Peneliti di dalam negeri berlomba menghasilkan inovasi riset untuk mempercepat penanganan Covid-19. Meski demikian, hasil inovasi yang dihasilkan tetap harus memenuhi standar medis demi keselamatan pasien.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inovasi kesehatan di dalam negeri berupa obat, vaksin, dan alat kesehatan kian mendesak untuk mengendalikan wabah Covid-19. Meski begitu, hasil inovasi yang dihasilkan tetap harus memenuhi standar medis guna menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat.
Tim Uji Klinik Alat Kesehatan Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Akmal Taher, mengatakan, dalam waktu relatif singkat, banyak inovasi alat kesehatan yang dihasilkan peneliti di dalam negeri. Setidaknya produk alat kesehatan yang dihasilkan, antara lain, alat tes cepat massal (rapid test), alat tes reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR), dan alat bantu pernapasan (ventilator).
”Percepatan hasil inovasi alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 diperlukan. Relaksasi dari sisi regulasi pun telah diberikan agar hasil inovasi tersebut bisa dimanfaatkan dalam waktu cepat. Namun, itu bukan berarti menurunkan standar dan syarat medis yang diperlukan,” katanya, di Jakarta, Jumat (19/6/2020).
Akmal mengatakan, pemerintah telah menerbitkan pedoman untuk uji klinis terstandar untuk hilirisasi alat kesehatan. Melalui pedoman ini, diharapkan alat kesehatan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan untuk melindungi keamanan dan kesejahteraan manusia.
Komisi Etik Penelitian Universitas Padjadjaran, Nur Atik, menambahkan, aspek etika juga berlaku pada pengembangan obat herbal. Ketentuan ini tetap harus dipenuhi sekalipun kebutuhannya mendesak di tengah kondisi pandemi.
Adapun ketentuan dalam uji klinik obat herbal, antara lain, kandidat obat harus sudah melalui uji preklinik dengan baik dan benar; data efek, dosis, mekanisme, bahan aktif, dan toksisitas sudah teridentifikasi; serta subyek observasi sudah sesuai dengan kondisi pandemi.
”Urgensi percepatan proses riset terkait obat yang dibutuhkan dalam masa pandemi, seperti pandemi Covid-19 ini, jangan sampai justru mengerdilkan hak dari subyek penelitian. Dalam uji klinik perlu dipastikan manfaat bisa dihasilkan secara maksimal, tetapi harus meminimalkan risiko yang terjadi,” kata Nur.
Deksametason
Terkait penggunaan obat untuk Covid-19, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengimbau agar masyarakat tidak membeli dan mengonsumsi obat tertentu tanpa pengawasan dokter. Ini termasuk pada penggunaan deksametason.
Obat tersebut mulai banyak dibeli masyarakat sejak tim peneliti dari Universitas Oxford membuktikan efektivitas deksametason dalam penurunan angka kematian pada pasien Covid-19 dengan gejala berat yang menggunakan ventilator (alat bantu pernapasan) atau dengan bantuan oksigen. Namun, penelitian itu juga menunjukkan obat ini tidak bermanfaat untuk kasus ringan dan sedang.
”Deksametason adalah golongan steroid, merupakan obat keras yang terdaftar di Badan POM, di mana pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter. Deksametason tidak dapat digunakan untuk pencegahan Covid-19,” kata Kepala BPOM Penny K Lukito.
BPOM kini terus memantau dan menindaklanjuti hasil lebih lanjut terkait penelitian dari pemanfaatan deksametason untuk pasien Covid-19. Selain itu, komunikasi dengan profesi kesehatan terkait dilakukan untuk memastikan keamanan penggunan obat lain dalam penanganan Covid-19.
Ia mengatakan, deksametason yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter bisa mengakibatkan efek samping, antara lain, menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan tekanan darah, dan diabetes. Karena itu, masyarakat diimbau tidak membeli obat deksametason dan steroid lainnya secara bebas tanpa resep dokter, termasuk membeli secara daring.
”Untuk penjualan obat deksametason dan steroid lainnya, termasuk melalui online, tanpa ada resep dokter dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Penny.