Sektor Keramahtamahan Terpuruk, tetapi Pencegahan Harus Tetap Diutamakan
Wabah virus korona berdampak pada operasional 39 hotel besar di Surabaya, Jawa Timur. Namun, pencegahan dengan melaksanakan protokol tetap diutamakan terutama di kalangan pengelola usaha keramahtamahan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wabah virus korona berdampak pada operasional 39 hotel besar di Surabaya, Jawa Timur. Namun, pencegahan dengan melaksanakan protokol tetap diutamakan terutama di kalangan pengelola usaha keramahtamahan yang masih bertahan dan beroperasi.
Menurut catatan Pemerintah Kota Surabaya dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim, Senin (6/4/2020), pengurangan hingga penutupan operasional hotel berdampak pada setidaknya 3.134 pegawai di 39 hotel itu. Dampak terberat, untuk sementara ini, dilaporkan oleh Hotel Bumi Surabaya karena wabah telah memukul kehidupan 267 pegawainya.
Tingkat okupansi hotel terjun hingga kurang dari 10 persen. Minat warga ke restoran juga anjlok sampai 80 persen. Pengelola terpaksa memotong upah karyawan, merumahkan pegawai, hingga menempuh pemutusan hubungan kerja.
Kalau kursinya panjang harus diberi tanda silang supaya beberapa tidak bisa diduduki. (Antiek Sugiharti)
Meski sektor ramah tamah ini sedang terpukul hebat, pengelola yang masih berjalan tetap harus mengedepankan kewaspadaan untuk mencegah penularan virus korona. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kembali mengirim surat edaran peningkatan kewaspadaan terhadap Covid-19 kepada penyedia layanan publik, pengelola mal, perkantoran, hotel, apartemen, perumahan, restoran, rumah makan, kafe, pusat makanan, dan jasa boga.
Edaran itu terkait dengan protokol pencegahan pandemi Covid-19 di Kota Surabaya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya juga pernah mengirimkan surat edaran serupa. Namun, Wali Kota Surabaya merasa perlu mengirimkan edaran lagi untuk lebih menekankan pelaksanaan protokol pencegahan.
”Agar efektif,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Antiek Sugiharti. Perlu ditekankan kembali perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), yakni membiasakan cuci tangan dengan sabun, mencegah kontak fisik dengan orang lain, dan memakai masker. Selain itu, pengelola juga wajib menyediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan cairan pembersih tangan.
Baca juga: Surabaya Matangkan Aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Setiap pengunjung yang datang harus diperiksa setidaknya suhu tubuh. Pemeriksaan harus dilakukan sebelum pintu masuk. Di dalam ruang, tempat duduk harus diatur berjarak minimal 1-2 meter.
”Kalau kursinya panjang harus diberi tanda silang supaya beberapa tidak bisa diduduki,” kata Antiek.
Antiek mengatakan, meski sektor keramahtamahan sedang terpukul, yang masih berjalan tetap harus melaksanakan protokol pencegahan. Jika protokol diabaikan, dampaknya akan lebih luas dan mengerikan. Keselamatan manusia (pegawai dan konsumen) tetap menjadi yang utama sehingga tidak bisa mengelak dari prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan.
Meski demikian, sejak protokol penanganan Covid-19 diberlakukan, hampir seluruh pelaku usaha sudah menerapkan di tempat usaha masing-masing. Tidak hanya mengamankan tempat usaha dari penyebaran virus korona, tetapi juga diberlakukan secara ketat terhadap karyawan dan pengunjung.
Ketua PHRI Jatim Dwi Cahyono yang dihubungi terpisah mengatakan, sektor usaha perhotelan dan restoran pada prinsipnya mengutamakan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan konsumen. Jika ada pengelola usaha yang mengabaikan protokol, niscaya kepercayaan konsumen akan hilang.
Menurut Dwi, pengelola hotel dan restoran didorong dan diyakini akan patuh dengan permintaan pelaksanaan protokol pencegahan penularan virus korona. Bahkan, penghentian operasi suatu hotel dan restoran dilihat dari sisi lain juga merupakan langkah pencegahan penularan. Namun, langkah ini berdampak pada ketidakpastian usaha dan ketidaknyamanan pegawai karena ada yang terpaksa dirumahkan, dipotong upahnya, bahkan diberhentikan.
”Kami berharap pemerintah sekuat tenaga mengatasi wabah ini secepatnya. Kelesuan ekonomi tidak boleh terlalu lama,” kata Dwi. PHRI Jatim juga mengajukan permintaan relaksasi pajak kepada pemerintah provinsi dan atau kabupaten/kota. Selain itu, juga meminta penundaan hingga keringanan dalam pembayaran rekening listrik dan air.