Lebih dari Separuh Sekolah di Indonesia Belum Siap Belajar Tatap Muka
Mayoritas sekolah di Indonesia, meski di zona hijau, belum siap jika belajar-mengajar kembali dilaksanakan di tahun ajaran baru. Survei dari FSGI mengungkapkan, banyak sekolah belum siap dengan pembelajaran tatap muka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 55,1 persen sekolah di Indonesia menyatakan belum siap menjalani pembelajaran tatap muka. Mereka terkendala oleh minimnya fasilitas kebersihan dan kesehatan, izin orangtua murid, serta protokol kesehatan yang belum rinci.
Angka tersebut diperoleh dari survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tentang ”Kesiapan Sekolah Menghadapi Kenormalan Baru dalam Pembelajaran”. Survei itu dilakukan pada 6-8 Juni 2020. Ada 1.656 responden dari 34 provinsi dengan margin of error 2,5-3 persen. Responden terdiri dari guru, kepala sekolah, dan manajemen sekolah.
”Mayoritas sekolah di Indonesia, termasuk zona hijau, sesungguhnya belum siap menghadapi kenormalan baru jika sekolah dibuka kembali. Ini patut jadi pertimbangan pemerintah pusat,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim pada konferensi pers virtual, Selasa (16/6/2020).
Mayoritas responden menyatakan belum siap karena belum memenuhi tujuh komponen pokok pembelajaran tatap muka. Pertama, adanya protokol kesehatan yang dibuat pemerintah pusat dam daerah. Kedua, sosialisasi kepada orangtua dan siswa. Ketiga, kesiapan aturan teknis sekolah, seperti pengaturan jam belajar dan sif guru.
Keempat, kesiapan guru yang mencakup keterampilan, kesiapan mental, dan tes Covid-19. Kelima, kesiapan infrastruktur, antara lain partisi antarmeja, masker, wastafel, dan sabun. Keenam, manajemen sekolah. Terakhir, tersedianya anggaran.
Mayoritas sekolah di Indonesia, termasuk zona hijau, sesungguhnya belum siap menghadapi kenormalan baru jika sekolah dibuka kembali. Ini patut jadi pertimbangan pemerintah pusat
”Ada 21,3 persen responden yang menyatakan siap menghadapi kenormalan baru di sekolah. Artinya, semua komponen sudah dipenuhi. Jawaban ini mungkin diperoleh dari sekolah-sekolah swasta kelas menengah atas yang anggaran dan kelengkapan sarananya memadai,” kata Satriwan.
Kepala SMA Labschool Jakarta Suparno Sastro mengatakan, sekolahnya menyusun protokol standar kesehatan jika sekolah dibuka kembali. Protokol itu, antara lain, melakukan penapisan bagi guru dan karyawan, melakukan tes Covid-19 sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bagi guru dan karyawan, serta menyiapkan masker bagi sekitar 750 orang setiap hari. Kendati siap, ia mengakui protokol itu menelan biaya yang tidak sedikit.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk membuka kembali sekolah secara bertahap di kabupaten/kota zona hijau Covid-19. Per 15 Juni 2020, ada 94 persen peserta didik yang tinggal di 429 kabupaten/kota zona kuning, oranye, dan merah Covid-19. Sementara itu, ada 6 persen peserta didik yang tinggal di 85 kabupaten/kota zona hijau Covid-19.
Peserta didik yang tinggal di zona kuning, oranye, dan merah Covid-19 wajib melanjutkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Peserta didik di zona hijau dapat hadir di sekolah dengan empat syarat yang tidak bisa ditawar. Keempatnya adalah sekolah ada di zona hijau, pemda dan kantor wilayah/kementerian agama memberikan izin, satuan pendidikan sudah memenuhi semua daftar protokol kesehatan, dan orangtua/wali murid mengizinkan anak belajar secara tatap muka di sekolah.
Persiapan sulit
Mayoritas responden mengaku kesulitan menyiapkan sekolah yang sesuai dengan protokol kesehatan. Menyiapkan infrastruktur penunjang dinilai sebagai kendala terbesar (53,4 persen) diikuti dengan menyiapkan protokol kesehatan (49,2 persen).
Anggaran menjadi kendala terbesar ketiga (47 persen), sosialisasi kepada orangtua dan siswa (46,6 persen), koordinasi dengan semua pemangku kepentingan (43,8 persen), aturan teknis di sekolah (39,3 persen), waktu persiapan yang terbatas (37,6 persen), kesiapan manajemen (34,5 persen), dan kesiapan guru (30,6 persen).
Satriwan menambahkan, sosialisasi kepada orangtua siswa akan menjadi tantangan. Sebab, tidak semua orangtua mengizinkan anaknya kembali ke sekolah sebelum pandemi mereda walaupun sekolah berada di zona hijau.
”Itu berarti sekolah harus menyediakan tiga metode pembelajaran, yaitu belajar tatap muka, PJJ, dan ada guru yang mengunjungi siswa ke rumahnya. Namun, jumlah guru masih terbatas. Pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran tahun ajaran baru belum menyelesaikan kendala di lapangan,” tutur Satriwan.
Ia menyayangkan bahwa Kemdikbud lebih fokus pada pembukaan sekolah di zona hijau yang hanya mencakup 6 persen peserta didik di Indonesia. Padahal, 94 persen peserta didik telah menjalani PJJ selama tiga bulan dan perlu dievaluasi.
Adaptasi kurikulum
Kritik juga disampaikan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. Menurut dia, Kemdikbud perlu segera mengevaluasi PJJ dan menyusun kurikulum yang adaptif dengan pandemi. Kemdikbud juga didorong untuk berkoordinasi dengan dinas pendidikan daerah secepatnya.
”Adaptasi kurikulum di era pendemi dibutuhkan. Ini harus dilakukan dan tidak bisa diserahkan begitu saja ke sekolah dan guru. Kemdikbud harus segera mengambil langkah,” kata Syaiful.
Ia juga mendesak pemerintah membuat peta kebutuhan pendidikan di setiap daerah. Peta itu meliputi jumlah sekolah yang punya akses internet, jumlah sekolah yang tidak mampu melaksanakan protokol kesehatan karena keterbatasan fasilitas, dan lainnya.
FSGI juga merekomendasikan agar kurikulum adaptif diterapkan. Pasalnya, Kurikulum 2013 tetap berlaku meski sistem belajar-mengajar kini dilakukan secara daring. FSGI mendesak agar ada relaksasi konten kurikulum dan standar penilaian siswa.
Wakil Kepala SMA Negeri 1 Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat Mansur Sipinate mengatakan, pemerintah perlu memberi panduan rinci tentang pembelajaran di era pandemi kepada guru. ”Tidak adanya panduan yang jelas, pelaksanaan kurikulum pun beragam, begitu pula cara guru menilai,” ujarnya.