Pengusaha “Jumpalitan” agar Lolos dari Jerat Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 membuat hampir semua pelaku usaha memutar otak agar tetap bisa menjalankan roda bisnis mereka. Mereka mulai beradaptasi dan bersiasat demi mempertahankan usahanya. Krisis ini tak bakal cepat berakhir.
Oleh
sekar gandhawangi
·4 menit baca
Kedai kopi milik Murtaja Azizah (24) sempat ada di titik kritis, Maret 2020. Penjualan turun drastis. Kedai yang biasanya selalu berpenghuni kini sepi nyaris tanpa pembeli. Ia pun putar otak agar tetap cuan walau tanpa pelanggan di kedai.
Azizah mulai dengan promosi di media sosial bahwa produknya bebas kontaminasi virus. Ia juga mendorong pembelian bawa pulang (take away) atau pesan antar dengan jasa ojek daring.
”Namun, membangun kepercayaan konsumen itu sangat sulit. Belum lagi, kopi bukan kebutuhan primer, sedangkan konsumen sedang berhati-hati menggunakan uangnya,” kata Azizah saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/5/2020).
Siasat lain kemudian diterapkan. Azizah dan tim membuat kombucha, yakni minuman teh yang difermentasi dengan bakteri. Inovasi dilakukan karena konsumen mencari minuman sehat. Sementara itu, kombucha terkenal baik untuk kesehatan tubuh dan pencernaan.
Kombucha kemudian menjadi penyelamat kedai kopi. Respons konsumen positif. Belum lagi, tidak ada pesaing yang menjual kombucha di kotanya, Samarinda, Kalimantan Timur. Penjualan kombucha mendongkrak omzet kedai sebesar 30-40 persen.
Kedai kopi yang sepi kembali menggeliat pada bulan Ramadhan. Ada banyak pengunjung datang dan makan di tempat. Hal ini membahagiakan buat bisnis, tetapi menakutkan karena bisa menjadi celah penularan Covid-19.
”Kami dilema. Kalau tidak ada pelanggan, kami tidak yakin bisa bertahan. Tapi, kalau mereka ada di kedai, kami takut ada penularan (Covid-19). Kami akhirnya membuat regulasi baru. Semua pengunjung wajib memakai masker, satu meja hanya boleh diisi sekitar dua orang, dan konsumen wajib berjauhan satu sama lain. Ini akan diterapkan hingga nanti,” kata Azizah.
Pengusaha kuliner di Depok, Citra Ajeng (34), Kamis (28/5/2020), mengatakan, ia harus pintar berinovasi agar usahanya bertahan. Bisnisnya terpuruk pada akhir Februari 2020 hingga Maret 2020. Ia pun menutup dua kedai takoyaki miliknya dan fokus beroperasi di satu kedai.
Di kedai tersebut, Citra berupaya agar tetap mendapatkan pemasukan. Ia beralih ke pembelian melalui ojek daring. Setiap makanan atau minuman yang diantar diberi segel dan kartu suhu tubuh pengojek. Tujuannya untuk menjamin keamanan produk.
Siasat lain yang diterapkan adalah memberi cairan pembersih tangan gratis untuk pembelian tertentu. Citra juga melihat minat pasar, kemudian menerjemahkannya dalam menu baru.
”Ada menu baru, misalnya kopi dalgona yang populer di media sosial selama pandemi. Ada juga menu bento dan susu dari buah asli. Saya tidak menaikkan harga di masa seperti ini. Sebab, ada banyak konsumen yang ingin jajan, tetapi dengan harga murah,” kata Citra.
Ia tidak punya persiapan khusus menjelang kehidupan normal baru. Namun, Citra akan terus menjaga kebersihan dan keamanan produknya untuk konsumen.
Jeli melihat pasar
Saat dihubungi terpisah, CEO Sparks Fashion Academy (SFA) Floery Dwi Mustika mengatakan, semua pengusaha dari beragam sektor tengah menghadapi disrupsi. Untuk itu, pengusaha perlu jeli membaca pasar, seperti kebutuhan dan keinginan konsumen.
”Pengusaha harus bisa berubah dengan cepat dan berinovasi, baik inovasi pada proses, layanan, maupun produknya. Pengusaha perlu melihat sumber daya yang dimiliki dan menganalisis aspek yang paling memungkinkan untuk berubah. Jika tidak siap berubah, usaha kita akan habis,” kata Floery.
Perubahan itu perlu merujuk ke kebutuhan pasar. Adapun inovasi harus memberi nilai tambah bagi konsumen dan pengusaha. ”Mental harus kuat. Boleh terpuruk sebentar, tapi setelahnya harus berpikir langkah ke depan,” katanya.
Salah satu respons institusi Floery terhadap pandemi adalah memindahkan pelatihan ke ruang digital. Hal ini menantang karena akademi busana menitikberatkan pada praktik langsung di kelas. Kendala ini disiasati dengan persiapan. Para murid diminta menyampaikan pertanyaan beberapa hari sebelum kelas, sedangkan pengajar diminta menyiapkan konten sesuai kebutuhan murid.
”Juni 2020 kami akan membuat layanan home schooling. Kami lah yang harus aktif mendatangi calon murid jika ingin akademi tetap berjalan,” ujar Floery.
Untuk menghadapi era normal baru, Floery akan menerapkan protokol kesehatan di akademinya. Setiap orang wajib bermasker dan pengajar wajib mengenakan pelindung wajah, kapasitas ruang kelas dibatasi untuk lima orang, dan ruangan akan disemprot disinfektan secara berkala.
Menurut dia, menjaga kebersihan layanan di masa pandemi sangat penting. Selain untuk menjamin keamanan semua orang, hal ini pun menjaga kepercayaan konsumen terhadap jasa atau layanan yang ditawarkan pengusaha.