Waspadai Kecemasan Berlebihan terhadap Covid-19
Pandemi Covid-19 membuat kita harus waspada. Namun, jangan sampai khawatir berlebihan sehingga bisa berdampak pada kesehatan mental.
Meski sudah berlangsung sekitar tiga bulan, pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Kewaspadaan terhadap pandemi membuat kebiasaan hidup sehari-hari berubah.
Untuk menjaga agar tidak tertular SARS-CoV-2 serta memutus rantai penularan virus penyebab Covid-19, dilakukan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dengan orang lain setidaknya 1,5 meter, memakai masker di tempat keramaian, juga rajin mencuci tangan atau memakai cairan antiseptik.
Memasukkan barang dari luar rumah pun ada protokolnya. Sebagai contoh, menyemprotkan disinfektan pada barang, membuang atau membilas plastik kemasan, serta mencuci sayuran dan buah-buahan.
Kewaspadaan dan kekhawatiran terkait Covid-19 merupakan hal yang wajar. Namun, jika terjadi kekhawatiran berlebihan, obsesional, dan irasional, seperti mengenakan sarung tangan di samping masker tiap keluar rumah, memanaskan makanan yang dibeli, bahkan memanggang ulang kue atau kukis karena terlalu takut tertular virus, hal itu bisa berdampak pada kesehatan mental.
Baca juga : Melawan Korona, Melawan Ketidakjelasan
Tak hanya khawatir tertular, ada orang yang bereaksi berlebihan pada gejala atau rasa tidak nyaman di tubuhnya. Suhu tubuh sedikit naik, bersin, atau tenggorokan gatal, langsung cemas dan merasa terkena Covid-19. Padahal, bisa jadi peningkatan suhu tubuh karena sedikit dehidrasi, bersin akibat banyak debu, dan tenggorokan gatal karena kebanyakan makan gorengan.
Gangguan kecemasan
Prevalensi penderita gangguan kecemasan di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, mencapai 6 persen pada penduduk berusia 15 tahun ke atas. Artinya, sekitar 14 juta penduduk di di Indonesia mengalami gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala kecemasan dan depresi.
Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Danardi Sosrosumihardjo, setidaknya 16-20 persen penduduk mengalami gangguan kecemasan dalam berbagai bentuk. Salah satu bagian dari gangguan kecemasan adalah gangguan somatoform, yakni keluhan fisik berulang disertai kelainan medik minor. Gejala fisik tersebut diawali atau merupakan dampak dari kondisi psikologi.
Gangguan somatoform terbagi lagi menjadi disfungsi otonomik. Biasanya penderita mengeluhkan gangguan ringan seperti agak sesak napas atau jantung berdebar-debar. Dari pemeriksaan tidak ada gangguan signifikan secara fisik.
Bentuk lain adalah gangguan somatisasi. Itu berupa gangguan kecemasan yang direpresentasikan dalam bentuk gangguan fisik, misalnya asam lambung atau tekanan darah sedikit meningkat, asma kambuh, konstipasi (sulit buang air besar), atau urtikaria (biduran).
Baca juga : Jaga Jiwa Selama Masa Bahaya Korona
Ada pula gangguan kecemasan penyakit yang dikenal sebagai hipokondria atau hipokondriasis. Penderita memiliki keyakinan yang menetap bahwa ia menderita sakit fisik.
Gangguan ini paling sulit diatasi karena ada penyangkalan kuat terkait kondisi psikisnya. Penderita hipokondria akan datang berkali-kali dan berkeras menyatakan dirinya sakit meski pemeriksaan medis tidak menemukan hal yang salah pada tubuhnya.
Pengidap hipokondria, demikian laman Medicalnewstoday, mencurigai fungsi tubuh normal seperti detak jantung lebih cepat, berkeringat, dan buang air besar yang agak berbeda dari biasa sebagai gejala penyakit. Hidung beringus atau kelenjar getah bening sedikit bengkak disangka tanda awal penyakit berat. Batuk pun diyakini sebagai gejala kanker paru.
Maka, ia akan memeriksakan diri ke dokter berulang kali atau ke dokter berbeda untuk memastikan gejala penyakit. Ia juga cenderung menghindari banyak hal sebagai upaya mencegah tertular penyakit, misalnya tak mau menyentuh pegangan pintu karena khawatir terkontaminasi kuman, mencuci tangan sehabis bersalaman atau memegang benda-benda di tempat umum.
Rencana pemerintah merelaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bisa membuat kecemasan makin bertambah.
Sejumlah studi di Barat memperkirakan, 1-7 persen dari populasi mengidap hipokondria. Sementara Danardi memperkirakan, jumlah pengidap hipokondria di Indonesia 1 persen dari jumlah penderita gangguan kecemasan.
Belum diketahui penyebab pasti gangguan ini. Namun, faktor yang memungkinkan antara lain genetik, salah memahami sensasi fisik akibat kesalahpahaman mengenai kerja tubuh, memiliki keluarga yang menderita hipokondria (pola asuh), pernah sakit keras sehingga khawatir hal yang sama terulang lagi.
Hipokondria juga bisa terjadi pada orang dengan gangguan psikiatri lain, seperti depresi, gangguan panik, ataupun gangguan obsesif kompulsif.
Gangguan kecemasan umumnya berawal pada usia dewasa muda, 20-an tahun. Biasanya setelah menderita sakit berat, orang yang dicintai atau sahabat dekat sakit atau meninggal.
”Pada usia ini, kepribadian sudah terbentuk, tapi kurang kuat daya adaptasinya sehingga mudah cemas. Pada masyarakat Asia Tenggara, orang umumnya merepresentasikan gangguan perasaan dengan gangguan fisik. Orang cenderung tidak mengakui sedang stres, sebagai gantinya akan mengeluh sakit kepala atau sakit perut,” papar Danardi.
Para ahli kesehatan jiwa mencatat, orang dengan gangguan kecemasan penyakit sering kritis terhadap diri sendiri atau perfeksionis. Mereka beranggapan, sehat adalah tidak adanya rasa sakit sama sekali. Padahal, sejumlah rasa sakit dan nyeri adalah normal bagi kebanyakan orang.
Cara mengatasi kecemasan di masa pandemi Covid-19 antara lain dengan membatasi membaca media sosial. Mencari informasi hanya dari sumber tepercaya, misalnya laman Organisasi Kesehatan Dunia (who.int) atau laman Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (covid19.go.id).
Baca juga : Saran Psikolog-Terapis Atasi Kecemasan di Tengah Wabah Korona
Selain itu, melakukan rutinitas sehari-hari serta hobi yang menyenangkan, seperti membaca, memasak, berkebun. Menjaga kesehatan dengan olahraga, seperti jalan kaki di taman atau lapangan, melakukan peregangan serta yoga. Meningkatkan rasa tenang dengan beribadah atau meditasi.
Jika kecemasan tidak mereda, sebaiknya mencari pertolongan kepada psikolog atau psikiater. Para ahli tersebut bisa mendiagnosis dan memberi saran tentang masalah yang dirasakan.
Sejatinya, pengidap hipokondria tidak berisiko tinggi terkena Covid-19 karena mereka sangat waspada dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan. Namun, stres dan kecemasan akibat hipokondria bisa memicu gejala penyakit lain. Pada 2016, para peneliti Norwegia mendapati, orang dengan tingkat kecemasan tinggi mengalami peningkatan risiko penyakit jantung sekitar 70 persen.
Orang dengan tingkat kecemasan tinggi mengalami peningkatan risiko penyakit jantung sekitar 70 persen.
Terapi perilaku kognitif
Berdasarkan penelitian para ahli di Universitas Harvard dan Klinik Mayo, perawatan yang paling efektif bagi hipokondria adalah terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy/CBT). Terapi itu juga direkomendasikan para psikolog dan psikiater karena dapat membantu penderita untuk belajar menghadapi situasi yang memicu kecemasan secara lebih realistis.
Inti dari CBT adalah mengakui adanya kepercayaan salah yang mendasari masalah. Sebagai contoh, pengidap bisa dilatih untuk mengenali ketidaknyamanan minor, seperti sedikit sakit kepala tanpa mengira sebagai gejala tumor otak. Ia mampu belajar menerima hal itu dan berpikir sebagai mata tegang akibat membaca di tempat tanpa cahaya cukup baik. Atau, bisa jadi akibat sinusitis kambuh sehingga hanya perlu minum antihistamin untuk menghilangkan sakit kepala.
Penelitian Arthur Barsky dan David Ahern dari Departemen Psikiatri, Brigham and Women’s Hospital, Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, Boston, Amerika Serikat, yang dimuat dalam jurnal Asosiasi Kedokteran Amerika (JAMA), Maret 2004, menunjukkan, CBT yang dikembangkan secara khusus untuk mengubah pemikiran dan merestrukturisasi keyakinan pengidap hipokondria menunjukkan efek jangka panjang yang bermanfaat dan signifikan pada gejala hipokondria.
Dalam riset itu, terapi perilaku kognitif diberikan secara individual dalam enam sesi, masing-masing selama 90 menit, dengan interval mingguan. Setiap sesi ditulis dengan teliti sesuai manual dan dikhususkan untuk setiap faktor dari lima faktor yang menyebabkan pasien memperbesar gejala somatik dan salah mengartikan sebagai penyakit serius, yakni kewaspadaan pada tubuh, kepercayaan tentang etiologi gejala, keadaan dan konteks, penyakit dan perilaku peran sakit, serta suasana hati.
Setiap sesi terdiri dari informasi pendidikan tentang penguat gejala, latihan ilustrasi, dan diskusi untuk mempersonalisasikan materi yang disajikan.
Hasil riset oleh John March dan kolega dari Departemen Psikiatri Rumah Sakit Universitas Duke, North Carolina, AS, yang dimuat di JAMA, Agustus 2004, menunjukkan, selain CBT untuk membantu pasien merasionalkan ketakutannya, obat antidepresi golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti fluoxetine dan paroxetine membantu mengurangi kecemasan.
Hal senada dikemukakan Danardi. Untuk mengatasi hipokondria, selain CBT, perlu obat penenang seperti golongan benzodiazepine.
Pusat Pengelolaan Stres dan Kecemasan (the Center for Stress & Anxiety Management), San Diego, AS, menyatakan, terapi biasanya berlangsung paling sedikit 16-20 sesi. Pasien belajar untuk memahami gangguan kesehatan yang mereka rasakan terkait dengan kecemasan serta perilaku yang digunakan untuk mengatasi ketakutan itu.
Terkait Covid-19, misalnya, pengidap bisa diberikan kesadaran bahwa penyakit itu tidak menular lewat makanan. Namun, untuk mengurangi kekhawatiran, makanan pesanan bisa dipanaskan dalam microwave.
Paket kiriman, mesin anjungan tunai mandiri (ATM), keranjang, atau kereta belanja tidak menyebabkan infeksi. Hal yang harus dilakukan hanyalah rajin mencuci tangan atau memakai cairan antiseptik dan tidak menyentuh mata, hidung, ataupun mulut.
Jadi, timbul kesadaran baru bahwa waspada itu diperlukan, tetapi tidak perlu menjadi paranoid.