Orang Dalam Pemantauan di NTT Belum Patuh Aturan, Pengawasan di Pintu Masuk Lemah
Orang dalam pemantauan yang khusus menjalani karantina mandiri di Nusa Tenggara Timur sebagian besar tidak menaati protokol pencegahan dan penanggulangan Covid-19 akibat pengawasan di pintu masuk masih lemah.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Orang dalam pemantauan yang khusus menjalani karantina mandiri di Nusa Tenggara Timur sebagian besar tidak menaati protokol pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Pengawasan di pintu masuk pun lemah. Kasus pertama Covid-19 di NTT diduga telah menyebarkan Covid-19 ke sejumlah orang dan tempat.
Pengamatan di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/4/2020), dilakukan terhadap salah satu maskapai penerbangan yang membawa 89 penumpang. Begitu turun dari pesawat, penumpang antre masuk bilik disinfektan, tanpa menjaga jarak. Mereka masih berjubel dan berebutan posisi terdepan, kebiasaan yang tidak pernah berubah.
Setiap penumpang sekali berputar badan di dalam bilik disinfektan sambil membawa barang di badan lalu keluar dari dalam bilik. Penumpang kemudian diberikan kartu health alert card (HAC) atau kartu kewaspadaan kesehatan. Sebanyak 89 penumpang itu, yang mendapatkan kartu sekitar 30 orang. Sebagian besar penumpang tidak mendapatkan HAC, mereka pun berjalan meninggalkan bandara begitu saja, melewati thermoscan.
Selain HAC yang terbatas, jumlah bolpoin pun hanya lima buah. Kursi tempat duduk untuk menulis data diri ada lima dengan tiga meja kira-kira seukuran meja belajar siswa. Manusia berjubel di ruang kecil berukuran 3 meter x 4 meter. Ruangan itu merupakan pemisahan sebagian dari ruang pengambilan bagasi penumpang.
Mengapa EA (34), pasien Covid-19 pertama di NTT, datang di Bandara El Tari setelah melakukan perjalanan dari Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar, Jumat, 22 Maret 2020 tidak terdeteksi peningkatan suhu tubuhnya oleh alat itu. (Danny Christian)
Petugas jaga pun menuruti kemauan penumpang. Mereka menonton saja perilaku penumpang seperti berdiri dan antre saling berdempetan. Puluhan penumpang tidak mengenakan masker.
Direktur Rumah Sakit Imanuel Waingapu, Sumba Timur, Danny Christian mengatakan, fungsi thermoscan yang dipajang di pintu keluar Bandara El Tari pun dipertanyakan.
”Mengapa EA (34), pasien Covid-19 pertama, datang di Bandara El Tari setelah melakukan perjalanan dari Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar, Jumat, 22 Maret 2020, tidak terdeteksi peningkatan suhu tubuhnya oleh alat itu,” ujarnya.
Padahal EA diduga terpapar Covid-19 sejak 13 hari sebelumnya terhitung sejak pertemuan EA di Jakarta 9 Maret. EA diduga tidak tertib menjalani masa karantina selama 14 hari meskipun pengakuan EA melalui Youtube antara lain menyebutkan, begitu tiba di rumah kediaman di Kupang EA langsung mengisolasi diri sampai Jumat, 27 Maret, setelah melapor diri ke RSUD Yohannes Kupang. Hal itu dilakukan setelah ia mendengar dari teman kelompok Jakarta bahwa tiga orang dari mereka terpapar Covid-19.
Seharusnya pihak rumah sakit Yohannes Kupang langsung mengisolasi EA begitu selesai mengambilan sampel spesimen di rumah sakit itu. EA datang ke rumah sakit itu dengan alasan telah mendengar empat rekannya yang sama-sama mengikuti pertemuan di Jakarta pada 9-13 Maret positif terpapar Covid-19.
Sempat bepergian
Saat EA balik ke rumah menunggu hasil tes usap (swab) dari rumah sakit, ia bepergian ke sejumlah tempat, seperti pusat perbelanjaan, bertemu teman, dan anggota keluarga di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kupang. Diduga, virus yang dibawa EA itu sudah menyebar luas di Kota Kupang, bahkan ke luar wilayah itu, seperti Oelamasi, Soe, Kefamenanu, Atambua, dan Betun.
Selain EA yang sudah dua kali diambil swab hasilnya positif, sesuai hasil tes cepat, juga ada lima orang NTT yang positif Covid-19, tiga orang di Maumere dan dua orang di Rote Ndao. Meski demikian, tes cepat butuh pemeriksaan lanjutan berupa tes polymerase chain reaction (PCR) untuk membuktikan itu.
Prediksi Christian, NTT akan memasuki masa booming kasus Covid-19 akhir April-awal Juni 2020. Pada masa itu banyak korban akan berjatuhan. Daya tahan tubuh yang rentan, daya beli rendah, kesulitan (kurang kreasi) memiliki masker, pola hidup bersih terabaikan, dan air bersih terbatas sebagai salah satu pemicu peningkatan kasus di NTT.
”Tanpa Covid-19 saja masalah kemanusiaan di NTT sudah banyak. Semua dipicu oleh kemiskinan. Kebanyakan orang NTT makan hanya satu kali sehari. Itu pun menu makan sangat sederhana. Gagal panen karena kekeringan sebagai penyebab,” kata Christian.
Jika kasus Covid-19 mulai meluas di NTT, itu sangat berbahaya, terutama kelompok warga miskin, semakin tak berdaya hidup. Kelompok ini jarang mendapat perhatian pemerintah, terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat perkotaan.
Sisi lain, data warga miskin yang dimiliki pemda tidak akurat. Data yang diambil dari BPS setempat merupakan hasil analisis di atas kertas, bukan hasil perolehan dari ketua RT/RW di seluruh NTT. Data orang miskin terus menurun, tetapi fakta di lapangan malah warga miskin terus bertambah.
Direktur Yayasan Tukelakang Marianus Minggo mengatakan, supaya orang NTT di perantauan tidak masuk ke daerah ini, pemprov membuka posko khusus bagi mereka di perantauan. Orang NTT itu tidak perlu datang ke kampungnya karena pemerintah daerah mengirim mereka uang untuk biaya hidup selama masa pandemi Covid-19.
”Pusat panggilan Covid-19 yang dimiliki Pemprov NTT harus dilengkapi dengan nomor telepon khusus bagi mereka yang ada di perantauan. Mereka yang merasa diri warga NTT bisa menghubungi panitia kemudian diklarifikasi dengan anggota keluarga dan ketua RT yang ada di NTT mengenai keberadaan orang tersebut,” kata Minggo.
Dengan cara ini, warga NTT di provinsi lain tidak perlu berbondong-bondong datang melalui udara dan laut. Risikonya sangat besar bagi pemprov dan masyarakat di NTT. Jauh lebih baik pemda mengirim uang bagi mereka di perantauan dibandingkan berjuang menyembuhkan pasien Covid-19 di tengah berbagai keterbatasan.
Ia mengatakan, menanggulangi Covid-19, Pemprov NTT menggelontorkan dana Rp 275 miliar. Dengan dana sebesar itu, sebaiknya tidak perlu ragu mengeksekusi program strategis dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 di daerah ini.
Selain itu, semua orang yang masuk dalam kategori pemantauan atau ODP di NTT wajib dikarantina selama 14 hari oleh pemprov atau pemkab/pemkot. Mereka jangan diberi kesempatan melakukan karantina mandiri. Alasannya, memberi peluang karantina mandiri sama dengan membiarkan Covid-19 menyebar ke mana-mana.