Rawa Belong, Jakarta Barat, mengatakan, tidak pernah membuang jelantah. Ia mengumpulkannya untuk dijual kembali ke pengumpul yang datang setiap dua minggu sekali.
Baca juga: Ancaman Kesehatan dari Konsumsi Jelantah
Begitu juga Pujianto, pemilik warung makan di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Hasil penjualan jelantah tak bisa diprediksi karena pengumpul yang nantinya menentukan harga. Semakin kental dan kecoklatan, semakin murah harga jelantah.
Sementara itu, penghasil jelantah skala besar seperti perusahaan restoran cepat saji mempunyai aturan soal pengelolaan limbah minyak goreng. Associate Director of Communication McDonald’s Indonesia Sutji Lantyka mengatakan, limbah minyak goreng dari seluruh gerai dikelola secara terpusat.
Perusahaan itu bekerja sama dengan pihak ketiga yang telah memiliki izin pengolahan limbah dari dinas lingkungan hidup setempat. Pihak ketiga wajib memastikan limbah minyak goreng tidak digunakan sebagai bahan makanan manusia, hewan, dan tumbuhan, tetapi hanya untuk pembuatan bahan bakar biodiesel.
Ketentuan itu diperkuat dengan perjanjian secara hukum. Jika ada pelanggaran, izin perusahaan pengelola jelantah akan dicabut. Saat ditanya soal kemungkinan pegawai yang menjual jelantah diam-diam, Sutji menyatakan, semua bentuk pencurian pasti dikenai sanksi.
Direktur PT Fastfood Indonesia (Tbk) Justinus Dalimin Juwono menuturkan, limbah minyak goreng dari semua gerai KFC di Indonesia dikumpulkan per wilayah dan kota. Pada setiap lokasi pengumpulan, akan ada vendor yang mengambilnya secara berkala untuk dijadikan bahan bakar biodiesel.
Ancam kesehatan
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Reri Indriani mengatakan, jelantah bukan produk pangan. Kandungannya sudah tidak memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7709:2019 tentang Minyak Goreng Sawit, dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit Secara Wajib. Peredarannya perlu diawasi apalagi jika digunakan untuk konsumsi.
Menurut studi GIMNI, minyak goreng yang dipanaskan pada temperatur tinggi disertai kehadiran air dan udara akan mengalami kerusakan. Tiga reaksi degradasi yang terjadi, yaitu hidrolisa yang menghasilkan FFA, mono dan digliserida, kemudian oksidasi yang membentuk trigliserida dan polimerisasi. Kerusakan ini menghasilkan zat yang bersifat karsinogenik (pemicu kanker) dan memicu tumpukan kolesterol.
Direktur Kesehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali, mengatakan, jelantah untuk konsumsi membahayakan kesehatan dalam jangka panjang. ”Menurut berbagai referensi akademik, batas aman penggunaan minyak goreng maksimal dua kali pemakaian,” katanya.
Imran menduga, konsumsi jelantah merupakan salah satu dari banyak faktor yang turut memengaruhi tren kenaikan penyakit tidak menular di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, ada peningkatan prevalensi kanker, yaitu 1,8 per mil pada 2018, dari 1,4 per mil pada 2013.
Prevalensi strok pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun juga meningkat. Pada 2013, angka prevalensi adalah 7 per mil kemudian naik menjadi 10,9 permil pada 2018. Kemudian, prevalensi hipertensi pada penduduk berusia di atas 18 tahun juga naik dari 25,8 persen pada 2013 menjadi 34,1 persen pada 2018.
Dalam skripsi berjudul ”Studi Kualitas Fisis Minyak Jelantah dan Efek bagi Kesehatan Tubuh di Kecamatan Bontonompo”, Sitti Suhartina dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada 2018 meneliti sampel minyak goreng yang digunakan tujuh penjual gorengan di wilayah setempat. Frekuensi pemakaian minyak itu bervariasi, mulai dari belum pernah hingga lima kali digunakan.
Adapun produk gorengan setiap sampel itu diuji coba konsumsi pada 15 orang. Hasilnya, konsumsi makanan yang digoreng dengan jelantah sangat berpengaruh pada peningkatan kolesterol.
Kendalanya adalah pengawasan yang rumit sebab kandungan jelantah tidak bisa langsung terdeteksi pada hasil akhir makanan, seperti halnya formalin. Untuk itu, perlu ada pengawasan dari hulu penghasil makanan yang melibatkan berbagai sektor kementerian dan dinas setempat. (NIA/BKY/IRE)