Dalam berjuang menangani Covid-19, tenaga perawat harus membatasi diri, termasuk saat bertemu keluarga tercinta. Mereka perlu didukung secara nyata demi memutus rantai penyebaran, bukannya diberi stigma.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Dengan profesi yang rentan terpapar virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19, para perawat kini berupaya menyesuaikan diri dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka tak lagi bebas berkontak dengan orang lain, bahkan keluarga sendiri. Sebuah pengorbanan demi segera berakhirnya pandemi.
Hal itu antara lain dilakukan Nur Cahyo Sasongko (33), perawat di ruang perawatan intensif (ICU) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi, Semarang, Jawa Tengah. Istrinya juga perawat di rumah sakit tersebut, tetapi tak merawat pasien terkait Covid-19.
Saban ia dan istrinya bertugas, Koko, panggilan Nur Cahyo, menitipkan kedua anaknya yang berusia 5 tahun dan 1,5 tahun ke pengasuh yang juga tetangganya. Selama Covid-19 mewabah, Koko sebenarnya lebih memilih menginap di RS. Namun, itu tak dilakukan karena tak mungkin ia sepenuhnya menyerahkan kedua anaknya kepada pengasuh.
Bertugas di ICU, Koko merawat sejumlah pasien Covid-19, baik pasien dalam pengawasan (PDP) maupun positif. Dengan tingkat risiko tinggi atau zona merah, penggunaan alat pelindung diri (APD) harus benar-benar lengkap dan terstandar.
Saat mendapat shift pagi, Koko bertugas pukul 07.00-14.00. Sebelum pulang dari bertugas, ia mandi dulu di kamar mandi khusus perawat yang menangani pasien isolasi. ”Sabun, keramas, bilas. Saya lakukan sampai tiga kali,” kata Koko, Minggu (19/4/2020).
Di masa pandemi Covid-19, tiada lagi senyum tawa anak-anak yang menyambutnya pulang. Itu memang permintaannya karena ia masih perlu mandi sekali lagi di rumah. Setelah itu, baru ia meminta pengasuhnya untuk mengantarkan kedua buah hati ke rumah.
Meski sudah membilas tubuh berkali-kali, kekhawatiran selalu ada. Koko berusaha menjaga jarak dengan anak-anaknya. Pelukannya tak seerat dulu, ciuman di pipi tak selekat biasanya.
Sebelumnya, ia tidur berempat dengan istri dan kedua anaknya. Kini, ia memilih mengasingkan diri. ”Saya mengisolasi diri di kamar lainnya. Mereka tidur bertiga karena istri saya tingkat risikonya lebih rendah saat bertugas,” katanya.
Koko sebenarnya merasa lebih aman jika anak-anak diasuh orangtuanya di Kabupaten Kudus. Namun, imbauan pemerintah untuk tak mudik membuatnya berpikir dua kali. Sebab, pemudik harus dikarantina 14 hari. Ia pun tak mau warga sekitar rumah orangtuanya jadi tak nyaman.
Kalau bisa memilih, tentu inginnya aman. Tak mau tertular atau menulari. Namun, kami sudah melakukan sumpah profesi. Apa pun penyakitnya, kami harus tetap merawat.
Tentu Koko tidak mengira situasi menjadi tak ideal. ”Kalau bisa memilih, tentu inginnya aman. Tak mau tertular atau menulari. Namun, kami sudah melakukan sumpah profesi. Apa pun penyakitnya, kami harus tetap merawat,” ujarnya.
Lingkungan mendukung
Meski banyak cerita minor tentang stigma terhadap perawat, Koko bersyukur tak mendapat perlakuan seperti itu di lingkungan rumahnya. Justru ia sendiri yang membatasi diri untuk tak berkontak dulu dengan warga sekitar.
”Ketua RT pun sudah menyampaikan tak apa-apa. Malah mendoakan agar selalu sehat dan diberi kelancaran. Kami mendapat banyak dukungan,” ujarnya.
Koko, yang bekerja di RSUP Dr Kariadi sejak 2012, berharap masyarakat turut serta mendukung putusnya rantai penularan Covid-19. Selama pandemi belum berakhir, ia meminta warga mengurangi aktivitas di luar rumah jika tak ada hal mendesak.
Selain itu, ia juga berharap warga yang memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan untuk jujur. ”Sebab, kami petugas kesehatan melakukan assessment dan pengobatan sesuai apa yang kami dapatkan. Warga harus jujur dan menjaga kesehatan,” kata Koko.
Sempat dikucilkan
Sementara itu, di Kabupaten Grobogan, ada sejumlah laporan atau aduan stigma masyarakat terhadap perawat. Namun, umumnya perawat bisa memahami akan keterbatasan informasi warga mengingat SARS-CoV-2 merupakan virus baru.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Grobogan Puji Krisdiyantoro mengatakan, ia mendapat laporan adanya pengucilan dari warga di sejumlah desa. Namun, suka duka tersebut dianggap sebagai bagian dari ujian di masa pagebluk.
”Mereka merasa dikucilkan. Istri saya, seorang perawat, pun demikian, saat hendak membeli makanan di dekat RS. Dia diminta untuk menunggu di luar. Sampai di rumah menangis. Namun, tidak apa-apa, kita memang sama-sama sedang menghadapi ujian,” kata Krisdiyantoro.
Ia menambahkan, saat menerima aduan dari perawat, ia biasanya langsung berbicara, baik bertemu langsung maupun menelepon, untuk menenangkan. Menurut dia, para perawat awalnya syok, tetapi lama kelamaan kondisinya membaik.
Krisdiyantoro memaklumi masyarakat yang panik di tengah pandemi. Menurut dia, semua dapat dibicarakan dengan baik-baik. ”Itu juga tak menjadi alasan bagi perawat untuk tak melayani dengan baik. Kami sudah sumpah profesi, maka tetap akan melayani dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Sementara itu, para perawat RSUD Dr R Soedjati Soemodiardjo menjalani karantina mandiri selama seminggu setiap habis bertugas. Karantina, antara lain, dilakukan di rumah dinas wakil bupati dan beberapa wisma yang dijadikan tempat karantina.
”Jadi, perawat pasien Covid-19 bertugas per tim. Satu tim selesai langsung karantina mandiri. Di RSUD Dr R Soedjati, ada sekitar 500 perawat sehingga tenaga perawat mencukupi untuk bekerja secara bergiliran dan karantina rutin,” katanya.
Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jateng Edy Wuryanto menuturkan, sosialisasi dan edukasi tentang Covid-19 penting dilakukan pemerintah secara sistematis. Ini agar ada pemahaman bersama di masyarakat sehingga tak ada lagi stigma pada tenaga kesehatan.
Selain itu, ketersediaan alat pelindung diri (APD) terstandar juga perlu dipenuhi lebih banyak, terutama ke daerah-daerah. ”Saya pantau yang mendesak ada di puskesmas-puskesmas. APD harus dipastikan standar karena sekarang tidak tahu mana yang sudah terinfeksi mana yang belum. Sebab, banyak yang tanpa gejala,” katanya.
Tenaga kesehatan, termasuk perawat, kini menjadi tembok terakhir dalam penanganan Covid-19. Kelengkapan APD terstandar mutlak diperlukan mengingat tingginya risiko yang dihadapi. Mereka pun memerlukan dukungan nyata, bukan stigma.