Mengukur Tingkat Infeksi dan Fatalitas Covid-19
Tidak semua yang meninggal akibat Covid-19 sempat dites dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Luasnya penyebaran Covid-19 menjadi hampir mustahil untuk menguji setiap kasus secara akurat.
Sudah lebih dari 2,7 juta orang terkonfirmasi positif dan 187.705 di antaranya meninggal akibat Covid-19 di dunia, tetapi berbagai aspek pandemi ini masih belum benar-benar dipahami. Salah satunya adalah sesuatu yang sangat mendasar; tingkat infeksi dan fatalitas penyakit ini.
Tidak semua yang meninggal akibat Covid-19 sempat dites dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Luasnya penyebaran menjadi hampir mustahil untuk menguji setiap kasus secara akurat.
Kini, sebuah studi yang diselenggarakan pemerintah Negara Bagian New York, Amerika Serikat, mengindikasikan Covid-19 sangat mudah ditularkan tanpa sadar oleh mereka yang terpapar virus tersebut. Jumlah yang terinfeksi jauh lebih besar dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya.
Melalui penelitian tersebut ditemukan bahwa hampir 14 persen penduduk negara bagian itu telah memiliki antibodi untuk virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
Di kota New York City saja, proporsi yang telah memiliki antibodi ini bisa mencapai 20 persen. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 2,7 juta penduduk kota itu telah terinfeksi dan pulih dari virus tersebut, menurut New York Times.
Kini artinya, jumlah orang yang terpapar jauh lebih besar dibandingkan yang terdeteksi dan tercatat resmi. Pada saat itu, jumlah kasus positif Covid-19 yang tercatat di Negara Bagian New York adalah sekitar 250.000 orang.
Gubernur Negara Bagian New York, Amerika Serikat, Andrew Cuomo pada Kamis (23/4/2020) malam waktu Indonesia mengatakan, statistik ini mengindikasikan bahwa tingkat kematian akibat infeksi virus korona jenis baru ini jauh lebih rendah dibandingkan yang diyakini selama ini.
”Ini berarti tingkat fatalitas dari virus ini relatif rendah, sekitar 0,5 persen,” kata Cuomo. Statistik ini didapatkan dengan menguji sampel antibodi yang ada pada darah dari sekitar 3.000 pengunjung supermarket dari 40 lokasi di negara bagian tersebut.
Namun, perlu diperhatikan, kendati pengumpulan dilakukan secara acak, lokasi pengambilan di supermarket menunjukkan bahwa ada bias untuk cenderung mengeliminasi warga yang memilih diam di rumah dari sampel penelitian.
Meski demikian, tetap saja hal ini tentu mengherankan ketika sejumlah penelitian antibodi di berbagai tempat lain menunjukkan prevalensi antibodi yang jauh lebih rendah.
Pekan lalu, University of Southern California (USC), Departemen Kesehatan Masyarakat Los Angeles County AS, pada Senin (20/4/2020) menemukan bahwa hanya 2,8-5,6 persen populasi orang dewasa di wilayah county tersebut telah memiliki antibodi terhadap Covid-19.
Stanford University juga menyelenggaran studi serupa di Santa Clara County, California, AS. Dengan sampel 3.330 orang, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa sekitar 2,49 hingga 4,16 persen populasi wilayah tersebut pernah terinfeksi virus korona jenis baru tersebut.
Dengan angka prevalensi ini, berarti dapat diprediksikan bahwa antara 48.000 dan 81.000 orang telah terinfeksi pada awal April 2020; 50-85 kali lipat lebih besar dibandingkan catatan resmi.
Tidak semua yang meninggal akibat Covid-19 sempat dites dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Luasnya penyebaran menjadi hampir mustahil untuk menguji setiap kasus secara akurat
Angka kisaran 3 persen juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan Institut Kesehatan Nasional Kerajaan Belanda (RIVM) pada pekan lalu. Studi tersebut menunjukkan bahwa 3 persen populasi Belanda memiliki antibodi akibat telah terinfeksi Covid-19. Hal ini tecermin pada tes antibodi yang dilakukan terhadap 7.000 kantong darah hasil donor reguler.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menunjukkan temuan yang mirip. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah media briefing pada Senin kemarin mengatakan bahwa baru 2-3 persen populasi global yang telah terinfeksi Covid-19.
”Data awal menunjukkan bahwa baru sejumlah kecil populasi dunia yang terinfeksi (Covid-19). Tidak lebih dari 2-3 persen,” kata Tedros.
Baca juga: Mengungkap Penyebaran Covid-19 di Jakarta dan Jabar melalui Antibodi Warga
Di Indonesia, hasil tes antibodi juga menyatakan kisaran angka serupa. Di Jakarta, setelah 72.415 tes, ditemukan 2.579 orang yang positif, atau sekitar 4 persen. Sedangkan di Jawa Barat, ada 2.102 orang yang positif tes antibodi di antara 82.256 yang sudah dites (2.55 persen).
Cuomo mengatakan, hasil tes ini dapat membantu perancangan kebijakan relaksasi lockdown dengan menunjukkan tingkat infeksi di dalam sebuah populasi.
”Data ini menunjukkan, di wilayah mana (tingkat infeksi) lebih rendah atau lebih tinggi. Begitu reopening dijalankan, kita bisa melihat apakah tingkat infeksi meningkat atau menurun. Kalau meningkat, kita perlambat reopening-nya,” kata Cuomo.
Lebih intensif dan acak
Untuk itu, pakar biologi molekuler Adelaide University, Fatwa Adikusuma, menyarankan pemerintah agar menyelenggarakan rapid test (tes cepat) sebagai metode survei antibodi secara lebih luas.
”Alangkah baiknya pemerintah melakukan rapid testing di populasi setidaknya di Jakarta untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah penduduk yang sudah pernah terinfeksi,” kata Fatwa.
Terlebih lagi, pada dasarnya, tes cepat berdasarkan antibodi tidaklah tepat digunakan untuk mendiagnosis kondisi individual. Tes cepat bekerja dengan melihat keberadaan antibodi sebagai indikasi respons imun tubuh terhadap virus. Bukan keberadaan virusnya secara langsung.
Untuk itu, tes cepat itu akurasinya tidak baik dan tidak bisa dijadikan standar diagnosis. Orang yang positif dari tes cepat, bisa jadi sudah sembuh dari infeksi virusnya. Orang yang negatif tes cepat bisa jadi orang yang sedang terinfeksi, tetapi antibodinya belum terbentuk.
”Tes cepat ini lebih tepat untuk mengukur di tingkat populasi, berapa orang yang sudah pernah terinfeksi,” kata Fatwa.
Data yang akurat mengenai pergerakan dan penyebaran virus menjadi prasyarat mutlak dalam perancangan kebijakan. Sejumlah epidemiolog mengatakan, lockdown ataupun sekadar pembatasan sosial berskala besar tidak dapat menjadi solusi permanen.
Dengan penapisan secara luas, pengambil kebijakan dapat mengatur aktivitas masyarakat dengan lebih tepat.
Antibodi belum tentu imun
Namun, apabila seseorang sudah memiliki antibodi, bukan berarti ia sudah kebal terhadap peluang reinfeksi virus korona SARS-CoV-2. Tidak berarti 21 persen penduduk New York City tersebut kini telah imun terhadap infeksi Covid-19.
WHO membenarkan bahwa orang-orang yang sudah pulih dari infeksi Covid-19 akan membentuk antibodi terhadap virus tersebut. Namun, sebagian orang tersebut memiliki tingkat antibodi yang mampu menetralisasi virus tersebut.
Hingga Jumat kemarin, WHO menyatakan belum ada studi yang berhasil mengevaluasi soal korelasi antara keberadaan antibodi SARS-CoV-2 dan kekebalan terhadap reinfeksi virus ini di manusia.
Dalam pernyataannya, WHO memahami dan mendukung bahwa banyak negara sekarang melakukan survei antibodi terhadap masyarakat.
”Penelitian-penelitian ini akan memberikan data persentase orang dengan antibodi terhadap Covid-19. Tetapi, penelitian ini juga tidak dapat digunakan untuk menenukan apakah mereka imun terhadap reinfeksi,” tulis WHO dan scientific brief-nya tertanggal 24 April 2020.
Sejumlah negara melaporkan fenomena serupa. Pada 10 April lalu, Korea Selatan melaporkan ada 91 pasien Covid-19 yang mengalami reinfeksi penyakit tersebut. Di Guangdong, China, dan Osaka, Jepang, peristiwa serupa pun juga terjadi.
Pada penyakit akibat virus lainnya, seperti cacar air, antibodi yang terbentuk setelah orang pulih dari penyakit ini umumnya sudah cukup untuk menutup peluang reinfeksi. Koordinator Tim Respons Covid-19 Universitas Gadjah Mada Riris Andono Ahmad mengatakan, karakteristik ini membuat imunitas terhadap cacar air ini lifelong, berlaku seumur hidup.
Butuh satu dua tahun lagi mungkin kita baru tahu berapa lama imunitas terhadap virus (SARS-CoV-2) bisa bertahan di dalam tubuh orang yang sudah pulih dari Covid-19. Virusnya saja baru ada tiga bulan ini.
Namun, pengetahuan soal berapa lama sebuah imunitas terhadap suatu virus akan bertahan itu hanya bisa dilihat dari penelitian yang memiliki jangka waktu yang lama.
Pemahaman bahwa imunitas cacar air berlangsung seumur hidup ini karena penyakit ini sudah dikenal sejak beratus-ratus tahun yang lalu dan menginfeksi puluhan generasi manusia. Sementara virus SARS-CoV-2 ini baru muncul di dunia paling tidak 3-4 bulan terakhir.
”Butuh satu dua tahun lagi, kita baru tahu berapa lama imunitas terhadap virus (SARS-CoV-2) bisa bertahan di dalam tubuh orang yang sudah pulih dari Covid-19. Virusnya saja baru ada tiga bulan ini,” kata Andono.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan jurnal milik Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) AS pada 2007 menunjukkan bahwa antibodi yang dimiliki penyintas pandemi SARS 2002–2003 dapat bertahan hingga tiga tahun sebelum orang tersebut kembali rentan terhadap penyakit itu.