Ketika Kita Belum Saatnya Berdamai
Presiden Jokowi meminta masyarakat berdamai dengan Covid-19. Pelonggaran PSBB disiapkan dengan perkiraan dunia usaha kembali beroperasi segera. Namun, melihat statistik Covid-19, kita belum saatnya hidup berdamai.
Hingga kini, angka statistik menunjukkan jumlah orang positif Covid-19 masih terus bertambah di tengah tes cepat dan usap yang belum optimal. Meskipun ekonomi terpukul, pelonggaran PSBB masih belum bisa diterapkan.
Presiden Joko Widodo meminta masyarakat berdamai dengan Covid-19. Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar disiapkan dengan perkiraan dunia usaha kembali beroperasi pada Juli 2020. Namun, melihat statistik kasus Covid-19 yang terus bertambah, longgarnya penerapan PSBB sejak awal dan tes yang belum maksimal, kini belum saatnya Indonesia berdamai dengan pandemi.
Memasuki Mei 2020, sejumlah negara yang terjangkit Covid-19 satu per satu secara per lahan mulai melonggarkan pembatasan sosial, setelah sekian lama mengunci wilayah. Beberapa di antaranya Korea Selatan, Thailand, dan beberapa negara Eropa, seperti Jerman dan Italia. Kurva penyebaran Covid-19 di negara-negara itu memang menunjukkan tren menurun.
Baca juga: Presiden Jokowi Ajak Masyarakat Berdamai dengan Covid-19
Melalui akun Twitter-nya, Presiden Joko Widodo pada 7 Mei 2020 menunjukkan gelagat serupa. Narasi ”berdamai dengan Covid-19” pun disuarakan pemerintah selama satu pekan terakhir ini demi menggerakkan kembali roda ekonomi. Penerbangan yang awalnya dibatasi di rute zona merah mulai beroperasi lagi. Jalanan Jakarta yang awalnya sempat lengang kembali ramai, bahkan macet. ”Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” tutur Presiden.
Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.
Namun, apakah kita sebenarnya siap berdamai dengan pandemi? Dalam acara Satu Meja di Kompas TV, Rabu (13/5/2020), pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, mengatakan, kata berdamai tak tepat digunakan karena seolah mengaburkan fakta relasi virus korona dengan manusia sebagai induk semang.
”Kata berdamai seolah Covid-19 akan jadi endemik di kehidupan manusia sehingga kita seolah-olah harus mengalah, hidup berdampingan dengannya dalam waktu lama. Saya rasa tidak demikian, kita harus memenangi pertempuran,” kata Syahrizal dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu.
Fakta statistik menunjukkan, jumlah temuan kasus positif Covid-19 terus bertambah di tengah tes cepat dan tes usap yang belum optimal. Data harian Kementerian Kesehatan menunjukkan, angka positif Covid-19 masih fluktuatif. Per 14 Mei 2020, angka positif mencapai 16.006 orang, dengan kenaikan kasus 568 orang. Sehari sebelumnya, jumlahnya 689 kasus baru, menjadi yang tertinggi sejak Indonesia pertama kali umumkan kasus Covid-19 pada 2 Maret lalu.
Sebelumnya lagi, pada 12 Mei 2020, kasus baru tercatat 484 orang. Padahal, 11 Mei 2020, ada 233 tambahan kasus positif Covid-19. Dengan demikian, kurva Covid-19 di Indonesia belum menurun.
”Kalau pemerintah mau relaksasi PSBB, indikatornya harus jelas. Ketika terjadi puncak wabah dan laporan kasus harian menurun hingga 14 hari atau lebih, pada saat itu, kita bisa relaksasi. Kalau saat ini, kita belum sampai puncak, kita masih menuju puncak kasus,” tutur Syahrizal.
Di sisi lain, kondisi lapangan menunjukkan penerapan PSBB belum berjalan baik. ”Kita tidak melihat sejak awal ada protokol yang jelas bagaimana PSBB diterapkan sehingga daerah-daerah melakukannya sendiri-sendiri, ada yang sangat ketat, ada yang sangat longgar,” ujarnya.
Beberapa di antaranya tampak dari inkonsistensi regulasi mudik selama pandemi, dari yang awalnya dilarang kemudian diperbolehkan dengan dispensasi. Beberapa hari setelah Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, penerbangan kembali beroperasi.
Tak hanya itu, pengelola angkutan umum darat juga mulai beroperasi. Jalanan Ibu Kota semakin ramai, bahkan macet. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno menuturkan, pada 26 Maret-10 Mei 2020, ada 800.000 orang ke Jawa Tengah (Kompas, 12/5/2020).
Kepentingan ekonomi?
Pemerintah beralasan, pelonggaran PSBB dibutuhkan untuk selamatkan kondisi ekonomi. Ketika ekonomi terganggu, dampak sosial yang dihasilkan akan luar biasa. Angka pemutusan hubungan kerja yang muncul akan semakin tinggi. Lebih banyak warga miskin yang semakin terpuruk dan rentan miskin akhirnya jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian mengatakan, karena itu, masyarakat usia produktif diizinkan beraktivitas kembali. Namun, syaratnya, mereka berasal dari 11 sektor yang dikecualikan. Aktivitasnya juga harus utamakan protokol kesehatan, seperti jaga jarak, kebersihan, dan pakai masker.
Pemerintah menilai, ekosistem ekonomi dengan kesehatan tak bisa dipisahkan sehingga pemerintah tidak bisa memilih di antara keduanya. ”Ini ekosistem yang sama. Pemerintah memikirkan multidimensi, menjaga kelangsungan kehidupan, karena masalah ekonomi tak bisa dipisahkan dari kesehatan,” tambah tenaga ahli KSP lainnya, Dany Amrul Ichdan.
Pandangan pemerintah didukung Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W Kamdani. Menurut mereka, dunia ekonomi saat ini terpukul keras sehingga mempertahankan PSBB secara ketat bukan lagi opsi. ”Stimulus ekonomi dari pemerintah sejauh ini tak bisa selesaikan persoalan. Kalau kita tutup terus, itu bukan opsi. Makanya, sekarang harus dibuka, tapi tentu perhatikan ada zona merah, zona hijau, sektor tertentu, dan paling penting, ada protokol kesehatan yang dipatuhi,” ujar Shinta.
Menurut Yose Rizal, perang melawan Covid-19 adalah lari maraton jangka panjang, bukan lari sprint jarak pendek. ”Napas dan energi yang baik itu baru bisa ada kalau ekonomi kita baik, sosial kondusif, dan politik mendukung. Kalau mau lari maraton tapi diforsir energi, kita kehabisan napas dan akhirnya kalah dari virus,” katanya.
Meski demikian, berbagai penelitian menunjukkan, dalam krisis ekonomi yang muncul karena pandemi, solusi utama yang ditempuh adalah menekan angka penularan virus, baru bicara pemulihan ekonomi. Krisis ekonomi akibat pandemi tak akan bisa pulih selama angka penularan tak bisa ditekan.
Penelitian Emil Verner, asisten profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) bersama dua ekonom bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), Sergio Correia dan Stephen Luck, menunjukkan, berdasarkan perjalanan historis peradaban manusia, respons yang kuat dan tanggap terhadap penanganan virus akan mempercepat pemulihan ekonomi.
Studi bertajuk ”Pandemics Depress the Economy, Public Health Interventions Do Not: Evidence from the 1918 Flu” yang dirilis pada 31 Maret 2020 itu mengambil pengalaman pandemi flu yang menyerang AS pada 1918-1919. Penelitian itu menunjukkan, konsistensi penerapan pembatasan fisik dan interaksi sosial masyarakat jadi kunci pemulihan ekonomi.
Kota yang lebih cepat menerapkan pembatasan sosial saat pandemi mengalami peningkatan produktivitas di sektor manufaktur 5 persen lebih tinggi daripada kota-kota lain, begitu pandemi berlalu pada 1923. Demikian juga kota yang tak terburu-buru melonggarkan pembatasan sosial mengalami peningkatan 6,5 persen pada produktivitas sektor manufakturnya.
Kami tak temukan bukti bahwa kota yang bertindak agresif di sektor kesehatan publiknya, lebih sulit pulihkan ekonomi. Justru sebaliknya, kota yang ketat menerapkan darurat kesehatan, lebih cepat rebound dari sisi ekonomi.
”Kami tak temukan bukti bahwa kota yang bertindak agresif di sektor kesehatan publiknya, lebih sulit pulihkan ekonomi. Justru sebaliknya, kota yang ketat menerapkan darurat kesehatan, lebih cepat rebound dari sisi ekonomi,” ujar Emil Verner, sebagaimana dikutip dari pengantar rilis penelitiannya di situs resmi MIT.
Baca juga: Hati-Hati Longgarkan PSBB
Donny Gahral Adian mengatakan, Presiden sudah memberikan arahan, pelonggaran PSBB hanya dimungkinkan ketika data di lapangan menunjukkan indikator epidemiologis yang kondusif. Oleh karena itu, saat ini pemerintah akan mempercepat dan menambah tes masif. ”Agar kita bisa mendapat gambaran lebih utuh Covid-19 dan kita bisa memprediksi kapan puncaknya tiba. Secepatnya penularan akan ditekan agar kita bisa cepat buka kembali roda perekonomian,” kata Donny.
Suatu hari, ketika angka penularan virus menurun, Indonesia bisa benar-benar berdamai dengan Covid-19, bahkan mengucapkan selamat tinggal. Namun, sampai saat ini, hidup berdamai dan kembali pada aktivitas normal dan bisnis seperti biasa bukanlah pilihan.