Keputusan Presiden Menaikkan Iuran JKN Kembali Digugat
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia kembali mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Agung terkait keputusan presiden yang menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia kembali mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Agung terkait Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Uji materi ini terutama terkait besaran kenaikan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Sebelumnya, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) juga pernah mengajukan keberatan atas kenaikan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang diatur dalam Perpres 75/2019. Gugatan tersebut akhirnya dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 9 Maret 2020. Namun, kurang dari dua bulan kemudian, pemerintah menerbitkan peraturan baru tentang kenaikan iuran JKN-KIS melalui Peraturan Presiden No 64/2020.
”Kenaikan iuran BPJS Kesehatan Jilid II ini sangat tidak memiliki empati terhadap keadaan yang serba sulit bagi masyarakat saat ini. Jelas ini merupakan suatu ketidakadilan serta tidak sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS. Akhirnya, KPCDI harus kembali mendaftarkan hak uji materiil Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 ke Mahkamah Agung,” ujar kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (20/5/2020).
Selain itu, ia mengatakan, KPCDI pun akan menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tidak sesuai dengan situasi perekonomian masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Itu, antara lain, dengan latar belakang kondisi banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), tingginya angka pengangguran, dan menurunnya daya beli masyarakat.
”Pemerintah yang harusnya mendengarkan pendapat MA bahwa akar masalah yang terabaikan, yaitu manajemen atau tata kelola BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan secara keseluruhan. Perbaiki dulu internal manajemen BPJS dan kualitas layanan. Barulah kita berbicara angka iuran,” kata Rusdianto.
Menurut dia, meskipun iuran naik tiap tahun, kondisi keuangan BPJS Kesehatan akan tetap defisit selama tidak memperbaiki tata kelola menajemen. Untuk itu, gugatan uji materi terkait kenaikan iuran ini dirasa perlu dilakukan untuk membuktikan adanya perubahan perbaikan pelayanan, termasuk hak-hak peserta dalam mengakses obat yang dibutuhkan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/5), menuturkan, kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif iuran peserta JKN-KIS sudah tepat. Hal ini terutama dengan melihat defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Selain itu, besaran iuran yang diterima dengan biaya manfaat yang dibayarkan juga sudah tidak seimbang.
”Tentu selain dengan menyesuaikan iuran peserta, perbaikan sistemik juga perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan implementasi program JKN-KIS ini. Itu harus dipandang secara menyeluruh, mulai dari pembiayaan, perbaikan kualitas, dan perbaikan tata kelola kolektabilitas iuran peserta,” ujarnya.
Dalam Perpres No 64/2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2020 menyebutkan, kenaikan iuran terjadi pada kelompok peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Ketentuan ini berlaku mulai 1 Juli 2020.
Untuk peserta kelas I naik menadi Rp 150.000 per bulan, kelas II naik menjadi Rp 100.000, dan kelas III naik menjadi Rp 42.000 per orang. Dalam aturan ini, pemerintah mengatur iuran kelas III akan disubsidi sebesar Rp 16.500 sehingga iuran yang dibayar peserta sebesar Rp 25.500.