Kepercayaan Publik, Syarat Menuju Normal Baru
Pelaksanaan transisi menuju normal baru dalam masa pandemi Covid-19 membutuhkan kepercayaan publik yang tinggi terhadap pemerintah. Hal itu bertujuan agar kebijakan itu efektif dan tidak memicu gelombang kedua pandemi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang tidak eksplisit menyebutkan pentingnya kepercayaan publik dari enam syarat yang harus dipenuhi sebelum menuju normal baru. Namun, untuk Indonesia, kepercayaan publik bisa ditambahkan sebagai syaratnya, bahkan tanpa itu normal baru hanya akan menjadi kekacauan baru.
Dalam persyaratan yang diajukan oleh WHO, setiap negara yang hendak melonggarkan pembatasan dan menjalankan skenario normal baru harus bisa mengendalikan transmisi Covid-19. Syarat berikutnya, kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat, termasuk rumah sakit telah memadai untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengarantina mereka yang terinfeksi.
Selain mencegah terjadinya kembali risiko kasus impor, risiko Covid-19 harus diminimalkan, terutama di kelompok rentan seperti lanjut usia. Selain itu, langkah pencegahan di tempat kerja juga harus ditetapkan dengan ketat, meliputi jaga jarak fisik, adanya fasilitas mencuci tangan, dan sirkulasi udara yang baik.
Pernyataan WHO ini dilatari oleh dua hal, yaitu pandemi ini belum akan berakhir dalam waktu cepat. Selain itu, sejumlah negara memang telah menunjukkan penurunan kasus yang signifikan.
Baca juga: Menolak Takluk kepada Pandemi Covid-19
Sebagaimana dikemukakan Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO Mike Ryan, vaksin Covid-19 kemungkinan belum tersedia hingga akhir tahun ini. Bahkan, jika nanti ditemukan vaksin, butuh waktu dan upaya besar-besaran untuk menerapkannya.
Bahkan, menurut Ryan, virus ini bisa menjadi endemik di komunitas kita dan tak akan pernah hilang, seperti influenza, yang pernah menjadi pandemi global pada 1918. Karena itu, masyarakat global disarankan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk ini dan menyiapkan tranisisi ke normal baru.
Meski demikian, menurut Direktur Kawasan Eropa WHO Hans Henri P Kluge, jika negara tidak dapat memastikan enam kriteria WHO, jangan bermimpi mengurangi pembatasan dan mencapai normal baru. Covid-19 tidak kenal ampun dan memiliki kemampuan untuk melumpuhkan sistem kesehatan terkuat sekaliber negara-negara maju di Eropa hingga Amerika Serikat.
Saksikan juga: Suharso Manoarfa: Kebijakan Normal Baru Sesuai Protokol WHO (1)
Setelah menerapkan pembatasan yang ketat, sejumlah negara telah menunjukkan dapat mengendalikan Covid-19. Selandia Baru, misalnya, sepekan terakhir tidak mengalami penambahan kasus baru. Mereka telah melakukan 271.690 pemeriksaan dan menemukan 1.504 kasus dan 22 korban jiwa.
Negara lain yang sukses adalah Vietnam, yang mulai melonggarkan kembali aktivitas warga sejak akhir April. Sekalipun telah melaporkan adanya kasus pertama sejak 28 Januari hingga diakhirinya karantia, Vietnam hanya mencatat 312 kasus, tanpa korban jiwa.
Vietnam dan Selandia Baru telah berjuang keras dengan menerapkan pembatasan yang ketat, tes masif, dan penelusuran mereka yang dicurigai terinfeksi sehingga tidak menularkan secara luas.
Baca juga: Pelajaran Penting Penanganan Pandemi di Mata Ilmuwan
Situasi sebaliknya terjadi di Indonesia. Sejak melaporkan adanya kasus pertama dan kedua awal Maret 2020, kita tidak segera melakukan karantina wilayah, melakukan pembatasan tanpa sanksi tegas, tidak serentak, dan akibatnya sangat longgar. Dengan dalih tekanan ekonomi, kini pemerintah mengajak berdamai dengan Covid-19 dan menuju normal baru.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, pelonggaran pembatasan demi aktivitas ekonomi harus dilakukan hati-hati dan terukur. Jika tidak, hal itu bakal memicu ledakan kasus lebih besar. Belajar dari pandemi flu spanyol tahun 1918, gelombang kedua justru lebih mematikan.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, Sabtu (30/5/2020), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, penyesuaian pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akan diputuskan berdasarkan data dan perhitungan saintifik sesuai standar WHO, bukan berdasarkan asumsi-asumsi.
Di sisi lain, Indonesia perlu menyiapkan kondisi normal baru di mana masyarakat tetap produktif, tetapi aman dari Covid-19.
Suharso mengakui, pengumpulan data yang bisa diandalkan masih menjadi tantangan. Sejak coronavirus disease 2019 (Covid-19) menginfeksi masyarakat Indonesia, target 10.000 tes spesimen per hari masih belum bisa konstan dilaksanakan. Padahal, ini sangat penting untuk mengetahui pengendalian epidemi seperti yang disyaratkan WHO.
Bappenas telah mengeluarkan tiga kriteria untuk melonggarkan PSBB menuju normal baru. Kriteria pertama dan menjadi syarat mutlak adalah epidemiologi, yaitu angka reproduksi efektif (Rt) kurang dari 1 selama dua minggu berturut-turut. Artinya, angka kasus baru telah menurun setidaknya selama dua minggu berturut-turut.
Kriteria kedua adalah kapasitas sistem pelayanan kesehatan harus lebih besar dari jumlah kasus baru yang memerlukan perawatan. Adapun kriteria ketiga adalah surveilans, artinya kapasitas tes usap (swab) harus cukup. Dua kriteria terakhir ini hanya disebut sebagai pertimbangan.
Baca juga: Suharso Monoarfa: Keputusan Pemerintah Harus Berbasis Data Saintifik, Bukan Asumsi
Namun, Pandu Riono skeptis dengan nilai Rt yang diukur itu. ”Data kita bermasalah, misalnya variabel tanggal kapan dilakukan usap saja tidak dicatat. Lalu bagaimana mau membuat kurva pandemi yang benar?” tuturnya.
Sementara itu, epidemiolog dari Laporcovid19.org, Henry Surendra, mengatakan, kriteria kapasitas pelayanan kesehatan dan surveilans itu mesti menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi, bukan hanya menjadi pertimbangan.
Henry mengatakan, kapasitas tes di Indonesia saat ini sangat kurang jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sebagai perbandingan, untuk menemukan satu kasus positif di Indonesia hanya dibutuhkan 8 pemeriksaan. Padahal, di Taiwan harus dilakukan pemeriksaan 157 orang baru ketemu satu kasus dan Thailand 85 orang untuk menemukan kasus.
Bukan hanya jumlahnya yang minim, jangkauan tes juga terbatas. Pemeriksaan di Indonesia masih fokus kepada pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP). Itu pun sering terlambat sehingga banyak yang sudah meninggal duluan.
Indikator sosial
Selain indikator epidemiologi, kapasitas kesehatan dan daya dukung fasilitas fisik, WHO juga memberikan syarat berdimensi sosial, yaitu pelibatan warga dalam transisi menuju normal baru. Menurut sosiolog bencana yang mengajar di Program Studi School of Social Sciences, Nanyang Technological University, Sulfikar Amir, keterlibatan warga menjadi elemen penting, terutama karena kepercayaan publik kepada otoritas di Indonesia tergerus.
Bencana sebesar pandemi Covid-19, kata Sulfikar, ini tidak bisa dihadapi dalam individu, tetapi butuh proses kolektif yang terkoordinasi dengan baik. ”Koordinasi ini hanya bisa dijalankan oleh entitas yang punya otoritas,” katanya.
Dengan kondisi ini, saling bantu di level komunitas tidak akan cukup. ”Kalau skala bencananya lokal, seperti letusan gunung api, mungkin bisa direspons oleh komunitas setempat. Pandemi ini tidak bisa, baik elemen komunitas maupun otoritas harus bekerja sama mengatasinya,” tuturnya.
Otoritas dalam hal ini adalah kekuasaan yang sangat dipengaruhi kepercayaan publik. Semakin tinggi kepercayaan publik, maka otoritas akan kuat, demikian sebaliknya. ”Kepercayaan publik ini bergantung pada persepsi mereka terhadap apa yang dilakukan pemerintah, terutama terkait tiga hal, yaitu informasi, aksi, dan sumber daya,” katanya.
Kepercayaan publik ini bergantung pada persepsi mereka terhadap apa yang dilakukan pemerintah, terutama terkait tiga hal, yaitu informasi, aksi, dan sumber daya.
Di Indonesia, kepercayaan publik terhadap otoritas telah terkikis karena informasi kurang transparan, aksi tidak koheren, dan kapasitas tidak memadai terutama di awal penanganan pandemi. Padahal, krisis kepercayaan membuat kebijakan menjadi tidak efektif dan bisa memicu bencana ikutan.
”Krisis atau bencana bisa memicu bencana baru, seperti kerusuhan yang saat ini terjadi di Amerika, dan pernah terjadi dari sejumlah kejadian bencana dan krisis di Indonesia sebelumnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Sulfikar, pekerjaan rumah terbesar yang harus dilakukan pemerintah saat ini untuk menuju normal baru di Indonesia adalah bisa membangun kembali kepercayaan publik, untuk bersama-sama menghadapi Covid-19. Itu hanya bisa dilakukan jika pemerintah menunjukkan kesungguhan memprioritaskan keselamatan masyarakat dengan memenuhi seluruh kriteria WHO sebelum menuju normal baru.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegar, menambahkan, seharusnya antara kesehatan dan ekonomi tidak harus dipertentangkan. ”Situasi saat ini karena pemerintah keliru menetapkan prioritas dan keberpihakan kepada masyarakat luas,” katanya.
Kita tetap bisa memilih untuk menggerakkan ekonomi produktif yang berisiko rendah pada ancaman kesehatan, misalnya menggairahkan pertanian dan nelayan, selain memberi stimulus tepat sasaran. ”Ironisnya, di Indonesia justru bea masuk impor komoditas pangan dan mendorong konsumsi dilonggarkan, selain penghamburan anggaran untuk pelatihan prakerja,” tuturnya.
Normal baru seharusnya menjadi momentum baru untuk memperbaiki fondasi kehidupan sosial dan ekonomi, salah satunya dengan mendorong kemandirian pangan, selain mengatasi ketimpangan sosial. Jika itu tak dilakukan, normal baru hanya akan jadi abnormal lagi, dan bahkan bencana besar karena memperdalam krisis multidimensi.