Perkuat Intervensi pada Perempuan dan Anak untuk Cegah Tengkes
Pencegahan tengkes perlu dilakukan mulai dari hulu, yakni pada remaja dan calon ibu. Pemantauan rutin pun dilanjutkan pada saat masa kehamilan, pascapersalinan, sampai anak usia 2 tahun.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga, perempuan, dan anak menjadi isu utama yang harus diperhatikan dalam upaya pengentasan tengkes. Sinergi dari semua pihak pun perlu diperkuat agar program yang dijalankan bisa lebih efektif dan optimal.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan, Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting telah menetapkan, penajaman intervensi akan dilakukan pada sisi hulu. Itu antara lain dengan mempersiapkan kesehatan calon pengantin atau calon ibu, memastikan asuhan ibu saat masa kehamilan dan pascapersalinan, serta mendampingi ibu menyusui dan pengasuhan 1.000 hari pertama kehidupan.
”Stunting (tengkes) terjadi dimulai dari masa prakonsepsi, bahkan sejak enam bulan sebelum konsepsi (pembuahan). Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai stunting harus dilakukan kepada calon pengantin,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi antara BKKBN dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diikuti secara virtual di Jakarta, Kamis (16/9/2021).
Menurut Hasto, setelah memastikan calon pengantin siap untuk menikah dan memiliki anak, pemantauan akan dilanjutkan selama masa kehamilan hingga anak lahir sampai usia 2 tahun. Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode emas untuk mencegah terjadi tengkes.
Apabila anak sudah melewati usia 2 tahun, intervensi yang diberikan tidak akan efektif dan optimal. Anak yang telanjur mengalami tengkes setelah usia 2 tahun akan berisiko mengalami berbagai gangguan dalam tumbuh kembang.
Hasto mengatakan, anak tengkes tidak akan memiliki tinggi badan yang optimal. Selain itu, anak tengkes juga memiliki kemampuan berpikir dan kecerdasan yang terbatas. Risiko terjadi penyakit tidak menular pada masa mendatang juga tinggi.
”Waktu kita untuk bisa mencapai target penurunan stunting tidak lama. Pada 2024, kita harus memastikan angka stunting di Indonesia bisa mencapai 14 persen. Gerakan serentak diperlukan untuk mempercepat capaian tersebut,” katanya.
Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 telah menargetkan, angka prevalensi tengkes (gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis) bisa turun menjadi 14 persen pada 2024. Pada 2019, prevalensi tengkes di Indonesia tercatat 27,7 persen.
Stunting (tengkes) terjadi dimulai dari masa prakonsepsi, bahkan sejak enam bulan sebelum konsepsi. Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai stunting harus dilakukan kepada calon pengantin.
Hasto menambahkan, untuk memperkuat penanganan tengkes, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting juga sudah disusun, yang utamanya untuk meningkatkan sinergi dan kolaborasi dari semua pihak terkait. Pada 2021, terdapat 360 kota/kabupaten yang menjadi fokus penyelenggaraan percepatan penurunan tengkes.
”Dalam upaya percepatan penurunan stunting, konvergensi program dari kementerian dan lembaga lain juga akan dilakukan. Harapannya, kegiatan bisa lebih terfokus. Evaluasi dan monitoring juga lebih mudah,” katanya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengatakan, konvergensi program akan dilakukan antara Kementerian PPPA dan BKKBN. Berbagai program yang sudah disusun di Kementerian PPPA amat berkaitan dengan program percepatan penurunan tengkes.
Setidaknya ada lima isu utama yang terkait. Itu meliputi ketimpangan dan ketidaksetaraan jender, dukungan dalam pengasuhan anak, stunting, dan kemiskinan perempuan, stunting dan perkawinan anak, serta stunting dan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, Kementerian PPPA pun mendapatkan mandat untuk berkontribusi dalam pemenuhan daerah ramah perempuan dan anak dalam percepatan penurunan tengkes. Tugas ini perlu dilakukan bersama dengan kementerian dan lembaga lain.
”Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Apalagi hanya menitikberatkan pada sektor kesehatan saja. Mengatasi stunting memang tidak mudah. Namun, dengan kerja bersama, target penurunan stunting demi Indonesia Emas 2045 bisa dicapai,” kata Bintang.