PMK Diklaim Tak Pengaruhi Produksi Susu di Boyolali
Kasus penyakit mulut dan kuku pada ternak memang sudah ditemukan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Namun, paparan penyakit tersebut diklaim tak terlalu berpengaruh terhadap produktivitas susu dari daerah itu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
BOYOLALI, KOMPAS — Kasus penyakit mulut dan kuku pada ternak memang sudah ditemukan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Namun, paparan penyakit tersebut diklaim tak terlalu berpengaruh terhadap produktivitas susu dari daerah itu. Jumlah populasi sapi yang menghasilkan susu jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang terpapar penyakit.
”Secara keseluruhan belum kelihatan dampaknya. Beberapa peternak yang kami datangi memang bilang bahwa produksinya memang tidak terlalu terpengaruh. Sebab, PMK (penyakit mulut dan kuku) ini juga segera mendapatkan penanganan,” kata Kepala Bidang Produksi Ternak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali Gunawan Andriyanto saat ditemui di kantornya di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (2/6/2022).
Akan tetapi, Gunawan menyatakan, pihaknya belum melakukan pembandingan data produksi susu mingguan. Ia meyakini, produksi susu di daerahnya masih tinggi. Sebab, jumlah ternak yang terpapar cukup sedikit. Perbandingannya sangat jauh dengan populasi sapi perah yang terdapat di kawasan penghasil susu tersebut.
Menurut pendataan terkini, kata Gunawan, hanya ada 21 ekor ternak sapi yang terkonfirmasi positif PMK. Untuk jumlah suspeknya, tercatat ada lebih dari 500 ekor. Sementara itu, populasi sapi perah berjumlah sekitar 94.000 ekor.
“Rata-rata seekor sapi perah bisa memproduksi 10-20 liter per hari. Berdasarkan data tahun lalu, ada 51 juta liter susu yang bisa kami hasilkan dalam satu tahun. Apabila yang terpapar hanya beberapa saja, produksi susu memang tidak terpengaruh. Yang terpapar juga cenderung ke sapi pedaging,” kata Gunawan.
Untuk itu, Gunawan menjelaskan, langkah yang diambil pemerintah daerah cenderung bersifat antisipatif. Salah satunya ialah menutup pasar hewan guna meminimalkan risiko penularan PMK terhadap sapi-sapi di daerahnya. Penutupan pasar hewan berlangsung sejak 27 Mei 2022 hingga 10 Juni 2022.
Di sisi lain, sejumlah daerah di sekitar Boyolali juga memutuskan untuk melakukan penutupan pasar hewan. Daerah-daerah tersebut antara lain Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Wonogiri.
“Sebagian besar penularan PMK melalui lalu lintas ternak. Dengan adanya penutupan ini, penularan melalui pasar bisa ditekan. Petugas juga konsentrasi menangani pengobatan bagi yang terpapar,” kata Gunawan.
Gunawan menyampaikan, pihaknya tak memungkiri, adanya paparan PMK pada sapi perah berpotensi mengurangi produktivitas susu. Pengurangannya bisa mencapai 20 persen dari produksi biasanya. Namun, berkurangnya produktivitas juga dapat diatasi dengan penanganan kesehatan secara cepat.
Tidak terganggu
”Kami telah membentuk tim-tim yang bisa menangani secara cepat. Kalau cepat ditangani, dalam kondisi tiga sampai empat hari sudah ada kesembuhan. Dengan demikian produksi tidak terganggu. Karena, kunci produksi susu adalah asupan makanan. Persoalannya, jika sapi tertular, dia tidak mau makan,” kata Gunawan.
Di Boyolali, penyebaran sapi perah terpusat di wilayah-wilayah tertentu. Biasanya, wilayah tersebut memiliki iklim yang dingin. Kondisi itu disebut mendukung produksi susu. Adapun sebaran sapi perah berada di sejumlah kecamatan, yakni Kecamatan Musuk, Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Tamansari, Kecamatan Gladaksari, Kecamatan Ampel, dan Kecamatan Mojosongo.
Kepala Koperasi Unit Desa Mojosongo Waluyo mengungkapkan, temuan PMK tak terlalu berpengaruh dengan produksi susu di daerahnya. Setiap harinya, ia masih bisa menerima pasokan susu dari para peternak sebanyak 17.000 liter. Adapun populasi sapi perah di wilayahnya 400-500 ekor.
“Sejak sebelum ada PMK, pasokannya juga sudah 17.000 liter per harinya. Jadi tidak ada pengaruh yang signifikan. Soalnya, begitu ada yang tertular juga langsung ditangani dari dinas. Penyembuhannya cukup cepat,” kata Waluyo.
Waluyo mengaku bersyukur dengan adanya penutupan pasar hewan. Penutupan tersebut mencegah paparan PMK pada ternak. Khususnya sapi-sapi perah yang berpotensi turun produksinya jika tertular. Demi mencegah penyebaran PMK, lanjut dia, pihaknya juga terus menginformasikan kepada para peternaknya agar tidak memasukkan ternak dari luar daerah ke kandangnya.
Sebagian besar penularan PMK melalui lalu lintas ternak. Dengan adanya penutupan ini, penularan melalui pasar bisa ditekan (Gunawan)
Kayat (57), peternak sapi perah asal Mojosongo, menyebutkan, sapi-sapi perah yang dimilikinya belum pernah terpapar PMK. Sejauh ini, sapi-sapi perah tersebut masih konsisten menghasilkan susu sebanyak 35 – 40 liter per harinya. Pihaknya berusaha keras menjaga kebersihan kandang demi mengantisipasi paparan penyakit tersebut.
“Kandang saya bersihkan terus. Saya juga tidak mau masuk-masuk ke kandang lain dulu. Lebih-lebih membeli ternak baru. Risikonya tinggi kalau sampai sapi kena PMK. Selain itu, saya juga langsung konsultasi ke mantri hewan kalau misalnya sapi saya kenapa-kenapa. Jadi lebih jaga sendiri saja biar tidak tertular,” kata Kayat.