Mitigasi akan varian baru virus SARs-CoV-2 perlu diperkuat. Hasil mutasi virus korona yang lebih menular ini kemungkinan telah masuk ke Indonesia, hanya saja masih belum ditemukan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pencegahan dengan menutup pintu masuk orang asing ke Indonesia sejak awal Januari 2021 hingga pertengahan bulan dinilai tidak akan bisa mencegah masuknya varian baru SARS-CoV-2 yang lebih menular. Cepat atau lambat, mutasi baru virus korona yang awal mutasinya terjadi di Inggris ini bakal masuk ke Indonesia.
Varian baru virus korona yang dinamakan B.1.17 hingga saat ini telah ditemukan di 35 negara, termasuk sejumlah negara tetangga, seperti Australia, Singapura, Vietnam, dan Thailand. Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, di Jakarta, Senin (4/1/2021), mengatakan, varian baru ini kemungkinan sudah masuk ke Indonesia.
Kemungkinan masuknya varian baru virus korona ini karena lebarnya jendela waktu sejak terjadinya mutasi pada September 2020, sedangkan penutupan pintu masuk baru dilakukan pada awal Januari 2021. ”Saat ini penting untuk memikirkan mitigasinya, bukan hanya pencegahannya,” kata Riza.
Untuk menemukan varian baru ini diperlukan surveilans genomik dan sejauh ini kita masih sangat kurang sehingga bisa jadi virus ini sudah ada di Indonesia, tetapi belum terdeteksi. Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, untuk mendeteksi keberadaan varian baru B.1.1.7 ini harus dilakukan analisis pengurutan total genomnya.
Menurut Herawati, varian baru ini memiliki 17 mutasi dan 6 di antaranya di protein spike (paku). ”Kalau analisis PCR biasa hasilnya bisa tidak konklusif, jadi tidak ada jalan lain selain WGS (whole genome sequensing),” katanya.
Untuk analisis sekunes genom, membutuhkan biaya tidak murah. Menurut Herawati, untuk 20 spesimen saja butuh biaya sekitar Rp 300 juta atau sekitar Rp 15 juta per spesimen. ”Sejauh ini Eijkman telah melakukan analisis WGS 40 genom, dan menargetkan melakukan analisis terhadap 1.000 spesimen,” katanya.
Herawati mengatakan, Kementerian Kesehatan berencana meningkatkan kapasitas surveilans genomik ini dengan menggandeng sejumlah laboratorium di bawah Litbang Kementerian Kesehatan. Sementara Eijkman dan sejumlah laboratorium molekuler perguruan tinggi di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.
Namun, menurut Riza, peningkatan surveilans genomik di Indonesia ini tidak bisa dilakukan dengan cepat. ”Karena itu mitigasi harus jadi yang utama saat ini,” ujarnya.
Varian baru B.1.1.7 ini diketahui memiliki kemampuan lebih menular hingga 70 persen dibandingkan dengan varian awal SARS-CoV-2 yang ditemukan di Wuhan, China. Sekalipun belum ada bukti bahwa virus ini bisa memicu keparahan dan risiko kematian, tetapi, menurut Riza, yang harus diperhitungkan yaitu kemungkinan lebih cepatnya penularan dan lonjakan kasus Covid-19.
Riza menambahkan, dari sekitar 138 total genom SARS-CoV-2 dari Indonesia yang telah didaftarkan di GISAID, platform gobal berbagi data genom virus, belum ditemukan adanya mutasi B.1.1.7 ini. ”Dari 138 genom itu, sebanyak 92 memiliki varian mutasi D614G,” ujarnya.
Delapan genom yang baru didaftarkan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ke GISAID, menurut Riza, juga masih memiliki varian D614G. Mutasi D614G telah ditemukan di Indonesia sejak Agustus 2020 dan saat ini telah mendominasi sekitar 67 persen dari genom virus korona baru ini di Indonesia. Varian D614G sebelumnya juga diketahui lebih menular, tetapi B.1.1.7 jauh lebih menular dan di banyak negara lain telah menggantikan varian-varian sebelumnya.
Menurut laporan Centers for Desease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, selain varian B.1.1.7, saat ini juga muncul varian baru yang terbentuk dari mutasi di Afrika Selatan yang dikenal sebagai B.1.351. Selain itu juga muncul varian ketiga juga muncul dan telah terdeteksi di Nigeria, tetapi tidak ada bukti bahwa itu lebih parah atau lebih dapat menular.