Pilihan bersepeda di kala pandemi Covid-19 ini bisa memberikan kebugaran bagi tubuh serta menyingkirkan kepenatan. Meskipun begitu, kita harus tetap waspada agar kita tidak tertular virus korona saat bersepeda.
Oleh
FAJAR RAMADHAN/INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Bersepeda menjadi pilihan banyak orang akhir-akhir ini. Di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, hampir setiap waktu bisa kita jumpai pesepeda yang melintas. Ada yang bersepeda untuk olahraga, sebagian lagi menggowes untuk olahraga. Sehatkah bersepeda di kala pandemi Covid-19 ini?
President of Indonesian Physiology Society Ermita Isfandiary Ibrahim Ilyas mengatakan, bersepeda di kala pandemi baik untuk mengatasi kecemasan dan depresi. Bersepeda bisa dilakukan menggunakan sepeda statis di dalam rumah dan sepeda di luar rumah secara terbatas.
”Bagi kita yang selama ini bekerja dari rumah mungkin hanya duduk dari pagi sampai sore. Badan bisa capek. Jadi, kita harus imbangi dengan exercise, salah satunya bersepeda,” ujarnya, Jumat (29/5/2020).
Ermita menyebutkan, pukul 09.00-10.00 merupakan salah satu waktu terbaik untuk bersepeda. Pesepeda bisa mendapatkan vitamin D yang optimal. Terlebih paparan sinar ultraviolet pada jam tersebut belum terlalu tinggi.
”Sebenarnya, kalau lebih siang, vitamin D lebih bagus, tapi paparan ultravioletnya juga tinggi. Jadi, jangan lama-lama,” katanya.
Waspadai potensi penularan
Bagi yang memaksakan diri bersepeda di luar rumah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Bersepeda lebih dari satu orang secara beriringan harus tetap menjaga jarak. Jika kecepatannya sedang, jarak dengan teman di belakang minimal harus 10 meter. Untuk yang berkecepatan tinggi, minimal 20 meter.
Hal tersebut dilakukan untuk menghindari bakteri dan virus dari pesepeda di depan yang mungkin terbawa oleh embusan angin. Cara lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19 adalah bersepeda secara berjajar dengan jarak minimal 2 meter.
Di sisi lain, Ermita juga menyarankan agar pesepeda tetap menggunakan masker saat di luar rumah. Untuk mengatur kadar oksigen, ia menyarankan agar melakukannya dengan intensitas ringan hingga sedang. Durasinya juga perlu diatur sekitar 20 menit hingga 30 menit.
Untuk orang-orang yang terpaksa harus berolahraga keluar, maka tetap memakai masker dan menjaga jarak fisik. Sesampainya di rumah tetap harus mencuci tangan dan mengganti baju.
Olahraga di rumah
Ermita tetap menyarankan agar masyarakat berolahraga secara mandiri di rumah. Sebab, potensi penularan Covid-19 hingga kini masih tinggi meski pelonggaran-pelonggaran sudah dilakukan.
”Dari kacamata kesehatan dan olahraga, tetap tidak ada perubahan. Protokol kesehatan sebelumnya tetap harus dijalankan,” katanya.
Lebih khusus, Ermita menganjurkan kelompok usia rentan untuk berolahraga dan beraktivitas di dalam rumah.
Menurut Ermita, banyak jenis olahraga yang tetap bisa dilakukan di rumah. Misalnya senam, jalan kaki mengelilingi halaman, treadmill, atau bersepeda statis. Terlebih, berolahraga di rumah bisa dilakukan lebih leluasa karena tanpa memakai masker. Ia juga menganjurkan untuk menahan diri berolahraga di pusat kebugaran.
”Orang kalau nge-gym biasanya lupa diri karena sudah membayar. Latihannya jadi lama dan ketemu banyak orang,” ujarnya.
"Return to play"
Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga Michael Triangto menjelaskan return to play dari sejumlah cabang olahraga di Ameriksa Serikat. Aturan itu membagi tiga tingkat risiko bagi orang yang berolahraga, termasuk pesepeda.
Pesepeda berisiko rendah ketika mengendarai sepeda statis di rumah. Orang yang menggenjot sepeda milik sendiri di ruang publik dan menghindari keramaian juga termasuk berisiko rendah.
Risiko bagi pesepeda naik menjadi medium ketika berkendara sendiri atau bersama anggota keluarga ke tempat yang agak ramai. Dasar pembagian risiko, menurut dia, tetap mengacu kepada jarak sosial dan fisik. Bersepeda bisa jadi berisiko tinggi bilamana kita bergabung dengan grup besar.
”Kalau saya simpulkan. Yang pertama, sepeda harus punya sendiri. Jangan sampai sepeda kita dipakai teman, kemudian kita pakai lagi karena itu mengubah risiko ringan menjadi risiko sedang. Bersama-sama main sepeda dengan anggota nonkeluarga, risiko jadi lebih besar. Bersepeda secara ramai-ramai seharusnya tidak boleh dulu,” katanya.
Dia menjelaskan, ada tiga tujuan berolahraga, yakni untuk sehat, prestasi, dan rekreasi. Olahraga untuk kesehatan berintensitas ringan sampai sedang.
Korelasi antara intensitas berolahraga dan kemungkinan mengalami infeksi tergambar dalam kurva J. Ada tiga titik di kurva itu: average, low, dan high.
Kalau kita tidak berolahraga sama sekali, risiko mengalami infeksi berada di titik average. Ketika berolahraga ringan sampai sedang, kemungkinan infeksi menjadi rendah karena latihan fisik kategori ini dapat meningkatkan imunitas tubuh. Namun, imunitas tubuh bisa berkurang lantaran aktivitas fisik yang terlalu berat.
Oleh karena itu, lanjut Michael, warga harus menentukan tujuan dari berolahraga. Masker tetap diperlukan ketika bersepeda. Selain untuk memperkecil risiko tertular virus korona, masker juga dapat mengendalikan kita dalam mengeluarkan tenaga. Mengapa demikian?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masker membuat kita agak sulit bernapas. Oleh karena itu, saat berolahraga berat tidak dianjurkan menggunakan masker.
”Mengenakan masker saat bersepeda akan membuat kita menyesuaikan diri dengan kemampuan kita. Kalau dipaksakan, kita akan merasakan sesak,” ujarnya.