Puasa Membuang Racun dan Memperbarui Sel Kekebalan Tubuh
Puasa selain sebagai ritual agama, bisa menjaga kesehatan fisik dan mental. Pola makan berjarak waktu panjang mampu mengatur ulang sistem kekebalan tubuh, menurunkan kadar gula darah, dan membuang racun tubuh.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Jumat (24/4/2020), umat Muslim di Indonesia mulai berpuasa dan bakal berlangsung selama sebulan. Sebenarnya berpuasa bukan hanya dilakukan umat Muslim. Selama berabad-abad, pola makan mirip puasa dipraktikkan bangsa dan agama lain dengan cara masing-masing demi kesehatan fisik dan mental.
Bangsa Romawi kuno memiliki kebiasaan makan besar sekali sehari pada sore hari. Pada pagi dan siang hari, mereka hanya makan sesuatu yang sederhana, ringan, dan cepat. Mereka berkeyakinan, makan lebih dari sekali sehari justru tidak sehat. Umat Kristiani banyak yang berpuasa pada Jumat Agung, sedangkan penganut Yahudi berpuasa pada Yom Kippur.
Penelitian pada warga gereja Advent di Utah, Amerika Serikat, yang menjalankan kebiasaan makan dua kali sehari, pada pagi dan sore hari, memperlihatkan, gaya hidup itu membuat mereka lebih sehat dan lebih panjang usia dibandingkan dengan penduduk AS pada umumnya.
Manfaat puasa dipaparkan dalam berbagai penelitian dan kajian, di antaranya bisa memperbaiki metabolisme, menurunkan kadar gula darah, mengurangi peradangan sehingga memperbaiki kondisi autoimun mulai dari artritis hingga asma, membersihkan racun tubuh dan membuang sel rusak sehingga menurunkan risiko kanker, serta memperbaiki fungsi otak.
Kajian Antonio Paoli dari Departemen Ilmu Biomedis, Universitas Padova, Italia, bersama sejumlah ilmuwan Italia dan AS yang dimuat di jurnal Nutrients, Maret 2019, menyatakan, mengurangi asupan makanan dan kalori selama siang hari dengan makan berjarak 6-8 jam mampu melindungi diri dari diabetes, gangguan jantung, kanker, dan degenerasi saraf.
Menurut Paoli, puasa Ramadhan yang berlangsung 12-16 jam dapat merangsang autofagi, yakni pembersihan sel yang rusak lewat pergantian organel (struktur dalam sel yang melakukan fungsi tertentu, misalnya mitokondria, ribosom) dan daur ulang komponen sitoplasma (bagian sel yang terbungkus membran sel).
Pada jantung dan pembuluh darah, autofagi penting untuk menjaga fungsi kardiovaskular normal. Gangguan pada proses autofagi dikaitkan dengan hipertensi, obesitas, diabetes melitus, dan kerusakan organ.
Meta analisis yang dilakukan tahun 2013 dari 30 penelitian pengamatan pada laki-laki dan perempuan muda sehat untuk melihat apakah puasa Ramadhan mengubah respons biologis di samping pengurangan berat badan menunjukkan, puasa menurunkan kadar glukosa darah. Pada perempuan, kadar kolesterol baik (high density lipoprotein/HDL) meningkat signifikan. Pada laki-laki, terjadi penurunan signifikan pada berat badan, kolesterol total, dan trigliserida.
Puasa Ramadhan juga dikaitkan dengan penurunan signifikan konsentrasi penanda inflamasi (peradangan), seperti CRP, IL-6, dan TNF-α. Demikian Ruth E Patterson dan Dorothy D Sears dari Departemen Kedokteran Keluarga dan Kesehatan Masyarakat, Universitas California, San Diego, AS, dalam Annual Review of Nutrition, Agustus 2017.
Pengurangan peradangan dalam tubuh, selain menurunkan gangguan autoimun seperti alergi, rematik, dan gangguan lain, juga mencegah penyakit akibat degenerasi saraf. Penelitian pada binatang percobaan di laboratorium memperlihatkan bahwa puasa bisa mencegah serta memperbaiki kondisi penderita alzheimer dan parkinson.
Penelitian lain menunjukkan, puasa Ramadhan yang dilakukan pasien diabetes tipe 2 selama 15-21 hari bisa menurunkan secara signifikan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) sekitar 0,5 poin. Hal ini menunjukkan, kontrol kadar gula darah meningkat secara substansial selama puasa Ramadhan.
Kontrol kadar gula darah meningkat secara substansial selama puasa Ramadhan.
Saat berpuasa, sekitar delapan jam sejak makan terakhir, untuk mendapatkan energi, tubuh mengurai glukosa yang tersimpan dalam hati dan otot. Setelah glukosa habis, tubuh mulai membakar lemak. Selain menurunkan berat badan, menurut Razeen Mahroof dari Universitas Oxford, Inggris, sebagaimana dikutip Medicalnewstoday.com, pembakaran lemak membantu menjaga otot dan mengurangi kadar kolesterol darah.
”Selain itu, terjadi proses detoksifikasi. Racun yang disimpan dalam lemak tubuh dilarutkan dan dikeluarkan dari tubuh,” katanya.
Setelah beberapa hari berpuasa, kadar endorfin akan meningkat. Produksi hormon yang menimbulkan rasa bahagia itu berdampak positif pada kesehatan mental.
Penelitian yang dilakukan Valter Longo dan kolega dari Universitas Southern California, Los Angeles, AS, mendapatkan, puasa mampu mengatur ulang sistem kekebalan tubuh, membersihkan sel yang rusak, dan memperbarui sel kekebalan tubuh.
Puasa melindungi kerusakan sel akibat penuaan ataupun kemoterapi. Hal itu dibuktikan pada pasien kanker yang berpuasa tiga hari menjelang kemoterapi. Sistem kekebalan tubuh mereka terlindungi dibandingkan dengan yang tidak berpuasa, melalui regenerasi sel imun.
”Saat Anda kelaparan, tubuh berupaya menghemat energi. Salah satunya dengan mendaur ulang sel-sel kekebalan yang tidak diperlukan, terutama yang rusak. Dengan demikian, sel kekebalan tubuh terganti lebih cepat,” ujar Longo.
Penelitian lain menunjukkan, saat glukosa darah turun sewaktu puasa, terjadi peningkatan kadar hormon pertumbuhan (human growth hormone/HGH). Puasa selama lima hari meningkatkan HGH 300 persen.
HGH adalah hormon yang diproduksi kelenjar pituitari (hipofisis). Hormon yang berperan besar pada pertumbuhan kanak-kanak ini juga penting bagi orang dewasa. Kekurangan HGH pada orang dewasa menyebabkan kadar lemak tubuh lebih tinggi dan penurunan massa tulang (osteopenia).
Pemenuhan gizi
Yang harus diperhatikan saat puasa adalah menjaga kebutuhan air agar tubuh tidak mengalami dehidrasi. Selain itu, mengonsumsi makanan bergizi lengkap untuk menjaga kesehatan.
Kunci pola makan selama puasa adalah lebih banyak mengonsumsi protein agar tetap merasa kenyang selama berpuasa. Makan lebih banyak buah dan sayuran sebagai sumber vitamin, mineral dan serat, serta mengurangi asupan lemak, gula dan garam. Porsi makan tidak perlu berlebihan karena akan membebani proses metabolisme tubuh.
Makanan bergizi tidak harus mahal. Dalam kondisi sulit seperti saat ini, kita bisa memanfaatkan banyak hal di sekeliling kita. Untuk mendapatkan protein tidak harus mengonsumsi daging, ayam, atau ikan yang mahal. Ikan pindang, ikan asin, atau teri yang murah bisa menjadi sumber protein, kalsium, dan mineral lain. Jika lebih suka protein nabati, bisa memanfaatkan tahu, tempe, dan kacang-kacangan, seperti kacang tolo, kacang merah, ataupun kacang tanah.
Untuk kebutuhan serat, vitamin, dan mineral, bisa memanfaatkan daun pepaya jepang (Cnidoscolus aconitifolius) yang kini banyak digunakan sebagai tanaman pagar. Daun yang lezat dan tidak pahit ini kaya vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan protein. Alternatif lain adalah daun singkong, daun katuk, atau daun kenikir yang bisa ditanam sendiri. Jika ada sepetak tanah, bisa ditanami pepaya yang dapat dikonsumsi, baik buah maupun daunnya, meski agak pahit. Intinya, dengan sedikit kecerdikan, Anda bisa mendapatkan kecukupan gizi tanpa harus mengeluarkan dana banyak.
Selain itu, berpuasa di rumah tidak berarti boleh tidur sepanjang hari. Aktivitas fisik diperlukan untuk menjamin kelancaran peredaran darah dan kesehatan secara umum. Tentu saja aktivitas perlu diatur sehingga tidak kelelahan serta cukup istirahat. Dengan demikian, kita bisa mendapat manfaat maksimal dari puasa. Selain tentu saja berharap mendapat pahala.