Ribuan Rumah Tangga Nelayan di NTT Terancam Kehilangan Penghasilan
Sejumlah 66.525 rumah tangga nelayan di Nusa Tenggara Timur terancam kehilangan pendapatan akibat pandemi Covid-19. Hasil tangkapan mereka sejak Maret-April menurun 50 persen, juga tidak laku dijual di pasar.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah 66.525 rumah tangga nelayan di Nusa Tenggara Timur terancam kehilangan pendapatan akibat pandemi Covid-19. Hasil tangkapan mereka sejak Maret-April menurun 50 persen, selain itu juga tidak laku dijual karena daya beli konsumen menurun. NTT kehilangan nilai produksi perikanan tangkap senilai Rp 2,036 triliun per tahun. Pemda harus terlibat mengatasi masalah ini. Pengusaha memilih mengawetkan ikan menjadi ikan asin.
Manajer Program Hak atas Pangan Yayasan Perkumpulan Lingkar Belajar Komunitas Bervisi (Pikul) Nusa Tenggara Timur (NTT) Andry Ratumaking di Kupang, Kamis (14/5/2020) mengatakan, survei dilakukan Pikul pada 12 April-30 April 2020 di 10 kabupaten yang tersebar di enam pulau di NTT. Survei berlangsung di 808 desa di pesisir.
Survei itu menyebutkan, hasil tangkapan nelayan dan hasil penjualan pedagang menurun, mendekati angka 50 persen. Di sisi lain, pengeluaran rumah tangga nelayan dan penjual ikan cenderung lebih tinggi dibandingkan sebelum masa Covid-19.
Sebelum masa Covid-19, ikan 3 ton dari kapal langsung habis terserap di pasar-pasar. Sekarang pedagang tidak mau ambil karena takut rugi. Konsumen tidak mau membeli ikan, entah karena takut Covid-19 atau karena daya beli rendah. (Mitu)
Harga kebutuhan pokok merangkak naik. Tabungan yang ada, maksimal untuk menanggulangi kebutuhan tiga bulan ke depan. Jika Covid-19 masih berlangsung sampai dengan Juni 2020, kehidupan nelayan, pengusaha ikan skala kecil, dan penjual ikan makin terpuruk.
Ia mengatakan, 66.525 rumah tangga (RT) nelayan tetap melaut, tetapi hasil tangkapan tidak laku dijual. Ikan hasil tangkapan sebagian diberi makan ternak dan sebagian diolah menjadi ikan asin. Sejak awal April 2020, nelayan mengurangi waktu melaut atau memilih bergabung dalam satu perahu untuk menghemat bahan bakar minyak.
Kondisi ini membuat para nelayan, pelaku usaha kelautan dan perikanan harus mencari cara baru untuk beradaptasi dan bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19. Sebagian dari mereka memilih pekerjaan serabutan, seperti mencari kayu bakar, membersihkan ladang, mencetak batako, dan memperbaiki atau mengecat perahu.
Data produksi perikanan sesuai BPS tahun 2018 sebanyak 157.691 ton. Jika diasumsikan terjadi penurunan 50 persen, produksi perikanan hanya mencapai 78.845 ton per tahun. Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan protein ikan warga NTT dalam satu tahun, yakni 12.860 ton, masih surplus 65.985,5 ton. Surplus ini belum dikurangi ekspor ke luar negeri. Masalah lain adalah distribusi ikan di tengah Covid-19 sulit antarpulau dan kota serta daya beli konsumen yang rendah.
Kehilangan kontribusi
Jika demikian, produksi perikanan tangkap NTT akan kehilangan sumbangan terhadap nilai transaksi sektor perikanan senilai Rp 2, 036 triliun per tahun. Pendapatan asli daerah dari sektor perikanan pun terpukul.
Untuk itu, Pikul merekomendasikan agar pemda terlibat mengatasi masalah ini. Segera dilakukan pendataan keluarga pelaku usaha kelautan dan perikanan. Mereka adalah nelayan tradisional, nelayan kecil, nelayan buruh, dan penjual ikan yang mengalami penurunan pendapatan di atas 50 persen per bulan.
Menghubungkan produsen ikan dengan pembeli, baik dengan pertukaran uang maupun barang. Pemprov mewajibkan 104.586 PNS (NTT dalam angka 2020) untuk membeli hasil produksi nelayan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Cara lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan membeli hasil produksi nelayan.
”Nelayan juga diberikan sembako pada masa pandem Covid-19, juga termasuk ikan segar, ikan asin, dan ikan hasil olahan. Pemerintah desa mengalokasikan dana desa membeli hasil produksi nelayan dan pengusaha skala kecil untuk pemenuhan kebutuhan protein kelompok rentan dan lansia,” kata Andry.
Biasanya Maret-Mei dan September-Oktober musim panen ikan bagi nelayan. Namun, kali ini sejumlah ikan utama yang menjadi andalan penghasilan pedagang dan nelayan, seperti tongkol, cakalang, kembung, ekor kuning, tembang, kakap, dan karapu, sulit diperoleh karena semangat melaut nelayan menurun, sebagai dampak dari daya beli warga rendah.
Kebutuhan protein ikan per bulan berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2018 adalah 6,72 gram per hari per orang. Data BPS NTT 2020, penduduk NTT berjumlah 5.456.203 jiwa. Jika satu orang mengonsumsi ikan 6,72 gram per hari (sesuai AKG), dibutuhkan 37 ton ikan segar per hari atau 1.110 ton per bulan.
Pengusaha ikan Kota Kupang, Mitu, mengatakan, lapak ikan di pasar-pasar tradisional tampak sepi. Sebagian besar ikan milik Haji Mitu diawetkan menjadi ikan asin.
”Sebelum masa Covid-19, ikan 3 ton dari kapal langsung habis terserap di pasar-pasar. Sekarang pedagang tidak mau ambil karena takut rugi. Konsumen tidak mau membeli ikan, entah karena takut Covid-19 atau karena daya beli rendah,” kata Mitu.
Mitu mempekerjakan tiga nelayan. Mitu menyediakan satu kapal ikan dengan bobot 12 GT untuk menangkap ikan laut dalam seperti karapu, tongkol, dan kakap. Ikan jenis ini biasanya diminati di warung makan dan restauran.
Langsung dijual
Marthen Saek (45), nelayan tradisional Kelurahan Namosaen Kota Kupang, mengatakan, sebelum kasus Covid-19 melanda NTT, awal Maret 2020, hasil tangkapan langsung dijual istrinya, Lince Saek (40), di Lapak Ikan Pantai Namosaen, yang dibangun Pemkot Kupang. Begitu kasus Covid-19 mulai marak, konsumen jarang membeli ikan-ikan tersebut.
”Ada informasi berkembang di masyarakat, Covid-19 juga suka dengan ikan-ikan segar, apalagi dipajang terbuka. Mungkin ini hoaks, tetapi sangat merugikan para nelayan kecil. Suami saya tidak berani melaut lagi. Sebelumnya, kami bisa mendapatkan Rp 50.000-Rp 100.000 per hari untuk kebutuhan harian. Sekarang tidak ada sama sekali,” kata Saek.
Ia mengaku, sekali mendapat bantuan bahan Pokok dari Polda NTT. Tetapi ia tidak ingin bergantung dari bantuan selamanya. Ia berharap Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan sosialisasi menggerakkan masyarakat mengonsumsi ikan di tengah pandemi Covid-19, dalam rangka menjaga imunitas tubuh.