Mereka yang bertugas di tengah pandemi Covid-19 dan tetap bekerja sampai melewati Lebaran harus menahan diri bertemu keluarga.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Mereka yang bertugas di tengah pandemi Covid-19 dan tetap bekerja sampai melewati Lebaran harus menahan diri bertemu keluarga. Setelah melawan hawa nafsu selama puasa, ujian baru harus dilewati saat Lebaran, yakni menahan kangen kepada orang-orang terkasih.
Sejak medio Maret 2020, Shakarullah (32) menjadi tim penanganan Covid-19 di RSUD Ratu Aji Putri Botung, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Sejak itu, dia mendedikasikan waktu dan tenaga untuk menangani pasien Covid-19.
Sebagai pengemudi ambulans, Shakarullah berhadapan langsung dengan orang-orang yang memiliki gejala dan yang positif Covid-19. Karena petugas kesehatan terbatas, ia juga kerap menjalankan tugas lain agar penanganan pasien tetap berjalan.
Ia sempat tidak menjalankan ibadah puasa karena kesehatannya menurun. ”Saya dua hari tidak puasa karena mengalami diare dan demam. Saya harus konsumsi obat dan makan yang teratur. Saya tetap tinggal di mes yang disediakan. Kalau pulang, takut membawa virus ke orang rumah,” kata Shakarullah yang akrab dipanggil Shaka ketika dihubungi dari Balikpapan, Minggu (24/5/2020).
Saya tetap tinggal di mes yang disediakan. Kalau pulang, takut membawa virus ke orang rumah.
Sebulan pertama bertugas, ia tidak pulang ke rumah karena bertugas 14 hari dan menjalani karantina di mes 14 hari. Hampir dua bulan bertugas, Shaka baru pulang ke rumah satu kali selama tujuh hari.
Pada Lebaran kali ini, dia tak bisa bertemu putrinya dan berkumpul bersama orangtua. ”Sedih juga melihat unggahan foto teman-teman lain yang masih bisa berkumpul dengan keluarga. Sejak pandemi Covid-19, apalagi Lebaran, kangen banget sama keluarga karena tidak bisa bertemu langsung,” kata Shaka.
Shaka bahkan harus menahan diri bertemu keluarga sampai minggu depan. Itu pun jika tes cepat (rapid test) yang dijalani bersama dan kawan-kawan satu mes hasilnya nonreaktif. Jika salah satu saja ada yang reaktif, mereka harus melalui karantina 14 hari lagi dan menjalani tes cepat kedua.
”Jadi, waktu kunjung ke keluarga tergantung kondisi kesehatan teman satu mes. Maka itu, video call jadi obat kangen dengan keluarga,” katanya.
Meski sudah lima tahun bertugas sebagai pengemudi ambulans, Shaka merasa tahun ini adalah tahun terberat. Ia harus melalui prosedur ketat saat menjemput pasien.
Pada suatu malam, ia harus menjemput pasien di Balikpapan mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Kacamata goggle yang ia kenakan berembun, sementara ia harus tetap mengendarai mobil dan membawa pasien dalam kondisi jalan yang minim cahaya.
Begitu juga sekujur badan yang mulai berkeringat. Perjalanan pergi-pulang sekitar 2 jam jadi terasa lebih lama. Pada tahun-tahun sebelumnya, ia bisa langsung pulang setelah bertugas. Tahun ini, ia tidak bisa setiap hari pulang karena harus melakukan berbagai prosedur karantina.
Awaludin (32), perawat di Puskesmas Kelurahan Sotek, juga harus menahan diri bertemu istri dan anaknya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar tak berkontak langsung dengan istrinya yang hamil tujuh bulan.
”Dokter membolehkan saya pulang, tetapi saya khawatir karena istri saya sedang hamil. Jadi, saya sebisa mungkin pulang ketika istri tidak di rumah,” kata Awaludin yang biasa disapa Awal.
Awal lebih banyak tidur di puskesmas. Selama bulan puasa, ia baru tiga kali pulang. Bertugas saat Lebaran sudah dilalui sejak 2011. Namun, tahun ini terasa berbeda karena ia tak bisa setiap saat bertemu istri untuk melihat langsung perkembangan kandungannya.
Tugas tahun ini juga lebih berat bagi Awal. Tidak hanya menghadapi pasien yang terindikasi Covid-19, Awal juga bertugas memeriksa kesehatan di Pelabuhan Feri Penajam. Praktis, ia berkontak langsung dengan orang dari sejumlah daerah.
Ketika ada kesempatan pulang ke rumah, Awal langsung menyemprotkan disinfektan ke barang yang ia kenakan. Ia langsung ke kamar mandi dan mencuci semua pakaiannya. Awal juga langsung berendam dengan sabun antikuman. Setelah semua proses itu dilewati, ia baru merasa aman bercengkerama dengan istri dan anaknya.
Solidaritas
Meski tahun ini adalah tahun yang lebih berat dalam menjalani tugas, mereka bersyukur karena solidaritas dan bantuan dari masyarakat datang silih berganti.
Mereka merasa perjuangan melawan virus yang tak kasatmata itu didukung banyak orang.
Bantuan datang berupa APD, makanan, vitamin, dan suplemen. Anak muda yang tergabung dalam Komunitas Gemar Belajar (Gembel) Penajam, misalnya, menjual kaus yang sebagian keuntungannya disalurkan untuk membeli APD. Mereka menjual 64 kaus dan bisa membeli 20 APD yang dibagikan ke puskesmas-puskesmas.
”Kami mengandalkan jaringan komunitas dan harapannya bisa terus berlanjut sampai pandemi berakhir,” ujar Ahmad Fitriyadi M (33), salah satu anggota Gembel.
Kami memang tidak berjuang sendiri dan itu yang buat saya jadi lebih kuat.
Bantuan-bantuan itu membuat orang seperti Shaka dan Awal merasa lebih kuat dalam menjalankan tugas. Meski merasa kelelahan, inisiatif-inisiatif warga membuat tugas mereka terasa lebih bermakna.
”Setiap saya pulang ke mes, ada saja bantuan yang datang dari warga. Kami memang tidak berjuang sendiri dan itu yang buat saya jadi lebih kuat,” kata Shaka.
Shaka berharap jumlah penderita Covid-19 segera menurun. Ia juga ingin masyarakat tak meremehkan berbagai protokol kesehatan yang ada. Hingga Rabu (27/5/2020), total kasus positif Covid-19 di Kaltim tercatat 277 orang. Jumlah pasien meninggal tiga orang. Adapun pasien yang dirawat 152 orang, lebih banyak dibandingkan yang dinyatakan sembuh, yakni 122 orang.
Ia berharap pandemi Covid-19 segera berlalu sehingga petugas kesehatan seperti dirinya tak perlu lagi memendam rindu bertemu keluarga.