Tanpa Ketegasan Pemerintah, 3,79 Juta Orang Diperkirakan Bakal Mudik
Mudik jelang lebaran merupakan tradisi yang berperan mendistribusikan kesejahteraan ekonomi ke daerah. Namun, di tengah pandemi Covid-19, mudik rentan memperluas penularan virus korona baru. Pemerintah diminta tegas.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebulan lagi, dalam suasana normal, musim mudik hari raya Idul Fitri akan berlangsung. Tanpa intervensi tepat, mudik di tengah pandemi Covid-19 akan makin menyebarkan virus korona baru dari wilayah episentrum di Jabodetabek ke berbagai daerah. Upaya untuk mengakhiri wabah pun akan semakin sulit.
Survei tim studi resiliensi dan perilaku sosial Panel Ilmu Sosial untuk Penanganan Covid-19 yang terdiri atas sejumlah lembaga menunjukkan, sebanyak 44 persen responden masih ingin mudik pada Lebaran tahun 2020 ini. Lebih dari 82 persen reponden akan mudik selama cuti bersama dan setelah Idul Fitri. Survei dilakukan melalui media sosial dan internet dengan domisili responden dominan di Jawa dan sekitar 70-80 persen responden berpendidikan tinggi.
”Pemudik dari Jabodetabek akan menyebar ke hampir semua provinsi di Indonesia,” kata Rusli Cahyadi, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga Koordinator Kaji Cepat Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional untuk Covid-19, dalam webinar ”Dilema Pandemi Korona: Mudik atau Tidak?”, Selasa (14/4/2020).
Padahal, Jabodetabek adalah episentrum korona di Indonesia. Hingga Selasa sore, 48 persen kasus positif Covid-19 di Indonesia berada di DKI Jakarta. Demikian pula dari jumlah korban meninggal akibat penyakit ini, 53 persennya ada di Jakarta. Situasi itu dikhawatirkan akan membuat para pemudik yang menjadi pembawa virus (carrier) akan menyebarkannya ke orang lain dan khalayak lebih luas.
Kekhawatiran itu cukup beralasan. Kepala Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI), yang juga peneliti Lembaga Demografi UI, Chotib Hasan, mengatakan, jika tidak ada intervensi pemerintah untuk mengendalikan mudik 2020, diperkirakan akan ada 3,79 juta penduduk Jakarta mudik. Sebagian pemudik yang balik akan membawa orang lain hingga total yang masuk Jakarta diprediksi mencapai 3,84 juta orang.
Kondisi itu akan bisa menyebarkan virus ke daerah tujuan mudik. Repotnya, tujuan utama pemudik dari Jakarta adalah Jawa Tengah sebanyak 38,4 persen, Jawa Barat (33 persen), Banten (7,6), DI Yogyakarta (7,3) dan Jawa Timur (7,2). Di daerah tujuan itu, banyak warga lansia yang lebih berisiko tertular Covid-19.
Saat balik, pemudik itu akan menambah jumlah kasus orang dalam pemantauan (ODP) di Jakarta. Itu akan membuat kasus baru terus bermunculan di Jakarta dan terus memberi beban bagi tenaga kesehatan dan pemerintah.
Jika ada intervensi melalui pembatasan mudik, baik mulai dari lokasi asal, selama perjalanan, hingga di daerah tujuan, jumlah pemudik asal DKI Jakarta tahun 2020 ini diperkirakan hanya sekitar 735.000 orang dan jumlah yang balik sekitar 744.000 jiwa.
Intervensi itu dapat berupa imbauan tidak mudik, kewajiban mendapat keterangan sehat dari pemerintah asal, penerapan protokol kesehatan dan pembatasan fisik selama di perjalanan dan kendaraan, hingga kewajiban karantina 14 hari di lokasi tujuan sebelum bertemu keluarga dan larangan saling berkunjung. Berbagai aturan itu diyakini akan membuat pemudik berpikir ulang.
”Intervensi diharapkan bisa mengendalikan jumlah ODP (orang dalam pemantauan), segera melandaikan grafik pertambahan jumlah kasus baru di Jakarta, hingga tidak menimbulkan gelombang penularan kedua di Jakarta,” kata Chotib.
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia Sudibyo Alimoeso menilai pemerintah menghadapi dilema apakah membolehkan atau melarang mudik warga selama Lebaran mendatang. Jika diperbolehkan, mudik dikhawatirkan akan menyebarkan Covid-19 ke daerah hingga jumlah mereka yang terinfeksi makin besar, makin luas, dan menyulitkan penjejakan kasus.
”Mudik juga akan memberi beban berat ke daerah, baik dalam penganggaran maupun pengendalian Covid-19,” katanya.
Saat ini, aparatur sipil negara, TNI-Polri, dan pegawai BUMN-BUMD sudah dilarang mudik. Sementara, untuk masyarakat umum, belum ada mekanisme pelarangannya. Selain itu, mudik masih dipandang sebagai fenomena sosial-ekonomi hingga pelarangan mudik dikhawatirkan menghambat penyebaran kesejahteraan dan ekonomi.
Sementara itu, dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang juga peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Sukamdi, mengaku tidak yakin imbauan pemerintah untuk tidak mudik bisa menahan masyarakat tidak kembali ke kampung asalnya.
”Imbauan tidak mudik akan sulit dipatuhi karena mudik adalah fenomena sosial budaya. Selain itu, aktivitas di sektor informal dan perdagangan di Jakarta sudah hilang sehingga mereka kehilangan penopang ekonominya dan harus pulang,” katanya.
Sebagian pulang kampung
Saat ini, mudik sebenarnya sudah terjadi, sejak dilakukan pembatasan sosial di Jakarta pada akhir Maret lalu meski tidak terkait dengan puasa atau Lebaran. Warga mudik, juga bisa disebut sebagai pulang kampung, karena kehilangan sumber pendapatannya akibat berkurangnya aktivitas ekonomi Jakarta dan berharap mendapat dukungan ekonomi di daerah asalnya.
Karena itu, pemudik tahun 2020 ini pasti bakal berkurang, bukan karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan sejak 10 April 2020, melainkan karena sebagian orang memang sudah pulang kampung sebelum masa mudik yang lazimnya berlangsung mendekati atau saat puasa.
Namun, pembatasan mudik melalui berbagai intervensi yang mempersulit pemudik dipastikan akan membuat pemudik berpikir ulang untuk mudik. Belum lagi, munculnya penolakan dari warga di sejumlah daerah yang juga akan menghambat pemudik.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menegaskan, pemerintah melakukan intervensi intensitas tinggi untuk membuat grafik pertambahan kasus Covid-19 segera melandai. Dengan demikian, jumlah korban dapat ditekan dan upaya yang dilakukan selama ini untuk mencegah penyebaran Covid-19 tidak sia-sia.
Intensitas tinggi itu dilakukan dengan meningkatkan cakupan tes massal serta mewajibkan pembatasan jarak seperti yang dilakukan selama PSBB. Dengan PSBB, jumlah kumulatif kasus Covid-19 di Indonesia diharapkan dapat ditekan hingga seperempatnya dibandingkan dengan ketika tidak dilakukan intervensi.
”Saat ini, makin banyak daerah yang mengajukan PSBB sehingga penanggulangan Covid-19 akan lebih intensif lagi,” katanya.