Pemerintah China konsisten menerapkan kebijakan ”nihil kasus Covid-19”. Setiap kali ada lonjakan kasus, pemerintah segera menerapkan ”lockdown”. Di sisi lain, hal ini membuat warga kesulitan mencari nafkah,
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Menyusul kenaikan kasus Covid-19, kota Yanjiao di China ikut terkena kebijakan pembatasan. Sopir taksi setempat, Dong Tiejun, terpaksa mengantar penumpang taksinya ke Tianjin yang berjarak 146 kilometer dari Yanjiao melalui jalan-jalan tikus demi menghindari jalan-jalan yang ditutup. Menempuh jarak jauh tanpa izin protokol kesehatan, Dong mengandalkan jalan keluar masuk kota Beijing melalui Yanjiao di Provinsi Hebei, sebelah timur Beijing.
Gara-gara kebijakan pembatasan di Yanjiao sejak 13 Maret hingga awal April lalu, pendapatan Dong anjlok. ”Tidak ada orang yang bisa keluar dari sana jadi tidak ada penumpang sama sekali,” ujarnya.
Bukan hanya Dong yang mengeluhkan kebijakan pembatasan ketat di China. Jutaan pekerja yang selama ini bergantung pada transportasi antarkota juga terjebak sejak kasus Covid-19 melonjak lagi di China per Maret lalu.
Dari catatan pemerintah, hingga 27 April 2022 tercatat ada 11.367 kasus baru di China daratan. Sebanyak 1.503 kasus di antaranya bergejala dan 9.864 kasus tidak bergejala. Jumlah korban meninggal sebanyak 47 kasus. Dengan demikian, akumulasi kasus meninggal sebanyak 4.923 orang. Adapun total kasus Covid-19 di China daratan 428.075 kasus. Sebanyak 46 kota di China saat ini ”ditutup” penuh atau sebagian, salah satunya Yanjiao.
Kota-kota perbatasan seperti Yanjiao tumbuh pesat selama 10 tahun terakhir ketika para pekerja kantoran di Beijing mencari perumahan yang terjangkau di dekatnya. Ada ratusan ribu orang yang melintasi perbatasan Hebei-Beijing setiap harinya sebelum Covid-19.
Bahkan, setelah kebijakan pembatasan di Yanjiao dicabut, 4 April lalu, masih tersisa jengkel warga kota karena pos pemeriksaan masih beroperasi. ”Setiap hari saya sudah sampai di halte pukul 05.30, dari rumah dengan ojek daring yang mahal karena jauh jaraknya. Belum lagi pos pemeriksaannya ketat. Ini merepotkan,” kata seorang warga Yanjiao bermarga Gao.
Urusan yang kini dianggap semakin merepotkan bagi warga Yanjiao adalah semua orang harus memiliki ”kartu komuter” terlebih dahulu jika hendak memasuki Beijing. Kartu itu harus diperbarui terus. Padahal, untuk mendapatkan kartu komuter itu tidak mudah. Butuh banyak dokumen, seperti kartu identitas pemilik rumah, laporan tes Covid-19 negatif dengan validitas 48 jam, bukti vaksinasi, dan bukti tempat bekerja di Beijing.
”Saya khawatir tidak akan bisa mendapatkan semua dokumen yang dibutuhkan itu. Saya sedang mencari pekerjaan di Beijing, lalu dari mana saya bisa dapat bukti sudah bekerja di Beijing?” kata Yan Chun (21) yang hendak ke Beijing untuk mencari pekerjaan setelah salon kecantikan tempatnya bekerja di Shenzhen tutup.
Kota-kota di Hebei, termasuk Yanjiao, menetapkan aturan bahwa siapa pun tidak boleh masuk dan keluar Beijing jika belum melaporkan hasil tes asam nukleat. Ketentuan baru tes asam nukleat ini juga berlaku bagi warga asing yang hendak masuk ke Beijing. Ditambah lagi ketentuan karantina selama 21 hari sebelum bisa masuk Beijing.
Bagi Lao Yuan (62) dan istrinya, ketentuan baru tes asam nukleat ini memberatkan karena mereka tak bisa bebas bekerja di Beijing lagi. Selama 10 tahun terakhir, keduanya bekerja di sebuah pabrik mobil di Beijing.
Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan penguncian, mereka terpaksa bekerja harian di Songzhuang, di pinggiran Beijing dekat perbatasan Hebei. Upahnya sekitar 46 dollar Amerika Serikat (AS) per hari. Bagi pekerja komuter harian seperti buruh pabrik dan bangunan, kebijakan pembatasan ini sama saja tidak akan bisa makan karena mereka bergantung pada upah harian.
Untuk mempercepat proses pelacakan Covid-19 di Beijing, jutaan warga Beijing kembali dites Covid-19 untuk kedua kalinya. Dalam satu pekan, warga Beijing harus tes dua kali agar pengalaman Shanghai tak terulang.
Ketika kasus Covid-19 merajalela, Shanghai memberlakukan kebijakan pembatasan yang ketat selama satu bulan. Karena dianggap terlalu lama, banyak warga protes. Apalagi karena stok kebutuhan makanan di Shanghai pada waktu itu menipis dan warga kian frustrasi.
Belajar dari pengalaman itu, Beijing memastikan agar kebutuhan sehari-sehari tetap ada di pertokoan. Beijing akan mengetes 20 juta penduduknya tiga kali dalam satu pekan. Hasil tes yang sementara berjalan menemukan 46 kasus baru.
Penelitian yang dilakukan Gavekal Dragonomics menyebutkan, terdapat 57 kota dari 100 kota terbesar di China sedang menjalani kebijakan pembatasan sejak pekan lalu. Kebijakan ini telah mengganggu konsumsi, roda industri, dan terpaksa mendorong pemerintah merangsang perekonomian dengan meningkatkan investasi pada infrastruktur.
Ratusan pabrik sudah diperbolehkan untuk kembali beroperasi. Namun, masalahnya, banyak pabrik yang kesulitan mendapatkan tenaga kerja karena banyak yang masih terjebak di rumah. Belum lagi pesanan komponen-komponen dari kontraktor yang juga tidak bisa dikirimkan karena adanya kebijakan pembatasan mobilitas sosial.
Pemerintah Kota Shanghai juga akan kembali melakukan tes massal beberapa hari mendatang untuk menentukan wilayah mana yang sudah aman untuk dibuka kembali. Setelah kebijakan dicabut, harapannya arus barang industri bisa kembali lancar dari Shanghai ke kota-kota industri lain, seperti Changchun dan Jilin di wilayah timur laut China.
China sampai saat ini tetap berkomitmen pada pendekatan ”nihil kasus Covid-19 ”. Oleh karena itu, Pemerintah China sering memberlakukan kebijakan pembatasan.
Pakar kesehatan masyarakat di Universitas Hong Kong, Karen Grepin, mengatakan, China sampai saat ini tetap berkomitmen pada pendekatan ”nihil kasus Covid-19”. Oleh karena itu, Pemerintah China sering memberlakukan kebijakan pembatasan.
”Kebijakan yang ketat itu dianggap efektif untuk menangani kasus per kasus secara lokal. Apalagi karena strategi ’nihil kasus Covid-19’ itu dinilai berhasil mengendalikan dan melawan varian Covid-19 yang sebelumnya,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AFP)