Leptospirosis sering salah didiagnosis dan kurang terlaporkan. Padahal, Indonesia merupakan salah satu zona merah penyakit yang ditularkan lewat urine tikus ini.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Leptospirosis merupakan masalah bagi negara-negara di daerah tropis, terutama negara dengan kondisi sanitasi belum memadai, termasuk Indonesia. Namun, data kasus sangat terbatas akibat kurangnya laporan dan kekeliruan diagnosis. Untuk itu, perlu peningkatan kapasitas surveilans dan diagnostik dari tenaga kesehatan.
Masalah itu mengemuka dalam seminar daring ”Strategi dan Tantangan Penanggulangan Leptospirosis di Era Adaptasi Kebiasaan Baru”, Rabu (22/7/2020). Seminar yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan Kerja Sama Internasional Amerika Serikat (USAID), dan sejumlah organisasi kesehatan lain tersebut diikuti lebih dari 2.500 peserta dari seluruh Indonesia.
Arturo Pesigan, Technical Officer dari Emergency and Humanitarian Action Unit, WHO Regional Office for the Western Pacific, dalam sambutan menyatakan, leptospirosis merupakan penyakit terabaikan dan sering terlupakan. Padahal, penyakit ini masih menjadi beban besar di negara-negara Asia dan Afrika.
Bisa jadi karena yang terkena leptospirosis lebih banyak dari status ekonomi lemah dan kebanyakan berada di perdesaan. Misalnya, petugas kebersihan, petani, pekerja perkebunan, pertambangan, rumah potong hewan, perawat hewan, serta orang-orang yang berhubungan dengan perairan dan satwa liar.
Leptospirosis merupakan penyakit terkait kemiskinan, krisis kemanusiaan, dan bencana alam. (Eric Bertherat)
”Leptospirosis merupakan penyakit terkait kemiskinan, krisis kemanusiaan, dan bencana alam,” ujar Eric Bertherat, Medical Officer Emerging and Zoonotic Diseases WHO Emergency Programme, WHO Geneva.
Sebagai gambaran, saat Filipina dilanda Taifun Ondoy, akhir September 2009, disusul Taifun Pepeng, dua minggu kemudian di Manila saja ada 505 orang terduga leptospirosis dengan 15 kematian.
WHO mencatat, setiap tahun ada sekitar 1 juta kasus dengan 60.000 kematian. Tingkat kefatalan kasus mencapai 5-30 persen. Prevalensi di daerah tropis 10-100 per 100.000 penduduk. Indonesia termasuk zona merah.
Bertherat menambahkan, bakteri Leptospirasp—penyebab penyakit leptospirosis—mampu bertahan di lingkungan dalam hitungan minggu sampai bulan. Sedangkan pada ginjal binatang, mikroorganisme ini bisa bertahan dalam hitungan bulan sampai tahun.
Faktor risiko leptospirosis adalah kontak dekat dengan tikus, hewan peliharaan dan hewan ternak, serta kontak dengan air terkontaminasi. Juga lingkungan hidup yang kumuh serta kondisi cuaca lembab dan panas yang terkait pekerjaan ataupun rekreasi.
Untuk mengatasi perlu dilakukan peningkatan higiene dan sanitasi lingkungan, pemberantasan tikus, serta vaksinasi hewan ternak dan peliharaan. Selain itu, perlu diketahui serovar (variasi dalam satu spesies bakteri atau virus) yang beredar di suatu wilayah.
Prioritas
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, leptospirosis masih menjadi masalah di Indonesia. Jumlah kasus yang terlaporkan pada 2015 ada 404 kasus dengan 61 kematian, tahun 2016 melonjak menjadi 830 kasus dan 61 kematian, 2017 (940 kasus, 136 kematian), 2018 (895 kasus, 150 kematian), serta 2019 (920 kasus, 122 kematian).
”Angka itu tidak mewakili kondisi di lapangan. Belum semua provinsi melaporkan. Tahun 2019, hanya 9 provinsi melaporkan kasus leptospirosis. Diyakini, di provinsi lain ada kasus, tetapi tidak terlaporkan,” kata Nadia.
Karena itu, penyakit tersebut menjadi prioritas penanggulangan zoonosis (penyakit yang ditularkan oleh binatang ke manusia) di samping flu burung, rabies, dan anthraks. Penanggulangan leptospirosis dilakukan lewat strategi One Health, bekerja sama dengan berbagai sektor, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakkyat, serta Kementerian Dalam Negeri.
Kasus leptospirosis tidak hanya ada saat banjir. Penyakit yang disebabkan bakteri Leptospira sp itu ditularkan, antara lain, lewat urine tikus. Saat ini tikus ada di hampir semua daerah. Urine tikus bisa mengontaminasi air dari sumber air, kolam renang, selokan, sawah, serta menular ke binatang liar ataupun peliharaan dan hewan ternak.
Pada hewan ternak, misalnya sapi, demikian Farida Dwi Handayani, peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga Balitbangkes Kemenkes, infeksi menyebabkan kerugian ekonomi karena terjadi aborsi, kelahiran mati, kemandulan, produksi susu menurun, bahkan kematian ternak.
Gejala
Nadia menjelaskan, bakteri masuk melalui luka di kulit, selaput lendir mata, mulut, nasofaring, dan esofagus dari air yang tercemar urine tikus. Gejala leptospirosis di antaranya demam (lebih dari 38,5 derajat celsius), mirip flu, nyeri otot, dan letih. Kasus probable gejalanya batuk darah, sesak napas, ikterus (kuning), perdarahan, dan aritmia jantung. Pada kasus berat terjadi kerusakan organ, seperti hati, jantung, dan gagal ginjal.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Konsultan Penyakit Tropis Infeksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Muhammad Hussein Gasem menuturkan, leptospirosis merupakan zoonosis yang paling luas penyebarannya di dunia dan menjadi salah satu penyakit infeksi yang muncul kembali. Genus Leptospira terdiri lebih dari 23 spesies dengan lebih dari 300 serovar.
Menurut Gasem, sering terjadi misdiagnosis leptospirosis karena saat gejalanya ringan mirip penyakit lain, seperti dengue, hantavirus, demam tifoid, meningitis, infeksi saluran kemih, malaria, influenza, pneumonia, serta infeksi bakteri atau virus. Selain itu, dokter kurang menyadari diagnosis leptospirosis karena tidak masuk dalam diagnosis banding etiologi demam akut. Tes diagnostik pun tidak tersedia secara luas.
Padahal, harganya terjangkau. Untuk rapid test biayanya hanya Rp 30.000-Rp 50.000. (Muhammad Hussein Gasem)
”Padahal, harganya terjangkau. Untuk rapid test biayanya hanya Rp 30.000-Rp 50.000,” papar Gasem.
Terkait pandemi Covid-19, demikian Nadia, ada alur layanan pasien leptospirosis. Kasus ringan tanpa disertai gejala Covid-19 bisa ditangani langsung di fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik) dengan pemberian antibiotik. Sedangkan kasus berat atau dengan gejala Covid-19 harus dirujuk ke rumah sakit.
Farida menambahkan, deteksi laboratoris leptospirosis membutuhkan kemampuan, keterampilan, dan pemahaman tentang karakteristik bakteri, pemilihan dan penanganan sampel, serta analisis hasil yang tepat.
Tes cepat berbasis antigen leptospirosis diharapkan bisa membantu diagnosis dini dan cepat di puskesmas serta fasilitas pelayanan kesehatan. Artificial inteligent machine learning berpotensi sebagai alat bantu bagi tenaga kesehatan untuk mendeteksi leptospirosis.
Selain itu, perlu ada jejaring laboratorium pemeriksa leptospirosis untuk kesepakatan uji diagnostik, berbagi informasi, transfer pengetahuan, dan jaminan kualitas pemeriksaan.