Peliknya Pengendalian Penularan Covid-19 di Pasar Tradisional
Kluster penularan Covid-19 di pasar selama beberapa bulan terakhir diperparah dengan pedagang yang menghindari pemeriksaan ”rapid test”. Situasi ini berisiko menambah jumlah kasus dan sulitnya penelusuran Covid-19.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
Kluster penularan Covid-19 di pasar tradisional terus mencuat sejak Juni 2020 di Jakarta. Penularan di tempat ini belum dapat dikendalikan meski aparat gabungan turun tangan. Gubernur Anies Baswedan menyebut penanganan penularan Covid-19 di pasar sebagai hal yang pelik.
Pernyataan itu benar adanya. Sebab, protokol jaga jarak dan pemeriksaan rutin Covid-19 berjalan tidak merata di sejumlah pasar. Ada yang secara tegas menata arus pengunjung dan menerapkan jaga jarak, tetapi ada pula yang mengabaikan protokol kesehatan, bahkan menghindari pemeriksaan Covid-19.
Kondisi di sejumlah pasar sangat dinamis meski ada upaya pengendalian pengelola. Pasar Kebayoran Lama di Jakarta Selatan, sekitar dua pekan terakhir, menerapkan arus masuk dan keluar pengunjung secara terpisah dan satu arah. Walakin, kondisi kerumunan di luar pasar kerap tidak terkendali.
Pasar Tomang Barat di Grogol Petamburan, Jakarta Barat, yang sempat tutup tiga hari karena ada empat pedagang yang positif Covid-19, kembali dibuka pada Jumat (3/7/2020) ini. Meski telah mendapati kasus Covid-19 beberapa hari lalu, sejumlah pedagang tampak belum menerapkan protokol jaga jarak.
Wahyu (29), pedagang kelapa di Pasar Tomang Barat, tampak melayani pembeli dengan jarak kurang dari 1 meter. ”Saya pikir karena pasar masih sepi setelah buka, jadi mungkin enggak apa-apa selama pembeli pakai masker,” ujarnya.
Menghindari rapid test
Sejumlah pedagang pasar pun kerap menghindari pemeriksaan Covid-19. Hal ini diakui Wahyu serta Dayat (40). Kedua pedagang di Pasar Tomang Barat ini tidak ikut serta dalam tes cepat Covid-19 melalui antibodi yang dijadwalkan pada 16 Juni 2020.
Dayat enggan ikut karena apabila hasil tes reaktif, dia diminta tidak berjualan dan mengisolasi diri di rumah. Apabila terjadi, dia tidak punya pemasukan dan akan kesulitan mengelola persediaan dagangan.
”Tiga hari sekali pemasok singkong datang ke pasar, kalau tidak ada saya lalu bagaimana?” ujar Dayat. Begitu pula Murtolo (56), pedagang Pasar Palmerah di Jakarta Barat. Dia dan sejumlah pedagang lain menghindari tes yang berjalan pada 17 Juni 2020. Alhasil, hanya sekitar 93 pedagang yang ikut tes cepat dari sekian banyak pedagang pasar.
Kondisi Pasar Palmerah juga tidak berbeda dengan Pasar Tasik di Petojo Selatan, Jakarta Pusat. Saat sosialisasi dan pemeriksaan Covid-19, Kamis (2/7/2020), hanya sekitar 30 orang yang menjalani pemeriksaan meski tersedia 60 alat tes swab.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengakui, kepatuhan protokol kesehatan di pasar telah menjadi masalah sejak awal kemunculan Covid-19. Hal yang turut memperparah adalah ketidakpercayaan pedagang terhadap sosialisasi dari pemerintah.
”Pemahaman pedagang pasar Covid-19 kini begitu beragam, bahkan ada yang menyebut ini sebagai senjata biologis dan sebagainya. Kami mengakui kesulitan dalam mengedukasi lingkungan pasar. Butuh pendekatan lain sehingga mereka percaya kalau masalah ini berkaitan dengan kemasalahatan publik,” ujarnya.
Seiring dengan sejumlah pengabaian protokol, kluster penyebaran Covid-19 di pasar terus meningkat. Perumda Pasar Jaya, pengelola sejumlah pasar besar di Jakarta, mencatat 142 orang positif Covid-19 per 30 Juni 2020. Jumlah itu merupakan hasil pemeriksaan di 68 pasar dengan melibatkan 6.624 pedagang.
Kompas mengolah data dari berbagai sumber dan menampilkannnya menggunakan perangkat dalam jaringan visualisasi data bernama Datawrapper. Dari sini dapat diketahui sejumlah kluster Covid-19 paling banyak berada di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Dominasi kasus di Jakarta Barat baru bermunculan setelah pemeriksaan pada 16 dan 17 Juni 2020. Beberapa pasar, seperti Pasar Palmerah dan Pasar Tomang Barat, mulai menutup pasar sekitar dua pekan setelah pemeriksaan.
Upaya menghindari rapid test saat ini kontradiktif dengan langkah penanganan Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak Maret meminta agar seluruh orang yang bergejala Covid-19 diperiksa. Apabila positif, segera lakukan penelusuran kontak fisik yang dilakukan pasien sebelumnya.
”Tes, tes, dan tes. Tes seluruh kasus yang bergejala Covid-19 serta lakukan penelusuran kontak bepergian pasien yang bergejala selama dua hari ke belakang,” ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Laporan WHO mengenai perkembangan Indonesia yang dirilis pada Rabu (1/7/2020) menyebutkan, risiko penularan di Indonesia terus tinggi karena pergerakan masyarakat antardaerah, kabupaten, dan provinsi meningkat seiring dengan pelonggaran pembatasan. Secara khusus, WHO juga menyoroti bahwa masih ada keterlambatan antara proses tes dan pelaporannya selama semingguan.
Sesuai standar WHO, persentase sampel positif yang menandai adanya pengawasan komprehensif dan pemeriksaan kasus hanya bisa diukur jika jumlah tes yang dilakukan minimal sebanyak 1 per 1.000 penduduk per minggu. ”Satu-satunya provinsi di Jawa yang mencapai tolok ukur deteksi kasus minimum ini adalah Jakarta,” sebut laporan ini.
Dalam penelusuran Kompas, jumlah penambahan kasus harian di Jakarta terus fluktuatif sejak memasuki Juni 2020. Menurut data yang dihimpun lewat situs corona.jakarta.go.id/data, penambahan kasus positif naik menjadi 196 orang pada 30 Juni. Pada 1 Juli, ada penambahan kasus sebanyak 206 orang, kemudian pada 2 Juli bertambah 195 orang.
Penambahan kasus harian tertinggi selama bulan yang sama terjadi pada 9 Juni 2020, yakni 239 pasien positif. Setelah tanggal tersebut, jumlah kasus harian terus stabil berada di angka ratusan. Kenaikan kasus harian juga terjadi seiring berlakunya masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengingatkan agar Jakarta sebaiknya tidak lantas melonggarkan PSBB. Dia mengapresiasi keputusan pemerintah untuk tetap menjaga PSBB hingga dua pekan mendatang.
Ede menegaskan agar protokol kesehatan tetap berlaku ketat di pasar tradisional. Sebab, kondisi di pasar memang pelik. Banyak kepentingan ekonomi warga yang berkelindan dan sulit dibatasi di pasar.
”Saya harap protokol jaga jarak dan segala bentuk pemeriksaan terus berlangsung secara masif. Sebab, apabila tidak ada pemeriksaan, ya, tidak akan ketahuan kasus positifnya. Ini sudah bicara kepentingan kesehatan warga dalam konteks luas,” ungkapnya.
Ede juga menyarankan agar pedagang yang positif dan harus isolasi mandiri sebaiknya diberi dukungan finansial dan kebutuhan pokok. Hal ini dilakukan untuk menolong mereka, sekaligus memberikan pengertian bahwa isolasi diri tersebut penting agar virus yang mereka bawa tidak menular ke orang lain.
Pada akhirnya di masa pandemi Covid-19, seluruh warga harus memahami pencegahan Covid-19 dilakukan dengan pembatasan sosial dan tes secara berkala. Selama vaksin belum tersedia, dua hal tadi harus terus dilakukan untuk mengurangi penularan.