Istilah normal baru belum dipahami merata oleh warga. Ketidakpahaman soal kondisi normal baru ini berpotensi menurunkan kewaspadaan masyarakat yang pada gilirannya justru bisa memicu gelombang kedua pandemi Covid-19.
Oleh
sekar gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak semua warga paham pada istilah normal baru yang disampaikan pemerintah. Pemahaman yang keliru dinilai berbahaya karena bisa melonggarkan kewaspadaan terhadap penyebaran Covid-19.
Warga Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (29/5/2020), Nurul (17), mengaku tahu istilah normal baru. Namun, dia tidak paham maksud kalimat tersebut.
Adapun warga Mampang Prapatan lainnya, Saripah (56), mengatakan, ia belum pernah mendengar tentang wacana normal baru yang disampaikan pemerintah. Ketika dijelaskan maksudnya, ia menyambut baik kabar tersebut. Ia menantikan geliat aktivitas masyarakat setelah menjalani pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama hampir dua bulan.
”Saya ingin sekali keadaan kembali normal seperti dulu. Kalau disuruh pakai masker (pada masa normal baru), ya, nanti saya akan pakai,” kata Saripah.
Untuk diketahui, DKI Jakarta menjadi provinsi pertama di Indonesia yang menerapkan PSBB sejak 10 April 2020 hingga 4 Juni 2020. Sebanyak 60 persen warga Jakarta ada di rumah pada April hingga awal Mei 2020. Angka ini diperoleh dari pemindaian sinyal telepon seluler warga (Kompas, 19/5/2020).
Kementerian Koordinator Perekonomian pada pertengahan Mei 2020 menyusun skema pemulihan ekonomi setelah krisis Covid-19. Kajian tersebut mencakup lima tahap pelonggaran PSBB.
Kalau terburu-buru, kami khawatir malah akan terjadi pandemi gelombang kedua. Kehidupan normal baru hanya bisa diterapkan ketika kita yakin pandemi telah terkendali
Fase pertama dimulai pada 1 Juni 2020, kedua 8 Juni 2020, ketiga 15 Juni 2020, keempat 6 Juli 2020, serta fase kelima pada 20 Juli dan 27 Juli 2020.
Adapun Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19 pada pertengahan Mei 2020. Pemerintah lalu menyiapkan protokol agar masyarakat produktif dan aman selama pandemi.
Jangan buru-buru
Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pusat Husein Habsyi mengimbau agar wacana normal baru tidak buru-buru diterapkan. Edukasi menerus dari pemerintah diperlukan agar pemahaman masyarakat merata. Hal ini sekaligus mencegah longgarnya kewaspadaan masyarakat terhadap penyebaran Covid-19.
”Persiapan dan kepastian dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan. Belum semua masyarakat memahami PSBB, lalu muncul lagi terminologi new normal. Jangan sampai masyarakat menerjemahkan istilah ini sebagai kehidupan normal seperti sebelum pandemi,” kata Husein.
Penerapan normal baru dinilai terburu-buru jika tidak memenuhi syarat-syarat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kehidupan normal baru hanya bisa diterapkan jika negara punya kemampuan mengendalikan transmisi virus. Selain itu, kemampuan rumah sakit untuk menguji, mengisolasi, serta menangani tiap kasus dan melacak tiap kontak harus terjamin.
”Kalau terburu-buru, kami khawatir malah akan terjadi pandemi gelombang kedua. Kehidupan normal baru hanya bisa diterapkan ketika kita yakin pandemi telah terkendali,” kata Husein.
Ia mengimbau agar masyarakat dan pemerintah tetap waspada terhadap penyebaran virus korona baru. Sejumlah protokol kesehatan dan keamanan yang berlaku selama ini tetap harus dijalankan, bahkan diperketat.
Di sisi lain, warga Cisauk, Tangerang, Banten, Sutejo (54), menantikan kondisi normal baru karena prihatin dengan orang yang kehilangan pekerjaan saat pandemi. Ia berencana untuk tetap mengikuti protokol kesehatan hingga kondisi dinyatakan aman.
Hal yang sama disampaikan Raya (34), warga Tangerang. Kendati belum paham benar tentang kehidupan normal baru, ia menantikan masa ketika semua orang dapat bekerja kembali. Ia juga akan menerapkan prinsip jaga jarak, rajin mencuci tangan, dan mengenakan masker jika sudah bekerja kembali.