Kreativitas dan inovasi pimpinan daerah dinilai sangat krusial dalam keberhasilan penanganan pandemi Covid-19. Meski ada kebijakan pusat, penyesuaian di daerah tak kalah penting.
Oleh
Nikolaus Harbowo/Ambrosius Harto/Tatang Mulyana Sinaga/Kristi Dwi Utami/Laraswati Ariadne Anwar/Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pengendalian pandemi Covid-19 dari pemerintah pusat tak akan efektif jika tanpa disertai keseriusan kepala daerah. Kreativitas dan inovasi pimpinan daerah menentukan kesuksesan penanganan pandemi.
Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas yang disiarkan via Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (31/1/2021), menyampaikan, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) belum mampu menekan penularan Covid-19. Hal ini mengingat PPKM belum konsisten dilaksanakan.
Mulai Selasa (9/2/2021) hingga 22 Februari diberlakukan PPKM skala mikro. Program ini sama dengan PPKM sebelumnya, tetapi penanganannya berkonsentrasi di komunitas atau RT/ RW.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, Jumat (5/2/2021), mengatakan, kebijakan itu lebih bersifat menyeluruh dan tidak bisa diseragamkan ke semua daerah. Jika ingin efektif, setiap kebijakan harus membuka ruang bagi usulan daerah mengingat kepala daerah paling memahami kondisi wilayahnya.
”Jadi, daerah harus mengikuti arahan pusat, tetapi dibolehkan membuka ruang muatan lokal sepanjang dilaporkan dan diminta persetujuan ke pusat. Muatan lokal ini bisa membantu menuntaskan persoalan sesuai kondisi lokal,” ujar Djohermansyah, yang menambahkan bahwa pelaporan ke pusat ini penting supaya perkembangan pengendalian pandemi secara menyeluruh terpantau.
PPKM skala mikro diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Dalam instruksi Mendagri itu juga diatur sejumlah pembatasan terkait kegiatan perkantoran dengan 50 persen bekerja dari rumah dan 50 persen dari kantor serta kegiatan belajar mengajar secara daring.
Muatan lokal ini bisa membantu menuntaskan persoalan sesuai kondisi lokal.
Ditetapkan juga aturan 50 persen makan di tempat untuk restoran, pusat perbelanjaan atau mal buka hingga pukul 21.00, 50 persen kegiatan di tempat ibadah, penghentian sementara fasilitas umum dan acara sosial-budaya berdampak kerumunan, serta pengaturan kapasitas dan jam operasional transportasi umum.
Kepemimpinan kuat
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal sependapat dengan Djohermansyah. Kepemimpinan daerah menentukan hasil akhir PPKM skala mikro. ”Artinya, dengan kepemimpinan kuat, seluruh program akan bisa diimplementasikan dengan sukses. Namun, tanpa perhatian, tanpa pengendalian, tanpa atensi, sulit,” ujarnya.
Selain faktor pemimpin daerah, menurut Safrizal, faktor lain yang memengaruhi kesuksesan PPKM, di antaranya kolaborasi, keterlibatan, dan sarana-prasarana. ”Tetapi, kepemimpinan daerah itu yang utama. Harus mampu mengambil keputusan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,” katanya.
Di Surabaya, menurut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, situasi pandemi di Jatim membaik setelah PPKM tahap kedua pada 26 Januari-8 Februari 2021. Perbaikan terlihat dari jumlah harian pasien sembuh melampaui pasien baru meski belum konsisten di semua indikator.
Menurut Khofifah, setelah PPKM, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) isolasi pasien turun dari 79 persen menjadi 54 persen, sudah di bawah anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 60 persen. Indikator lainnya adalah BOR di unit rawat intensif (ICU) dari 72 persen menjadi 69 persen. Namun, perbandingan jumlah kasus dengan tes (positivity rate) dari 20 persen menjadi 18 persen masih di atas standar WHO 5 persen.
Di Jawa Barat, kepatuhan menjalankan protokol kesehatan diklaim meningkat selama PPKM. Namun, kasus Covid-19 justru melonjak. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, peningkatan laporan kasus harian disebabkan datanya masih tercampur data lama. Ia sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar memperbaiki sistem pelaporan kasus tersebut.
Menurut Kamil, PPKM efektif meningkatkan kepatuhan masyarakat menjalankan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun). Menurut dia, berdasarkan survei dari laporan Polri, TNI, dan satpol PP, kedisiplinan publik meningkat dari 50 persen menjadi 80 persen. ”Jika warga disiplin, produktivitas ekonomi tak akan dibatasi lagi,” ujarnya.
Iwan Ariawan, pakar Biostatistik UI yang juga anggota Tim Sinergi Mahadata UI Tanggap Covid-19, mengatakan, PPKM mulai menurunkan aktivitas publik, tetapi belum menurunkan penambahan kasus positif. Kajian tim itu menyimpulkan, PPKM tak seefektif pembatasan sosial berskala besar tahap pertama pada Maret-April 2020. Jumlah yang tertular lebih tinggi daripada yang menularkan.
PPKM tak seefektif pembatasan sosial berskala besar tahap pertama.
”Secara umum di Jawa-Bali, PPKM menurunkan jumlah kasus. Perkiraan jika Jawa-Bali tanpa PPKM, jumlah kasus harian per 31 Januari bisa lebih dari 12.000. Data menunjukkan, per 31 Januari jumlah kasus positif harian di kisaran 10.000,” kata Iwan, Minggu (7/2/2021).
Sesuai data tim UI, perlu cakupan protokol kesehatan minimal 85 persen untuk setiap aspek 3M. Faktanya, hingga akhir Januari 2021, tak satu pun aspek mencapai angka itu.
Data olahan Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Universitas Tarumanagara tak jauh berbeda. Mereka mengategorikan daerah dengan jumlah kasus positif 100 ke atas sebagai daerah hitam. Menurut data 6 Februari, dari 265 kelurahan, ada 88 kasus aktif di atas 100. Kepulauan Seribu satu-satunya wilayah dengan kasus aktif di bawah 100.
Persentase terbanyak ada di Jakarta Utara yang 52 persen kelurahannya daerah hitam. Diikuti Jakarta Timur (45 persen), Jakarta Selatan (35 persen), Jakarta Barat (32 persen), dan Jakarta Pusat (5 persen).
”Masalahnya, tidak ada penjelasan kenapa di kelurahan-kelurahan ini kasusnya tinggi. Klusternya dari mana? Kalau kluster keluarga sekalipun, pastinya harus ada pola yang terlacak,” kata peneliti senior Centropolis, Suryono Herlambang.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta Dwi Oktavia T Lestari Handayani mengatakan, 33 persen pasien positif di Jakarta pasien bergejala. Bahkan, sampai dengan gejala kritis yang perlu dirawat di rumah sakit rujukan.
Kini, tingkat keterisian tempat tidur di RS rujukan Covid-19 Jakarta 72 persen dan keterisian unit perawatan intensif (ICU) 74 persen.