Waspadai Ancaman Gelombang Lanjutan Covid-19
Terlalu awal untuk menyimpulkan Indonesia sudah berada di puncak pandemi Covid-19 dengan dasar pertimbangan data resmi pemerintah. Cakupan pengujian yang belum mencapai skala massal menjadi ganjalan utama.
JAKARTA, KOMPAS — Terlalu awal untuk menyimpulkan Indonesia sudah berada di puncak pandemi Covid-19 dengan dasar pertimbangan data resmi pemerintah. Cakupan pengujian yang belum mencapai skala massal menjadi ganjalan utama.
Inisiator gerakan KawalCovid19, Ainun Najib, pada Rabu (29/4/2020) mengatakan bahwa dapat terjadi lebih dari satu puncak kasus dalam sebuah pandemi. Puncak pertama yang dicapai belum tentu yang terparah.
Menurut dia, pemerintah lebih baik bersiap-siap untuk kemungkinan terjadi gelombang selanjutnya. Hal ini karena masih banyak hal yang belum kita ketahui tentang Covid-19.
”Apalagi, kita berada di masa orang-orang banyak bepergian ke kampung halamannya, yang berarti pemda sudah harus bersiap-siap untuk kemungkinan second wave saat ada arus balik,” kata Ainun.
Untuk mencegah gelombang lanjutan, KawalCovid19 menilai, pemerintah perlu membatasi mobilitas orang antardaerah. Hal ini adalah kunci untuk menahan laju penularan ke luar zona merah sekaligus mencegah gelombang kedua, ketiga, dan selanjutnya.
Baca juga: Akurasi Data Bantu Penanganan Pandemi
Kemudian, pengujian massal. Hal ini mutlak untuk dapat mengetahui skala wabah yang sebenarnya dan di mana pemerintah perlu mengonsentrasikan sumber dayanya.
Skala pandemi Covid-19 di Indonesia sulit diprediksi secara akurat karena berakar pada data resmi Kementerian Kesehatan yang diyakini KawalCovid19 lebih rendah dari realitas sebenarnya. Jumlah ODP dan PDP yang tinggi juga menjadi indikator bahwa kapasitas testing Indonesia masih jauh di bawah kondisi ideal.
Ainun memberikan contoh bahwa jumlah pengujian di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Berdasarkan data Worldometers, Indonesia baru menguji 0,3 orang per 1.000 penduduk. Sementara Malaysia berada pada angka 4,7 orang per 1.000, Thailand 2,5 per 1.000, dan Singapura 21 per 1.000.
”Selain itu, juga dapat dilihat dari case fatality rate (CFR) yang tinggi, di level 8 persen lebih atau dua kali lipat lebih tinggi dari rerata global. Di beberapa provinsi, CFR bahkan mencapai 10 persen atau lebih. Ini adalah indikasi bahwa jumlah kasus sesungguhnya lebih banyak,” kata Ainun.
Ainun mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang menyatakan akan meningkatkan jumlah laboratorium uji. Namun, hingga saat ini Ainun melihat bahwa kapasitas testing masih di angka 2.000-3.000 per hari, dan baru pada hari ini mencapai 5.000 lebih. Ia berharap jumlah tes dapat semakin besar dan dapat mendekati skala wabah yang sebenarnya.
”Kita tidak hanya bicara soal angka dan data dalam konteks ini. Kita bicara soal nyawa dan kesehatan orang. Orang sakit, apalagi kalau sudah sesak napas atau punya penyakit penyerta, harus segera ditangani dengan sigap. Tiap hari atau bahkan tiap jam berharga,” kata Ainun.
Baca juga: Sistem Pendataan Kasus Covid-19 Masih Terkendala
Secara khusus, KawalCovid19 memberikan apresiasi kepada sejumah daerah yang telah mengeluarkan terobosan kebijakan. Seperti Jawa Barat, yang melakukan tes masal swab PCR di stasiun KRL.
Di Kudus, Jawa Tengah, pemudik dikarantina di lokasi tersendiri yang dikoordinasi pemerintah kabupaten dan pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) setempat, bukan di rumah-rumah penduduk.
”Ini mengeliminasi risiko penularan antara pemudik ke keluarganya, dan para ODP dan PDP pun lebih mudah untuk dimonitor kondisi kesehatannya,” kata Ainun.
Di Salatiga, Jawa Tengah, pasar tradisional tetap buka, tetapi dengan mempraktikkan jaga jarak aman antarpedagang.
Sementara itu, menurut sepengetahuan Ainun, di Sumatera Barat, otoritas melakukan pelacakan kontak dengan menyebut jenis kelamin, usia, kelurahan di mana pasien tinggal, profesi, dirawat di mana, dan kemungkinan tertular di mana. Dan data ini diumumkan ke publik.
Kekhawatiran gelombang lanjutan
Gelombang lanjutan Covid-19 memang menjadi kekhawatiran pascamulai menurunnya puncak kasus di sejumlah negara.
Kathy Leung dari Pusat Kolaborasi WHO untuk Epidemiologi Penyakit Menular Universitas Hong Kong, mengatakan, perlambatan penyebaran selama ini terjadi karena pembatasan sosial yang termasuk intervensi nonfarmasi. Oleh karena itu, hal ini akan masih membuka peluang reintroduksi virus.
Selain itu, relaksasi pembatasan sosial akan meningkatkan risiko terjadi penyebaran akibat virus yang datang dari luar negeri. ”Durasi relaksasi (pembatasan sosial) akan meningkatkan jumlah kasus secara eksponensial,” kata Leung dan kawan-kawan dalam artikelnya di jurnal medis The Lancet yang diterbuatkan pada 8 April 2020.
Pengajar senior sistem informasi University of Melbourne, Nic Geard, dan akademisi kesehatan masyarakat University of South Wales, James Wood, dalam artikel mereka di The Conversation mengatakan bahwa gelombang kedua dalam sebuah pandemi dapat terjadi karena masih banyaknya jumlah orang dalam suatu populasi yang belum imun.
Hal ini karena belum adanya vaksin yang memungkinkan kekebalan komunitas (herd immunity) terbangun.
”Kalau sebuah populasi belum mencapai herd immunity, penyebaran virus dalam populasi ini dapat memicu terjadi gelombang kedua apabila intervensi direlaksasi dan infeksi virus kembali muncul dari luar,” kata Geard pada 9 April 2020.
Hingga 7,5 juta jiwa terancam
Di Indonesia tampak ada penurunan kasus harian dalam beberapa hari terakhir. Pada rentang 25-27 April terjadi penurunan kasus harian tiga hari berturut-turut. Dari 396 kasus menjadi 214 kasus.
Namun, penurunan ini belum stabil. Pada Selasa lalu, jumlah kasus harian kembali meningkat drastis menjadi 415 sebelum turun ke angka 260 pada Rabu ini.
Kalau sebuah populasi belum mencapai herd immunity, penyebaran virus dalam populasi ini dapat memicu terjadi gelombang kedua apabila intervensi direlaksasi dan infeksi virus kembali muncul dari luar.
Jumlah pasien Covid-19 di rumah sakit di DKI Jakarta mulai menurun setelah dua minggu penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Meski demikian, masih terlalu dini menyimpulkan PSBB telah berhasil. Apalagi, penyebaran kasus di daerah meluas.
Menurut Doni, saat ini beban rumah sakit di Jakarta mulai berkurang. ”Namun, kalau kita terus berdisiplin dengan PSBB dan semua pihak mendukung, masih ada harapan untuk menghentikan wabah ini,” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, di Jakarta, Senin (27/4).
Baca juga: Data Covid-19 Sengkarut Membuat Persoalan Makin Kusut
Dalam surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo pada 28 Maret 2020, Kawal Covid19 mengingatkan, melalui simulasi skenario terburuk, sekitar 60-70 persen penduduk Indonesia berpeluang terinfeksi. Dengan tingkat kematian 1-4 persen, bisa 1,6-7,5 juta orang terancam meninggal dunia akibat Covid-19. Hal ini terjadi karena pertumbuhan wabah Covid-19 bersifat eksponensial.
Selain itu, ada faktor yang disebut sebagai ketertundaan, di mana jumlah kasus yang terkonfirmasi akan selalu lebih kecil dari kasus yang sesungguhnya karena infeksi terjadi dengan masa inkubasi.
”Jadi, ketika berpkir apa yang harus dilakukan sekarang, seharusnya kita membayangkan apa yang terjadi 2-3 minggu ke depan,” demikian tertulis dalam surat terbuka tersebut.
Upaya deteksi kasus, termasuk pengujian, menjadi krusial untuk mengurangi risiko meluasnya penyebaran. Apabila kemampuan deteksi rendah, patut dikhawatirkan, jumlah penambahan kasus harian hanya merekfleksikan kapasitas pengujian sampel, khususnya dengan metode PCR.
Menggunakan asumsi bahwa kemungkinan bahwa infeksi sudah terjadi pada akhir Januari 2020 dan baru terdeteksi pada awal Maret 2020, serta pola pertumbuhan berlipat ganda setiap empat hari, maka berpeluang, jumlah kasus positif yang sesungguhnya di Indonesia sudah mencapai hampir 30.000 orang pada akhir Maret 2020.