Lawan Terpaan Infodemik dengan Skeptis pada Informasi
Kepanikan warga terhadap pandemi Covid-19 turut dipicu oleh beredarnya kabar bohong atau lebih populer disebut
infodemik. Senjata untuk menangkal kemunculan kabar semacam ini adalah kecakapan dalam memilih informasi.
Oleh
Aditya Diveranta
·6 menit baca
Pandemi Covid-19 menyebar luas seiring dengan kabar bohong atau hoaks di masyarakat. Hampir dua bulan belakangan, warga dihadapkan dengan bermacam pesan berantai dari aplikasi pesan instan di ponsel. Mulai dari kabar sejumlah lokasi yang terpapar Covid-19, jamu-jamu berkhasiat, hingga kegiatan berjemur untuk melawan penularan virus, semua tersebar lewat aplikasi ponsel Whatsapp.
Tersebarnya hoaks terkait Covid-19 membuat Annisa Rahayu (30) panik. Sepekan terakhir, warga Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini mendapat pesan berantai terkait 13 pedagang Pasar Cileungsi di dekat rumahnya yang positif Covid-19. Hal itu membuat dirinya benar-benar mencegah segala aktivitas di luar rumah.
Baru pada Sabtu (16/5/2020) siang ini, dia mendapat kabar bahwa 13 pedagang yang tertular Covid-19 itu adalah hoaks. Melalui klarifikasi laporan isu hoaks milik Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), dia baru mengetahui sebenarnya ada 30 pedagang yang menjalani tes usap. Namun, belum ada informasi bahwa para pedagang itu positif tertular Covid-19.
”Hoaks pedagang yang tertular Covid-19 itu sempat bikin orang sini enggan keluar rumah. Bukan cuma hoaks itu saja sih yang ramai. Sekitar tiga hari lalu, juga ada kabar soal dua anak sekolah yang positif Covid-19, tapi sampai sekarang kita enggak pernah tahu kelanjutannya bagaimana,” kata perempuan ini.
Penyebaran hoaks yang beriringan dengan pandemi Covid-19 nyatanya memang begitu meresahkan. Desas-desus yang tidak kalah meresahkan publik pun terjadi pekan lalu saat seorang figur publik menuding Covid-19 sebagai teori konspirasi yang diciptakan kalangan negara maju. Padahal, hingga saat ini, belum ada fakta yang mendasari tudingan tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut fenomena peredaran berbagai informasi terkait Covid-19 dengan istilah infodemic atau infodemik, yakni sebuah tsunami informasi—baik yang akurat maupun yang hoaks—sehingga membuat masyarakat kesulitan mencari sumber panduan tepercaya ketika dibutuhkan.
Direktur Eksekutif Program Kesehatan Darurat WHO Michael J Ryan, dalam konferensi pers Februari 2020, mengakui bahwa fenomena infodemik dapat turut memicu kepanikan dan ketakutan di tengah publik. Berarti, kondisi tersebarnya hoaks saat ini tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga berbagai negara lain.
Infodemik di dunia internasional pernah marak saat beredar kabar bahwa dengan memakan bawang putih hingga mengoleskan minyak wijen di bawah hidung dapat menangkal penularan Covid-19. Di Amerika Serikat, beredar pula kabar bahwa menelan cairan bleach dapat melawan infeksi korona di dalam tubuh.
Bahkan, sejumlah teori konspirasi pun muncul menyertai wabah virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19. Seorang senator Republikan AS, Tom Cotton, berteori bahwa virus ini berasal dari program pengembangan senjata biologis milik Pemerintah China. Hal ini kemudian langsung dibantah oleh Duta Besar China untuk AS Cui Tiankai. ”Hoaks dapat memicu kepanikan dan parahnya juga tindak kekerasan rasial dan xenofobia,” kata Cui.
Psikolog dan peneliti dampak media dari Universitas Indonesia (UI), Laras Sekarasih, menyebutkan, hoaks pada umumnya tersebar bukan karena landasan niat seseorang untuk membohongi publik. Sebagian besar orang yang menyebarkan hoaks kerap berlandaskan niat untuk membagikan informasi secepat mungkin.
Sayang sekali, informasi yang cepat menyebar itu justru beredar di aplikasi pesan instan seperti Whatsapp. ”Whatsapp adalah media yang sangat mudah menyebarkan pesan. Karena pada dasarnya, aplikasi ini adalah text mesagging platform sehingga berbagai pesan teks bisa mudah tersebar luas, termasuk kabar yang belum terbukti kebenarannya," ujar Laras dalam sesi webinar ”Menangkal Hoaks dan Kabar Palsu” dari Fakultas Psikologi UI.
Laras mengutip sebuah studi dari jurnal ilmiah Science yang menjelaskan, warga lanjut usia di Amerika lebih mudah untuk menyebarkan hoaks di media sosial. Menurut dia, hal serupa terjadi di Indonesia.
”Ketika informasi hoaks dibagikan oleh kerabat dekat, yang timbul adalah bias konfirmasi (confirmation bias). Kita cenderung memercayai informasi yang ada, padahal informasi itu belum tentu benar, apalagi informasinya berupa pesan berantai dan tidak jelas juntrungannya,” ucap Laras.
Salah satu analisis terhadap infodemik dilakukan oleh Covid-19 Infodemic Observatory dengan basis data Twitter sejak 21 Januari hingga 7 Mei 2020. Analisis dilakukan terhadap 206,8 juta pesan di Twitter dengan menggunakan teknik machine learning.
Teknik tersebut digunakan untuk menentukan sentimen psikologis kolektif, polusi media sosial karena robot, dan berita-berita yang dapat dipercaya. Dari analisis itu, ditemukan 42 persen dari pesan yang dianalisis merupakan pesan yang disebarkan melalui robot atau jumlahnya sekitar 87 juta pesan. Selain itu, 29,6 persen pesan merupakan berita yang tak dapat dipercaya atau jumlahnya sekitar 61 juta pesan.
Apabila dirata-rata, setiap hari ada 600.000 pesan yang tak dapat dipercaya dan 800.000 pesan yang disebarkan robot di Twitter terkait Covid-19. Besarnya informasi bohong di Twitter tentang Covid-19 tersebut menunjukkan cepat dan mudahnya sebuah misinformasi beredar di internet.
Untuk menangkal infodemik, Laras menyarankan agar seseorang lebih kritis dalam mengenali informasi yang belum jelas asal-usulnya. Segala informasi yang beredar lewat pesan berantai perlu diketahui sumbernya dari mana, apakah informasinya logis dan juga koheren.
Laras pun belakangan rajin mengidentifikasi pesan berantai yang ternyata hoaks atau dinilai sebagai disinformasi. Ketika menemukan pesan berantai, pertama, dia menyarankan agar segera memeriksa sumber berita. Biasanya, sebuah pesan berantai yang berupa berita turut menyertakan sumber tautan berita.
Apabila tidak ada tautan berita, Anda patut curiga bahwa berita itu adalah kabar bohong. Ada beberapa kanal media massa arus utama yang dapat dipercaya, ada pula yang berasal dari situs milik pemerintah dengan domain khusus .gov.id (government).
Kedua, waspadai konten pesan berantai dengan ikon panah ganda. Ikon itu menandai sebuah pesan yang mungkin telah banyak diteruskan (forward) oleh banyak orang sehingga mungkin akan sulit mencari kebenaran informasinya.
Ketiga, banyaknya penggunaan kata-kata yang berlebihan, bombastis, serta cetak tebal di dalam pesan berantai. Hal yang tidak ketinggalan pula adalah kata-kata ”info dari grup sebelah” serta seruan untuk menyebarkan pesan tersebut ke kerabat lain.
”Dari sejumlah pesan yang saya amati, tiga karakteristik di atas paling mencerminkan bahwa info tersebut adalah hoaks. Kalau masih ragu, coba cari kebenaran informasi tersebut melalui situs pencari Google,” kata Laras.
Cara lain untuk memverifikasi kebenaran sebuah infodemik adalah memeriksa daftar laporan isu hoaks di situs Kemkominfo. Selain itu, Laras juga menyarankan sebaiknya membaca berita dari portal media massa aras utama yang bisa lebih dipertanggungjawabkan asas verifikasinya.
Peneliti komunikasi dan budaya digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan, kemunculan infodemik juga perlu diantisipasi dengan gerakan masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai pencegahan dan penanganan Covid-19.
”Selain memiliki pemahaman yang cukup, mereka juga diharapkan dapat menjelaskan secara proporsional dan jelas, punya follower yang banyak,” kata Firman.
Hal semacam ini pun dilakukan oleh sejumlah pegiat dalam platform Kawal COVID19 yang dapat diakses melalui situs http://kawacovid19.id. Kawal COVID19 juga dapat diakses melalui akun media sosial KawalCOVID19 di Facebook dan Twitter.
Kendati berbagai kanal verifikasi antihoaks telah diciptakan, setiap orang mesti menjadi filter informasi bagi diri mereka sendiri. Ungkapan ”saring sebelum sharing” pun menjadi hal mutlak agar hoaks tidak mudah menyebar. Kini, jari Anda yang menentukan.