Masih ada 300.000 anak di Indonesia yang belum memperoleh imunisasi dasar lengkap. Pemenuhan imunisasi kian sulit dilakukan saat pandemi Covid-19 karena masyarakat enggan mendatangi fasilitas layanan kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 menghambat jalannya sistem pelayanan kesehatan di masyarakat, termasuk layanan imunisasi. Padahal, imunisasi tidak boleh dihentikan sekalipun tengah terjadi wabah. Jika dihentikan, kejadian luar biasa penyakit lain yang juga mematikan bisa mengancam.
Ketika cakupan imunisasi di suatu wilayah masih rendah, kekebalan komunitas dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tidak akan tercapai. Indonesia masih memiliki tugas berat untuk memerangi wabah akibat penyakit tersebut, seperti polio, difteri, dan campak.
Kementerian Kesehatan per 20 April 2020 mencatat, cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak usia 0-11 bulan sebesar 93,7 persen. Jumlah ini memang lebih dari target cakupan yang ditetapkan, yakni 93 persen. Namun, jika merujuk pada ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekebalan komunitas baru bisa terbentuk jika cakupan imunisasi dasar mencapai 95 persen.
Dalam rincian data di tiap provinsi dan kabupaten/kota, disparitas cakupan imunisasi dasar juga terlihat. Dari 34 provinsi, hanya 14 provinsi yang cakupan imunisasi dasar lebih dari 95 persen. Sementara masih ada satu daerah lain yang cakupannya di bawah 60 persen, yakni Aceh. Bahkan, lebih rinci lagi, masih ada 40 kabupaten/kota yang cakupan imunisasi dasarnya di bawah 60 persen.
Menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang, saat ini masih ada sekitar 300.000 anak di Indonesia yang belum mendapatkan imunisasi dasar lengkap ataupun tidak mendapatkan imunisasi sama sekali. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab, seperti informasi yang salah, agama, takut akan efek samping atau kejadian ikutan pasca-imunisasi, dan minimnya pengetahuan.
”Capaian cakupan imunisasi ini jadi tanggung jawab bersama. Jika cakupan imunisasi dasar lengkap semakin menurun, tingkat kekebalan komunitas juga menurun. Jangan sampai pandemi saat ini menghambat capaian tersebut sehingga malah memunculkan pandemi berikutnya,” kata Vensya dalam webinar terkait pekan imunisasi dunia 2020 di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Sebelum pandemi Covid-19 tercapai, upaya mencapai cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia sudah cukup berat. Berbagai tantangan yang dihadapi antara lain terkait ketersediaan vaksin dan manajemen rantai dingin, pelayanan imunisasi yang bermutu di seluruh wilayah, pembiayaan program dan sumber daya masyarakat, serta adanya rumor dan isu negatif tentang imunisasi.
Selain itu, orangtua yang melarang anaknya diimunisasi karena keyakinan tertentu atau karena pengaruh informasi salah juga menjadi salah satu penyebabnya. Apabila memahami kesehatan adalah hak anak, seharusnya imunisasi ini harus dipenuhi dan didapatkan oleh setiap anak.
Imunisasi menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang serta mencegah berbagai penyakit yang bisa merugikan, bahkan merenggut nyawa. Ini juga menjadi bekal seorang anak agar lebih berdaya saing di masa depan.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya agar cakupan imunisasi di Indonesia tidak semakin rendah. Berbagai langkah pun telah disiapkan untuk menjangkau sasaran dalam program imunisasi nasional di tengah pandemi Covid-19.
”Imunisasi anak tidak boleh dihentikan walau di tengah wabah Covid-19 dengan memperhatikan prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi. Imunisasi ini adalah benteng kesehatan kita agar tidak terjadi kejadian luar biasa,” ucap Vensya.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor 1332 Tahun 2020 telah diterbitkan aturan terkait pelayanan imunisasi pada anak selama masa pandemi Covid-19. Selain itu, panduan pelayanan kesehatan anak balita pada masa tanggap darurat Covid-19 bagi tenaga kesehatan juga telah dikeluarkan.
Pelayanan imunisasi di posyandu yang terdapat di wilayah yang tidak diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tetap berjalan dengan mematuhi prinsip pencegahan infeksi dan menjalankan pembatasan fisik. Adapun tata cara yang dianjurkan seperti menggunakan ruangan yang cukup besar dengan sirkulasi udara yang baik, petugas kesehatan menggunakan alat pelindung diri yang sesuai, serta memastikan anak dan orangtua dalam kondisi sehat.
Sementara di wilayah yang sudah diterapkan PSBB, pelayanan imunisasi bisa dilakukan dengan janji temu atau kunjungan ke rumah dengan prinsip pembatasan fisik. Janji temu ini untuk memastikan tidak ada penumpukan di fasilitas kesehatan serta memastikan tenaga kesehatan dan anak yang diimunisasi terhindar dari risiko penularan penyakit.
Ketua Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Itagi) Sri Rejeki S Hadinegoro menyampaikan, banyak imunisasi akan tertinggal selama masa pandemi. Untuk itu, jika jadwal terlambat, imunisasi harus sesegera mungkin diberikan. Imunisasi ganda bisa menjadi pilihan untuk masa darurat.
Imunisasi ganda merupakan imunisasi yang berisi dua atau lebih antigen dengan kemasan vaksin yang berbeda. Imunisasi ini bisa diberikan dalam waktu yang bersamaan dengan ketentuan diberikan di tempat berbeda, misalnya suntikan di tangan kanan dan kiri. Jika terpaksa diberikan di tempat yang sama, harus diberi jarak sekitar 2,5 sentimeter.
”Imunisasi ganda ini lebih efisien diberikan untuk mengurangi kunjungan yang berulang kali. Rasa sakit atau tidak nyaman akibat imunisasi ini juga hanya dirasakan sebentar,” kata Sri.
Saat ini terdapat sembilan antigen vaksin yang telah masuk program imunisasi nasional. Vaksin tersebut adalah hepatitis B, tuberkulosis, polio, difteri, tetanus, meningitis, pneumonia, BCG, dan campak. Imunisasi dasar harus diselesaikan sebelum anak berusia 12 bulan. Penundaan jadwal imunisasi ini diusahakan tidak lebih dari dua minggu.
Untuk itu, petugas dan kader imunisasi harus memastikan anak yang menjadi sasaran imunisasi terdata dengan baik. Dengan begitu, imunisasi bisa segera diberikan pada kesempatan berikutnya untuk memastikan semua anak terlindungi. Jangan sampai cakupan imunisasi yang rendah menimbulkan pandemi kedua.