Wabah Covid-19 menampilkan sisi gelap dan terang manusia. Ada yang memanfaatkan pandemi untuk kepentingan pribadi, tetapi teramat banyak yang kemudian bersolidaritas menggalang rasa kemanusiaan menolong yang terdampak.
Oleh
sekar gandhawangi
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 menumbuhkan empati publik. Masyarakat bergotong royong menggalang dana, menghimpun bantuan, lalu menyalurkannya ke orang-orang yang terdampak pandemi. Hal ini menumbuhkan harapan sekaligus memberi sinyal bagi pemerintah untuk mendistribusikan bantuan secara merata.
Pada film El Hoyo atau The Platform (2019) keluaran Netflix, Goreng (Iván Massaguè) mengenal solidaritas dalam penjara vertikal berdinding beton. Penjara ratusan tingkat ini dikenal dengan sebutan Lubang. Masing-masing tingkat diisi dua orang tahanan.
Sekali sehari, ada meja besar berisi segala jenis makanan yang turun dari tingkat 0 ke tingkat paling bawah. Meja itu berhenti sebentar di tiap tingkat agar para tahanan bisa makan. Tahanan bebas makan apa pun dan sebanyak yang mereka mau.
Goreng dan rekannya di tingkat 48, Trimagasi (Zorion Eguileor), selalu kebagian makanan sisa. Orang-orang dari tingkat atas makan dengan membabi buta tanpa peduli nasib orang di tingkat bawah.
Akibatnya, kekerasan, pembunuhan, dan praktik bunuh diri menjadi lazim di tingkat bawah. Bagi orang di tingkat bawah, ketamakan orang tingkat atas menyisakan dua pilihan: membunuh atau dibunuh.
Solidaritas spontan
Kepedulian Goreng pada orang di tingkat bawah menguap karena tekanan penjara. Ia yang dulu idealis kini hanya ingin keluar dari penjara hidup-hidup. Namun, kepeduliannya dibangkitkan kembali oleh rekan barunya di tingkat 33, Imoguiri (Antonia San Juan).
”Jika semua orang makan sesuai kebutuhan, (makanan) akan sampai ke tingkat terendah,” kata Imoguiri. ”Sesuatu harus terjadi di sini pada akhirnya. Sesuatu yang memicu solidaritas spontan,” sambungnya.
Solidaritas yang ia maksud dimulai dengan menyisihkan dua piring makanan untuk tahanan di bawahnya. Ia berharap agar aksinya diikuti oleh tahanan lain sehingga orang di tingkat terbawah dapat ikut makan.
Sutradara The Platform, Galder Gatzelu-Urrutia, pada wawancara dengan The Guardian mengatakan, film ini perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kehidupan saat pandemi Covid-19. Krisis dapat menyingkap stratifikasi masyarakat dan naluri keegoisan pribadi.
”Ketika keadaan memburuk dan kita terdesak, kita menjadi sangat egois dan mulai menimbun segala hal untuk berjaga-jaga. Kita tidak menyadari bahwa keserakahan itu berarti banyak bagi orang yang membutuhkan,” kata Gatzelu-Urrutia.
Di Amerika Serikat, masyarakat yang cemas melakukan panic buying sehingga stok bahan pangan dan pokok terganggu. Para lansia dan kelompok rentan lainnya terpaksa pulang dengan keranjang belanjaan yang kosong. Selain itu, panic buying juga membuat stok tisu toilet di pasaran berkurang.
Pemerintah Indonesia telah mengimbau agar masyarakat tidak panik dan membeli stok pangan dan bahan pokok secukupnya awal Maret 2020. Stok pangan dan non-pangan dipastikan aman.
Ketika keadaan memburuk dan kita terdesak, kita menjadi sangat egois dan mulai menimbun segala hal untuk berjaga-jaga. Kita tidak menyadari bahwa keserakahan itu berarti banyak bagi orang yang membutuhkan.
Kendati demikian, pandemi membuka kesempatan sejumlah orang untuk menimbun masker dan cairan pembersih tangan. Masker dan cairan itu kemudian dijual dengan harga tinggi. Kasus ini diungkap Kepolisian Resor Bogor pada Maret 2020.
”Harga awal cairan pembersih tangan itu Rp 20.000 per botol dan dijual tersangka Rp 120.000 per botol. Sementara harga awal satu kotak masker Rp 20.000 per kotak, kemudian dijual Rp 345.000 per kotak,” kata Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy (Kompas, 9/3/2020).
Bantuan berkelanjutan
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, mengapresiasi program penggalangan bantuan yang dilakukan publik selama pandemi. Menurut dia, program tersebut akan lebih baik apabila didukung sistem dan pendataan yang baik. Tujuannya agar bantuan tersebut berkelanjutan bagi kelompok rentan yang terdampak pandemi.
”Gerakan seperti ini pada umumnya bersifat one-shot (satu kali) dan tidak rutin terjadi. Agar manfaat bantuan dapat dirasakan lebih lama, perlu dibuat sistem agar distribusinya tidak sporadis. Pemetaan kelompok rentan juga diperlukan,” katanya saat dihubungi, Jumat (17/4/2020).
Imam mengatakan, belum ada data yang memadai tentang kelompok rentan di Indonesia, antara lain keluarga prasejahtera, lansia, ibu hamil, dan warga disabilitas. Variabel kerentanan penduduk pun perlu didata secara lengkap agar bantuan yang diberikan tepat sasaran. Pendataan juga berguna untuk menentukan skala prioritas.
Pendataan ini, menurut Imam, dapat dilakukan oleh masyarakat akar rumput dari tingkat RT/RW. Tokoh masyarakat dan kelompok pemberdayaan kesejahteraan keluarga juga perlu dilibatkan.
Ada sejumlah penggalangan dana yang dilakukan masyarakat untuk merespons Covid-19 selama ini. Aksi ini dilakukan di beragam platform, seperti media sosial, laman Kitabisa.com, hingga dilakukan secara swadaya oleh individu atau kelompok kecil. Bantuan yang diberikan beragam, antara lain bahan pangan, pokok, masker, vitamin, dan uang tunai.
Bagi sebagian orang, bantuan yang mereka berikan tampak kecil. Namun, siapa yang tahu bantuan kecil pun akan sangat berarti bagi mereka yang tengah terpuruk.