Robohnya Fasilitas Kesehatan Kita
Penuhnya rumah sakit sakit membuat pasien Covid-19 harus berkeliling mencari rumah sakit dan biasanya baru bisa dirawat intensif setelah pasien lain meninggal.
Kabar duka karena meninggalnya pasien di unit perawatan intensif sekarang, ironisnya, telah menjadi harapan bagi orang lain. Penuhnya rumah sakit membuat pasien harus berkeliling mencari rumah sakit dan biasanya baru bisa dirawat intensif setelah pasien lain meninggal.
Banyak pasien yang akhirnya meninggal dalam usaha pencarian rumah sakit. Itulah yang dialami ayah Dewi (bukan nama sebenarnya), pasien dari Kota Depok, Jawa Barat, yang mengembuskan napas terakhir, Sabtu (19/12/2020) malam.
Seminggu sebelumnya, ayah Dewi mengeluhkan sakit pusing dan demam tinggi. Dia kemudian menjalani pemeriksaan di salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Kota Depok. Selain dicek darah dan rontgen, dia juga diperiksa dengan tes usap rantai karbon polimerase (PCR).
”Ayah awalnya dinyatakan suspek Covid-19 dengan penyakit bawaan pneumonia. Namun, ketika mengurus administrasi untuk rawat inap, dipersulit oleh pihak administrasi dan kasir UGD (unit gawat darurat) yang tidak kooperatif. Mereka bilang ayah saya akan dapat kamar hari itu juga yang penting bersedia memberikan uang muka Rp 1 juta, padahal ayah saya pasien BPJS,” kisah Dewi, seperti disampaikan ke platform warga berbagi informasi, Laporcovid-19.
Sekalipun laporan okupansi rumah sakit yang disampaikan pemerintah seolah-olah hanya 70 persen atau 80 persen, kenyataannya okupasinya bisa 100 persen, bahkan lebih karena ada antrean di UGD.
Karena tidak memiliki uang sebesar itu, ayah Dewi akhirnya memutuskan isolasi mandiri di rumah setelah dua hari menunggu di UGD. Selama menunggu di UGD Covid-19, ayahnya tak mendapat tempat tidur, tetapi hanya bisa istirahat di bangku tunggu.
Namun, setelah pulang, keadaannya tidak membaik dan badannya semakin lemah dengan napas yang berat. Hingga pada Sabtu sore itu, Dewi mencoba menghubungi Satuan Tugas Covid-19 Kota Depok untuk meminta ambulans. Namun, 2 jam menunggu, tak ada kepastian dengan alasan semuanya dipakai.
Dewi kemudian memesan taksi daring. Bersama ayahnya yang telah melemah itu, mereka berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, mulai dari Depok hingga sekitar Jakarta. ”Awalnya kami pergi ke RS Bhayangkara di Kelapa Dua, namun ayah tidak diterima karena UGD-nya penuh. Kemudian, mereka menyarankan kami untuk ke RSUD Pasar Rebo, tetapi ternyata penuh juga,” katanya.
Di tengah rasa putus asa mencari rumah sakit dengan tanpa kepastian itulah, ayah Dewi akhirnya mengembuskan napas terakhirnya. ”Ayah meninggal di usia 55 tahun,” ucapnya. Dewi dan seluruh anggota keluarganya akhirnya memutuskan menjalani tes dan seluruhnya positif.
Antrean di UGD
Eva Sri Diana, dokter spesialis paru di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Selatan, mengatakan, ICU di rumah sakitnya penuh sejak awal Desember 2020. ”Untuk bisa masuk harus menunggu ada yang meninggal atau ada yang sudah membaik, tidak bisa diprediksi kapan kosong,” ujarnya.
Penuhnya rumah sakit juga disampaikan Ketua Satgas Mitigasi Bencana Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaedi. Tidak hanya di Jakarta, hal serupa juga dialami rumah sakit di Surabaya, Jawa Timur. Tidak hanya masyarakat biasa, pasien dari kalangan tenaga kesehatan saat ini juga sulit mendapatkan ICU.
Menurut Adib, untuk menambah kapasitas ICU, selain dibutuhkan tambahan ruangan, juga peralatan dan yang sangat penting, yaitu tenaga kesehatan yang terlatih dengan alat perlindungan diri yang memadai.
Pemaksaan penambahan ICU tanpa diikuti peralatan memadai itu akhirnya membebani pasien. Ini misalnya disampaikan Illian Deta (40), warga Jakarta Timur.
”Setelah menunggu dua hari, ayah sahabat saya yang terkena Covid-19 akhirnya bisa masuk ke ICU. Namun, keluarga diminta mencari ventilator sendiri, karena rumah sakit kehabisan. Kalau beli Rp 300 juta, akhirnya dapat sewaan Rp 30 juta untuk satu bulan,” tuturnya.
Baca Juga: Rumah Sakit Penuh dan Kurang Ventilator
Bahkan, menurut Illian, rumah sakit swasta rujukan Covid-19 di Jakarta Pusat ini juga menyatakan kesulitan memenuhi obat-obatan yang dibutuhkan sehingga keluarga pasien harus membeli sendiri. ”Total biaya yang dikeluarkan untuk dua jenis obat, yaitu gamaraas dan privigen, habis Rp 229 juta. Obat dan sewa ventilator ini tidak ditanggung BPJS sehingga pasti akan sangat berat bagi yang tidak mampu,” tuturnya.
Tri Maharani, dokter emergensi yang menjadi relawan Tim Bantu Warga Laporcovid19, mengatakan, untuk meringankan beban pasien, sistem rujukan antarfasilitas kesehatan sebaiknya dibenahi. Selama ini, banyak warga yang memerlukan penanganan kedaruratan kesehatan akibat terinfeksi Covid-19 kerap kesulitan menghubungi satuan tugas setempat. Dengan situasi ini, risiko kematian pasien di luar rumah sakit juga meningkat.
”Seharusnya ada sistem informasi ketersediaan kamar tidur di rumah sakit yang bisa diakses warga dengan mudah sehingga masyarakat tidak harus mencari-cari mana rumah sakit yang masih kosong,” tuturnya.
Meningkatkan kematian
Irma Hidayana dari Laporcovid19 mengatakan, penuhnya rumah sakit saat ini sangat mengkhawatirkan karena berisiko meningkatkan jumlah kematian. Bukan hanya pasien Covid-19, melainkan juga akan berdampak pada pasien non-Covid-19 yang membutuhkan tindakan darurat.
Laporcovid19 juga menerima laporan tentang pasien Covid-19 yang meninggal di luar rumah sakit. Misalnya, pada Minggu (27/12/2010), seorang warga usia 52 tahun dari Desa Potorono, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dilaporkan meninggal di rumah setelah ditolak di sejumlah rumah sakit.
Baca Juga: Penularan Covid-19 Tak Terkendali, Rumah Sakit Semakin Kritis
Sebelumnya, pasien ini melakukan perjalanan dari luar kota dan mengalami gejala sakit. Dari hasil tes cepat antigen hasilnya positif, tetapi karena kesulitan mendapat rumah sakit akhirnya isolasi mandiri hingga kemudian meninggal.
”Permintaan bantuan mencarikan rumah sakit, khususnya ICU untuk pasien yang sudah dalam kondisi berat, semakin hari semakin sulit dipenuhi. Sekalipun laporan okupansi rumah sakit yang disampaikan pemerintah seolah-olah hanya 70 persen atau 80 persen, kenyataannya okupasinya bisa 100 persen, bahkan lebih karena ada antrean di UGD,” kata Irma.
Dia mencontohkan, pada Senin (11/1), menerima permintaan bantuan keluarga pasien positif dari hasil pemeriksaan di salah satu rumah sakit (RS) di Depok. Karena RS itu telah penuh, akhirnya memberikan surat rujukan ke RS lain, tapi semua rumah sakit di Depok telah penuh sehingga akhirnya pasien pulang dalam keadaan demam dan napas sesak.
”Karena RS di Depok penuh, Tim Bantu Warga-Laporcovid19 akhirnya menghubungi 49 SPGDT (sistem penanggulangan gawat darurat terpadu) di Jakarta. Hasilnya penuh semua. Akhirnya, kami meminta tolong rekan di Kemenkes dan dibantu mendapatkan satu RS. Namun, ketika dihubungi, RS tersebut penuh juga,” tuturnya.
Padahal, pada hari itu, dalam konferensi pers yang ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden dan siaran pers laman Presiden.go.id, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah meminta rumah sakit agar menambah jumlah tempat tidur untuk pasien Covid-19. Ia ingin sebagian tempat tidur yang semula bukan diperuntukkan bagi pasien Covid-19 dikonversikan bagi pasien infeksi virus korona untuk antisipasi lonjakan pasien.
”Semua dirut rumah sakit, semua pemilik rumah sakit, tolong konversikan bed-nya yang tadinya bukan untuk Covid menjadi Covid,” kata Budi.
Baca Juga: Banyak Rumah Sakit Penuh akibat Covid-19
Namun, penambahan tempat tidur, khususnya ICU, tidak bisa secepat itu. Lagi pula, upaya penambahan tempat tidur isolasi dan perawatan pasien yang terus dilakukan, dengan kondisi rasio tes positif rata-rata di atas 25 persen, penambahan kasus aktif harian juga melaju tinggi.
Tanpa mengendalikan laju penularan di hulu, pada akhirnya rumah sakit tetap akan kebanjiran pasien. Jika itu terjadi, risiko kematian pasti terus meningkat.
Kita harus berkaca dengan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Italia, Spanyol dan sejumlah negara Eropa lain yang memiliki kapasitas layanan kesehatan lebih baik dibandingkan Indonesia, tetapi kolaps juga saat menghadapi gelombang Covid-19 yang bisa tumbuh eksponensial ini.