Pandemi Covid-19 membuka mata tak mudahnya menjaga dan merawat warga lanjut usia. Padahal, jumlah lansia Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 60 juta jiwa pada 2045.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjaga dan merawat warga lanjut usia nyatanya tidak mudah. Bangsa Indonesia mempunyai penghormatan besar pada lansia, tetapi tantangannya kian besar di tengah pandemi Covid-19 dan perubahan struktur penduduk. Inovasi sistem untuk menjaga lansia tetap bermartabat dan sejahtera di hari tuanya perlu terus didorong.
Indonesia tahun ini memiliki sekitar 28 juta lansia, hampir sama dengan seluruh penduduk Malaysia. Sebanyak 1 dari 10 penduduk Indonesia adalah lansia. Sementara itu, 15 persen pasien positif korona dan 43 korban meninggal akibat Covid-19 adalah lansia. Situasi itu menempatkan lansia dalam risiko tinggi di tengah pandemi.
Tingginya risiko kematian itu akibat penyakit penyerta yang mereka derita, mulai dari penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, hingga gangguan pernapasan. Daya tahan tubuh mereka pun rendah. ”Tanpa Covid-19 pun, risiko kematian lansia tinggi,” kata Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Turro S Wongkaren di Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Karena itu, di tengah peringatan Hari Lanjut Usia Nasional setiap tanggal 29 Mei dan pandemi Covid-19, warga lansia perlu lebih diperhatikan. Pemberlakuan kenormalan baru yang mendorong anak dan penduduk muda beraktivitas di luar rumah memang bisa meningkatkan paparan korona, tetapi risiko kematian terbesar tetap ada pada lansia.
Menjaga lansia di masa pandemi tidak mudah. Banyak layanan kesehatan terhenti atau beralih ke digital. Program kerja di rumah juga menuntut sebagian lansia yang masih bekerja untuk cepat beradaptasi dengan teknologi. Namun, beragamnya kemampuan mereka memakai gawai nyatanya justru sering menimbulkan ketegangan dalam keluarga lansia.
Dosen psikologi lanjut usia Fakultas Psikologi UI, Lathifah Hanum, menambahkan, konflik dalam keluarga tak melulu soal penggunaan gawai. Menjaga lansia tetap di rumah dan tak tertular korona, memberi pemahaman yang benar soal Covid-19, atau merawat lansia yang sakit bisa memberi beban tersendiri bagi keluarga.
Beban itu biasanya bersumber dari pola komunikasi keluarga. Kesenjangan komunikasi antargenerasi dalam keluarga pasti akan terjadi.
Kemampuan kognitif atau daya tangkap lansia umumnya berkurang akibat turunnya fungsi tubuh seiring pertambahan usia atau penggunaan obat-obatan akibat penyakitnya. Lansia juga punya nilai yang bisa jadi berbeda dengan nilai anggota keluarga yang lebih muda.
”Bangun komunikasi yang hangat dan terbuka antara lansia dan keluarga,” kata Hanum. Upaya ini tentu tidak mudah karena akan sangat bergantung pada pola komunikasi dan dinamika keluarga. Selain itu, sering tidaknya pemikiran lansia distimulasi juga memengaruhi kemampuan mereka berkonsentrasi.
Ketidakmampuan keluarga meregulasi atau mengatur diri saat merawat lansia juga dapat menimbulkan stres yang bisa memicu ketegangan. Keluarga perlu membangun sistem yang membuat anggota keluarga yang merawat lansia tetap bisa beristirahat dan memiliki waktu bagi diri sendiri.
Komunikasi hangat dan kemampuan meregulasi diri itu kian dibutuhkan karena perawatan lansia semasa pandemi, baik yang sakit maupun sehat, bertumpu pada keluarga. Perubahan pola layanan kesehatan ke arah digital atau terhentinya layanan posyandu lansia (pos pembinaan terpadu) menuntut peran keluarga lebih besar menjaga lansia.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari dalam webinar ”Elderly Life and Care Post Covid-19”, Kamis (28/5/2020), menyebut 88 persen lansia Indonesia tinggal dalam keluarga. Kondisi itu akan terus dijaga meski tantangannya tak mudah.
Untuk mendukung lansia dalam keluarga, terutama selama pandemi, Kementerian Kesehatan menyebarkan berbagai materi edukasi soal Covid-19 dan peran keluarga via media sosial. ”Keluarga perlu mendampingi, jadi pendengar yang baik, berbicara positif, hingga mengajari lansia berkomunikasi digital,” katanya.
Kian besar
Pada 100 tahun Indonesia merdeka, diperkirakan ada lebih dari 60 juta lansia di Indonesia atau 1 dari 5 penduduk adalah lansia. Meski jumlah lansia membesar, jumlah anak dalam keluarga akan makin kecil. Migrasi antardaerah atau antarnegara pun kian besar. Semua itu membuat kemampuan keluarga menjaga dan merawat lansia makin berkurang.
Keluarga perlu mendampingi, jadi pendengar yang baik, berbicara positif, hingga mengajari lansia berkomunikasi digital.
Untuk menjaga lansia itu, lanjut Turro, tidak bisa diserahkan kepada pemerintah. ”Perlu upaya gabungan antara menjaga lansia tetap sehat dan produktif yang bisa menjaga diri, penguatan keluarga, baru pemerintah,” katanya.
Lansia yang produktif dan mampu mengurus hidupnya sendiri tidak akan menjadi beban bagi penduduk usia produktif. Dengan demikian, tabungan negara akan meningkat sehingga investasi dan ekonomi bangsa bisa terus digerakkan. ”Lansia yang produktif bisa menjadi bonus demografi kedua bagi bangsa,” ujar Turro.
Penguatan peran keluarga menjaga lansia harus dilakukan. Menitipkan lansia ke panti jompo bukan jadi budaya Indonesia sehingga pola pembangunan rumah anak atau anggota keluarga lain di dekat rumah lansia bisa dikembangkan. Jika anak tinggal di daerah berbeda, penjagaan lansia bisa diperbantukan kepada anggota keluarga lain atau masyarakat sekitar.
Namun, itu bukan berarti anak bisa lepas tangan. ”Anggota keluarga lain atau tetangga sekitar hanya kepanjangan tangan anak merawat orangtua mereka,” kata Hanum.
Pemerintah, khususnya di daerah dengan jumlah persentase lansia besar, seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Utara, perlu mulai memikirkan investasi bagi lansia. Selama ini, investasi masih berkutat pada anak dan penduduk usia produktif. Padahal, warga lansia yang sehat, mandiri, dan produktif akan berdampak besar bagi masyarakat dan negara.