Masih Ada Kedamaian meski dalam Badai Covid-19
Kenormalan baru atau kelaziman baru mungkin salah satu pengejawantahan ungkapan terkenal pelukis dunia Vincent van Gogh bahwa umat manusia mencari kedamaian atau beradaptasi dalam badai pandemi Covid-19.
Judul terinspirasi dari salah satu ungkapan terkenal pelukis dunia Vincent van Gogh dalam buku Surat-surat Vincent van Gogh. Dalam konteks saat ini di mana dunia menderita karena pandemi penyakit akibat virus korona jenis baru atau coronavirus disease 2019 (Covid-19) membuat ungkapan sang ilustrator menjadi bermakna.
Badai adalah pandemi yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejauh ini telah menjangkiti hampir 5,6 juta jiwa manusia di 216 negara. Covid-19 telah meminta tumbal hampir 353.400 jiwa yang 1.520 orang di antaranya atau 0,43 persen merupakan warga Indonesia. Para ahli dan peneliti juga memacu diri untuk menemukan vaksin atau obat Covid-19.
Baca juga: Keserakahan yang Menjadi Kenormalan
Selama ”pemusnah” wabah belum ditemukan, umat manusia terpaksa berdampingan dengan ancaman penularan SARS-CoV2 (severe acute respiratory syndrome-coronavirus 2). Namun, salah satu daya manusia adalah beradaptasi dan gotong royong untuk dapat bertahan hidup. Konsep kenormalan baru atau kelaziman baru (new normal) berbasis protokol kesehatan jika tidak berlebihan penulis kaitkan sebagai menemukan ”kedamaian” dalam badai pandemi seperti ungkapan terkenal Van Gogh itu.
Di Jawa Timur, protokol kesehatan telah berjalan meski bisa diyakini belum sepenuhnya dipahami, apalagi dilaksanakan, oleh seluruh populasi sekitar 40 juta jiwa itu. Tata cara hidup agar terhindar dari ancaman penularan Covid-19 terutama bermasker dan bersarung tangan.
Perilaku hidup bersih dan sehat atau PHBS, terutama kerap cuci tangan dengan sabun dan air, menghindari kontak fisik terutama dengan orang terindikasi Covid-19 dan menyingkir dari keramaian atau kerumunan. Upaya lain menjaga asupan tubuh dengan makanan minuman bergizi dan bervitamin, dan sebisa mungkin membatasi kegiatan ke luar rumah untuk terhindar dari potensi kontak fisik dengan orang terjangkit yang tidak bergejala.
Protokol terus dimasyarakatkan terutama sejak pengumuman kasus pertama Covid-19 yang diderita 6 warga Surabaya dan 2 warga Malang (kota dan kabupaten) pada Selasa (17/3/2020). Sampai dengan 75 hari kemudian atau hari ini, menurut laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/ yang dikelola Pemprov Jatim, ada 4.271 warga positif Covid-19 dengan rincian 348 jiwa kematian atau fatalitas 8,1 persen, 3.334 pasien dirawat, dan 570 orang dinyatakan sembuh.
Wilayah metropolitan Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik) menjadi yang terparah paparan wabah di antara 38 kabupaten/kota di Jatim. Sejak 27 April, untuk meredakan wabah, pemerintahan Surabaya Raya memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Metode ini sudah memasuki tahap ketiga atau perpanjangan kedua sampai 8 Juni nanti.
Baca juga: ”Transportasi Higienis” Jadi Kebutuhan di Era Kenormalan Baru
Bagaimana hasilnya? Tingkat penularan di Jatim tetap tinggi, yakni 1,3, sedangkan Surabaya (1,5), Sidoarjo (1,4), dan Gresik (1,3). Situasi di Surabaya adalah 2.300 warga positif dengan rincian kematian 202 jiwa, perawatan 1.899 pasien, dan sembuh 199 orang. Di Sidoarjo tercatat 600 warga positif dengan rincian kematian 49 jiwa, perawatan 527 pasien, dan sembuh 24 orang. Untuk Gresik ada 156 warga positif dengan rincian kematian 16 jiwa, perawatan 126 pasien, dan sembuh 14 orang.
Situasi wabah di Jatim, terutama Surabaya Raya, belum menggembirakan. Untuk itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Gresik Sambari Halim Radianto, dan Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo Nur Achmad Syaifuddin dalam berbagai kesempatan terpisah menyatakan belum dapat mempertimbangkan penerapan kelaziman baru.
Kelaziman baru bisa diterapkan jika tingkat penularan jauh di bawah 1 dengan asumsi wabah seiring waktu mereda atau tertangani sehingga sekadar infeksi biasa yang bisa diatasi dengan obat atau ramuan dari warung.
Kelaziman baru
Kelaziman baru di Jatim, khususnya Surabaya Raya, ibarat pepatah jauh di mata tetapi dekat di hati. Namun, tetap ada kelompok masyarakat yang mencoba menawarkan kelaziman baru berbasis protokol kesehatan untuk hidup ke depan. Jika belum ditawarkan, tetapi terus menjadi pertimbangan.
Wabah memaksa aktivitas sosial, terutama keagamaan dan pendidikan, pindah ke ruang maya atau media sosial, seperti Youtube, Facebook, Instagram, Zoom, dan Google Meet. Sebagian produktivitas dunia kerja pindah ke rumah. Pembelian komoditas secara dalam jaringan atau online meningkat seiring dengan meroketnya konsumsi akan informasi dan telekomunikasi berbasis internet.
Baca juga: Menyambut Normal Baru, Karyawan Diliputi Kekhawatiran
Namun, jika wabah mereda, aktivitas bisa kembalii seperti sedia kala meski terpaksa ada penyesuaian agar manusia terhindar dari ancaman penularan Covid-19. Otoritas Katolik di Jatim mempertimbangkan menambah frekuensi misa pada Minggu atau hari-hari perayaan. Sebab jika mengikuti protokol kesehatan, masa kapasitas gereja setiap kali misa hanya 50 persen dari daya tampung normal.
Ini untuk mengakomodasi kepentingan umat yang kangen beribadah ke gereja tetapi tetap dapat melaksanakan protokol kesehatan, yakni jaga jarak fisik antarumat selama peribadatan. Di sisi lain, siaran ibadat lewat radio, televisi, atau media sosial dipertahankan untuk kepentingan umat yang berhalangan karena disabilitas atau sedang sakit.
Kalangan pengusaha pusat belanja dan rumah makan jelas mempertimbangkan protokol kesehatan ke depan. Akan menjadi lazim makan dan minum di suatu tempat tetapi berjarak. Kursi individual akan menggantikan bangku yang bisa diduduki 2 atau lebih sekaligus. Tempat cuci tangan akan banyak diadakan guna membiasakan manusia berperilaku bersih. Memakai masker dan sarung tangan akan seperti kebiasaan mengenakan pakaian dalam sebagai kebutuhan.
Di sekolah, jelas akan banyak penambahan tempat cuci tangan, siswa-siswi bermasker, bahkan membagi persekolahan dalam sif pagi dan siang. Pasar boleh jadi terpaksa menerapkan penggiliran untuk mengakomodasi jumlah penjual yang besar, area tidak bertambah, tetapi menerapkan jaga jarak fisik.
”Kami saat ini fokus untuk meredakan wabah meski tata cara new normal tetap dibahas untuk ke depan,” kata Khofifah.
Meredakan
Meredakan wabah Covid-19 di Jatim jelas bukan pepatah seperti membalikkan telapak tangan. Kasus dan kematian yang terus bertambah memperlihatkan tingkat penularan dan daya rusak Covid-19 yang masih susah dijinakkan. Untuk meredamnya, aparatur se-Jatim perlu terus menerapkan 3T (test, trace, treat) alias uji, jajak, dan urus.
Cakupan uji cepat dan pemeriksaan sampel usap tenggorokan seluas-seluasnya sehingga didapat informasi akurat tentang potensi atau daya jangkau wabah. Warga baru positif dilacak luas jejak perjalanan dan kontaknya lalu isolasi. Selanjutnya, penanganan cepat dan tepat untuk mencegah potensi kematian pasien Covid-19.
Di sisi lain, menurut anggota Tim Advokasi PSBB dan Survailans dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, upaya meredam wabah mutlak memerlukan dukungan publik. Dalam konteks ini, masyarakat harus mau memahami dan patuh terhadap protokol kesehatan. Jujurlah dengan kondisi kesehatan saat memeriksakan diri karena sakit, membuka informasi jejak kontak dan perjalanan, lalu mau melaksanakan tahapan pemeriksaan potensi Covid-19.
Meredakan dulu penularan korona juga masif dilakukan Pemerintah Kota Surabaya. Paling penting penyebaran virus bisa dikendalikan karena pemkot sudah memetakan nama serta alamat dan berapa orang yang tertulari oleh pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, orang tanpa gejala bahkan orang dalam risiko. ”Masing-masing kelompok ini pun sudah disiapkan tempatnya isolasi sendiri di rumah, rumah sakit, Asrama Haji, atau hotel dan bahkan sudah disiapkan lagi tempat karantina lain,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Ketika semua sudah dites dan ada hasilnya sudah diketahui sekaligus melakukan solusinya, maka ke depan di Surabaya mulai memberi wadah bagi warga terutama yang terdampak pandemi Covid-19. Selain semua lini kehidupan berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan, salah satu cara dengan memanfaatkan kantor kelurahan sebagai pusat mencari ”pekerjaan” dan peluang usaha bagi warga yang terdampak akibat Covid-19.
Di kantor kelurahan akan dijadikan seperti bursa kerja sekaligus sebagai ajang bertukar informasi dan tempat transaksi warga atau pasar insidentil. Pemkot Surabaya juga mendata kebutuhan tenaga bagi banyak sektor terutama proyek, sehingga ketika ada warga yang cocok mengisi, langsung dieksekusi.
Baca juga: Kenormalan Baru Jangan Jadi Abnormal Lagi
Windhu amat mendorong perluasan tes cepat atau PCR yang lebih akurat. Untuk Surabaya saja, setidaknya harus dilakukan 2.000-3.000 uji usap tenggorokan per hari meski jika dibandingkan dengan 3 juta populasi memerlukan waktu lama. Sementara ini, tes diutamakan untuk pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP) yang terindikasi terjangkit.
”Jumlah ODP dan PDP yang tinggi menandakan cakupan tes Covid-19 di suatu wilayah masih rendah,” kata Windhu. Di Jatim saat ini ada 6.203 PDP dan 24.274 ODP. Untuk Surabaya ada 2.807 PDP dan 3.642 ODP.
Tes kesehatan untuk mengetahui potensi virus dalam diri seseorang juga bisa kelaziman baru di masa depan. Tujuannya, seseorang mengetahui potensi penyakit dan bisa ditangani secara cepat dan tepat sehingga berkesempatan lebih lama untuk hidup. Pujangga dunia Mark Twain pernah berkata, ketakutan akan kematian berasal dari kecemasan dalam hidup. Untuk itu, mari mencari kedamaian dalam badai.