Persalinan di Bidan Meningkat Selama Pandemi Covid-19
Laporan para bidan menunjukkan, jumlah layanan persalinan yang dilakukan oleh bidan selama masa pandemi Covid-19 meningkat karena ibu-ibu takut untuk pergi ke rumah sakit.
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan akses layanan rumah sakit selama pandemi dan besarnya kekhawatiran tertular virus SARS-CoV-2 membuat jumlah persalinan di tempat praktik mandiri bidan meningkat. Selain meningkatkan beban bidan, situasi itu juga membuat risiko bidan terpapar Covid-19 makin besar.
Kelahiran sejatinya adalah proses normal dalam kehidupan. Karena itu, pelayanan kesehatan ibu dan anak tetap harus dijaga akses dan kualitasnya dalam kondisi apa pun, termasuk dalam masa darurat, bencana, ataupun pandemi Covid-19 seperti sekarang.
”Laporan para bidan menunjukkan, jumlah layanan persalinan yang dilakukan oleh bidan selama masa pandemi Covid-19 meningkat karena ibu-ibu takut untuk pergi ke rumah sakit,” kata Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi dalam webinar menyambut Hari Bidan Internasional yang diperingati tiap 5 Mei, di Jakarta, Selasa (5/5/2020).
Meski demikian, Sekretaris Jenderal Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Budi Wiweko mengatakan, hingga kini tidak ada bukti bahwa ibu hamil menjadi lebih rentan terpapar Covid-19 dibandingkan populasi umum. Meski ibu hamil menghadapi berbagai kondisi yang membuatnya lemah, besarnya risiko paparan Covid-19 yang dihadapi tidak berbeda dengan masyarakat umum.
Ibu hamil tidak perlu khawatir berlebihan karena ibu hamil tidak lebih rentan dibandingkan yang lain.
”Ibu hamil tidak perlu khawatir berlebihan karena ibu hamil tidak lebih rentan dibandingkan yang lain,” katanya.
Selain itu, belum ada bukti bahwa Covid-19 memicu teratogenik atau perkembangan tidak normal sel selama kehamilan yang bisa memicu kerusakan embrio. Namun, ada bukti yang menyebut virus SARS-CoV-2 bisa ditularkan secara vertikal dari ibu kepada janin meski diperlukan bukti lebih banyak.
Meski demikian, meningkatnya kunjungan ke bidan itu dipastikan akan meningkatkan beban bidan Indonesia. Sebelum pandemi, bidan sudah menjadi tulang punggung layanan kesehatan ibu dan anak di Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, 93 persen persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dari jumlah itu, 62,7 persen dilakukan oleh bidan. Tempat paling favorit kaum ibu untuk melakukan persalinan adalah tempat praktik mandiri bidan (PMB), sebanyak 29 persen. Jumlah ini mengalahkan jumlah persalinan di rumah sakit. Bidan juga banyak membantu persalinan di puskesmas atau pos bersalin desa.
Selain persalinan, bidan juga masih jadi pilihan utama ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan sebelum persalinan (antenatal care). Dari 97 persen pemeriksaan antenatal care ibu hamil yang dilakukan tenaga kesehatan, 82,4 persennya dilakukan bidan dan 40,5 persen dilakukan di tempat PMB.
Data IBI menunjukkan, per 6 Mei 2019 ada 326.415 bidan anggota IBI. Namun, jumlah bidan yang tercatat di Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia per Agustus 2018 mencapai 658.510 orang. Sementara jumlah tempat PBM ada 36.996 unit dengan 53 persen adalah murni PMB, tidak disambi bidan berpraktik di puskesmas.
Peningkatan kunjungan ke tempat PMB itu membuat risiko bidan terpapar Covid-19 cukup besar. Saat ini, lanjut Emi, PMB sudah banyak menerapkan prosedur kesehatan untuk pencegahan penyakit ini, seperti menyediakan tempat cuci tangan dengan air mengalir, membuat sistem perjanjian untuk menghindari antrean panjang, dan membatasi hanya satu orang yang boleh menemani ibu hamil.
Tak hanya itu, saat melayani ibu hamil, bidan juga menggunakan alat pelindung diri dengan standar yang bergantung pada risiko layanannya. Para bidan juga membuat sejumlah inovasi yang bertujuan menghindarkan mereka dari paparan Covid-19, seperti membuat ruang disinfektan atau menggunakan sejenis tirai saat membantu persalinan.
Meski demikian, tetap ada bidan yang tepapar Covid-19. Per 4 April 2020 sudah ada 793 PMB atau sekitar 2 persen PMB yang tutup atau tidak lagi memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak. ”Jumlah 2 persen PMB tutup itu mungkin kecil, tetapi harus dilihat seberapa besar PMB itu memberikan layanan ke masyarakat,” katanya.
PMB yang tutup itu paling banyak ada di daerah dengan jumlah penduduk besar dan padat, seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Selain itu, di wilayah tersebut, umumnya tingkat kunjungan masyarakat ke PMB juga tinggi.
”Saat ini sudah ada 574 bidan yang terdampak Covid-19,” lanjut Emi. Dari jumlah itu, 93 bidan dinyatakan positif, 36 bidan masuk kategori pasien dalam pengawasan, sedangkan 24 bidan sedang dirawat dan 445 bidan masuk kategori orang dalam pemantauan.
Tantangan
Besarnya peran bidan dalam menjaga kesehatan ibu dan anak itu membuat peningkatan kualitas bidan menjadi tantangan yang harus segera dipecahkan.
Dalam webinar berbeda, ”A Tribute to Midwives: Healthcare Heroes”, yang diselenggarakan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Asia Pasifik, Emi menegaskan, peningkatan kompetensi bidan itu penting karena saat ini institusi pendidikan kebidanan dan mahasiswa kebidanan berkembang pesat. Akibatnya, jumlah kasus yang bisa digunakan untuk melatih calon bidan menjadi terbatas.
Data Asosiasi Pendidikan Kebidanan Indonesia (Aipkind) pada 2013 saja menunjukkan, ada 726 lembaga pendidikan bidan, yang 327 lembaga di antaranya terdaftar di Aipkind. Namun, jumlah lembaga pendidikan bidan tersebut saat ini diyakini jauh lebih besar.
Selain terbatasnya kasus yang dipelajari calon bidan, jumlah dan kualitas dosen pun diyakini masih jauh dari ideal. Beberapa dosen kebidanan tidak memiliki pengalaman klinis karena mereka langsung menjadi dosen setelah lulus pendidikan tanpa sempat praktik langsung.
”Bagaimana meningkatkan kompetensi calon bidan di tengah makin terbatasnya kasus yang ditangani menjadi tantangan,” katanya.
Besarnya peran sekaligus tantangan yang dihadapi bidan Indonesia membuat Emi berkali-kali menegaskan pentingnya dukungan dari banyak pihak, termasuk pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Kompetensi bidan yang baik diyakini mampu menekan angka kematian ibu dan anak yang masih tinggi dan masih menjadi pekerjaan rumah dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Hal senada diungkapkan penasihat Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual UNFPA Asia Pasifik, Catherine Breen Kamkong. Kualitas pendidikan yang baik adalah titik kritis untuk memastikan kompetensi dan kualitas bidan. Karena itu, kerja sama antarnegara diperlukan untuk memastikan bidan-bidan yang bekerja memiliki standar internasional yang sama.
”Bidan adalah pembawa awal kehidupan manusia. Karena itu, mereka butuh dukungan dari semua pihak, termasuk sistem kesehatan dan pemerintah,” ujar Pemimpin Eksekutif Konfederasi Bidan Internasional (ICM) Sally Pairman.
Sementara itu, Direktur Eksekutif UNFPA Natalia Kanem dalam pesannya menyambut Hari Bidan Internasional menegaskan, kemampuan bidan lebih dari sekadar membantu persalinan. Bidan juga membantu perempuan untuk mengetahui dan menggunakan hak-hak mereka sehingga angka kematian ibu bisa ditekan. Bidan juga menjadi garda terdepan dalam menjaga kesehatan ibu hamil dan anak selama pandemi Covid-19.
Baca juga : Membantu Bidan Deteksi Kehamilan Berisiko
Dari bidan berkualitaslah, perempuan dan anak yang sehat bisa diwujudkan. Kesehatan ibu dan anak adalah kunci kesehatan keluarga. Jika keluarga sehat, masyarakat, negara, dan dunia juga akan sehat.