Perang Ukraina dan Tatanan Baru Timur Tengah
Nilai strategis negara-negara Arab kaya Teluk, sebagai pusat sumber energi minyak maupun gas, meningkat pascaperang Rusia-Ukraina. Mereka bisa memanfaatkan situasi baru itu untuk meningkatkan daya tawar geopolitik.
Perang Rusia-Ukraina, yang sudah berlangsung lebih dari satu bulan, melahirkan banyak wacana tentang pentingnya restorasi kawasan Timur Tengah. Meletusnya perang Rusia-Ukraina tidak hanya menjadi momentum, tetapi juga sebuah keharusan, untuk melakukan restorasi kawasan Timur Tengah, terutama di sektor energi dan pangan yang sangat terdampak oleh perang tersebut.
Perang Rusia-Ukraina telah melahirkan ancaman krisis energi dan pangan, mengingat Rusia adalah salah satu sumber utama energi dan pangan dunia. Adapun Ukraina adalah salah satu sumber pangan dunia.
Rusia memproduksi sekitar 10 persen minyak dunia. Rusia adalah anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) Plus. Rusia juga memproduksi sekitar 20 persen kebutuhan gas dunia. Di bidang pangan, Rusia dan Ukraina merupakan penghasil sekitar 29 persen gandum dunia.
Baca juga: Dunia Arab di Persimpangan Jalan
Hampir semua negara di Timur Tengah sangat bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk pasokan gandum yang merupakan bahan pokok pembuat roti. Roti adalah makanan pokok rakyat di kawasan Timur Tengah. Ini yang mengantarkan muncul banyak opini di banyak media di dunia Arab yang menyerukan pentingnya restorasi kawasan Timur Tengah untuk membangun tatanan baru Timur Tengah.
Pengamat politik Mesir, Fathi Mahmoud, menulis artikel pada harian Al Ahram edisi hari Selasa (29/3/2022) dengan judul ”Restorasi Timur Tengah”. Pengamat politik Mesir, Nadhir al-Nouruddin, juga menulis artikel pada harian Al Ahram hari Rabu (30/3/2022) dengan judul ”Perang Ukraina dan Tatanan Pertanian Baru di Dunia Arab”. Pengamat politik Kuwait, Mohamed al-Rumaihi, juga menulis artikel pada harian Asharq al-Awsat pada hari Sabtu (26/3/2022) dengan judul ”Dampak Perang Ukraina atas Kawasan Arab Teluk”.
Munculnya banyak opini tentang restorasi kawasan Timur Tengah itu tidak terlepas dari banyaknya opini internasional tentang akan lahirnya tatanan dunia baru pasca-perang Rusia-Ukraina itu. Lontaran opini tentang tatanan baru Timur Tengah pasca-perang Rusia-Ukraina ini muncul karena dinamika Timur Tengah tidak terlepas dari dinamika internasional.
Menurut Fathi Mahmoud, tatanan dunia saat ini tercipta atau diciptakan pasca-Perang Dunia II tahun 1945. Adapun tatanan Timur Tengah saat ini tercipta atau diciptakan justru pasca-Perang Dunia I.
Tatanan Timur Tengah saat ini persisnya berpijak pada Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani pada 16 Mei 1916. Perjanjian tersebut membagi wilayah Dinasti Ottoman di Asia kecil atau Asia Barat (wilayah Timur Tengah sekarang) antara wilayah di bawah pengaruh Inggris dan Perancis, yang menjadi dua negara raksasa saat itu.
Berdasarkan Perjanjian Sykes-Picot, yang kemudian disetujui Rusia saat itu, adalah Suriah dan Lebanon berada di bawah pengaruh Perancis, sedangkan kawasan Teluk Arab, Irak, Palestina, hingga Jordania berada di bawah kontrol Inggris.
Perjanjian Sykes-Picot bervisi membangun sistem negara bangsa di Timur Tengah sebagai pengganti dari sistem khilafah Dinasti Ottoman. Negara bangsa di Timur Tengah dari hasil Perjanjian Sykes-Picot terus bertahan sampai saat ini.
Baca juga: Pertarungan Menuju Sykes-Picot Baru di Timur Tengah
Negara bangsa di Timur Tengah tersebut sempat terganggu oleh meletusnya Musim Semi Arab tahun 2010-2011 yang mengantarkan meletupnya perang saudara dan krisis politik di sejumlah negara Arab. Perang saudara dan krisis politik di sejumlah negara Arab tersebut membuka peluang intervensi negara regional (Iran, Turki, dan Israel) dan internasional (AS dan Rusia) ke dunia Arab saat ini.
Namun, masyarakat internasional dan PBB masih mengakui dan mendukung negara bangsa di Timur Tengah yang ada saat ini sesuai Perjanjian Sykes-Picot. Akibat intervensi kuat regional dan internasional tersebut, sesungguhnya sudah mulai muncul suara agar dilakukan penataan baru atas kawasan Timur Tengah dengan harapan kawasan itu segera bebas dari intervensi asing tersebut.
Baca juga: Menuju Timur Tengah Baru
Meletusnya perang Rusia-Ukraina sejak 24 Februari lalu semakin memperlantang suara yang menyerukan segera dibangun tatanan baru Timur Tengah. Hal itu disebabkan semakin disadari bahwa kawasan Timur Tengah sangat rentan atas krisis pangan menyusul meletusnya perang Rusia-Ukraina itu.
Sebagian besar negara Arab sejak tahun 2010 mengandalkan pasokan gandum antara 80 persen-100 persen dari Rusia dan Ukraina. Sejumlah negara Arab juga terdampak oleh naiknya harga minyak dan gas dunia. Negara-negara Arab bukan pengekspor minyak, seperti Lebanon, Suriah, Maroko, Yaman, Djibouti, Tunisia, Mesir, dan Somalia, sangat terdampak kenaikan harga pangan dunia.
Baca juga: Minyak Bumi Langka, Arab Pegang Kartu Truf
Karena itu, sebagai bagian dari upaya membangun tatanan Timur Tengah baru, sudah tiba saatnya melakukan investasi besar-besaran di sektor pertanian daripada mengimpor bahan pangan. Dengan cara itu, upaya menuju swasembada pangan di dunia Arab dapat diinisiasi.
Bahkan sudah tiba saatnya pula dunia Arab berinvestasi di sektor pertanian di negara-negara tetangga dunia Arab, seperti di Afrika. Setelah itu, Afrika diharapkan kemudian menopang kebutuhan pangan dunia Arab.
Selain itu, dunia Arab harus berusaha memperbaiki kapasitas sektor pertaniannya dengan meningkatkan teknologi sistem irigasinya. Di Mesir misalnya, harus ada evaluasi kebijakan sektor pertaniannya dengan memperbanyak menanam gandum dan memperkecil menanam sayur-sayuran.
Di tengah upaya membangun tatanan baru Timur Tengah, nilai strategis negara-negara Arab kaya Teluk, sebagai pusat sumber energi, baik minyak maupun gas, semakin naik. Dunia Barat kini semakin membutuhkan negara-negara Arab kaya Teluk, yang dicanangkan sebagai pengganti Rusia, untuk pasokan minyak dan gas. Dengan kata lain, dunia Arab kini diharapkan menjadi penyelamat krisis energi di dunia akibat perang Rusia-Ukraina.
Karena itu, negara-negara Arab kaya Teluk harus memanfaatkan situasi baru itu dengan menaikkan daya tawar dalam konteks geopolitik di kawasan Timur Tengah. Dalam konteks ini, dunia Barat harus mengakomodasi aspirasi negara-negara Arab Teluk, khususnya di bidang keamanan.
Dalam hal ini, sudah tiba saatnya negara-negara Arab Teluk, khususnya Arab Saudi, menuntut transfer teknologi militer dari AS ke Arab Saudi, bukan hanya menjual senjata ke Arab Saudi tanpa ada proses transfer tekonologinya. Apalagi Arab Saudi saat ini sedang mengembangkan industri militernya secara besar-besaran dalam upaya mengurangi ketergantungan peralatan militernya pada AS.
Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah dunia Arab harus memanfaatkan situasi baru saat ini untuk menggerakkan masyarakat internasional mencari solusi adil atas isu Palestina dengan berpijak pada solusi dua negara Israel dan Palestina. Perundingan damai Palestina-Israel, yang macet total sejak tahun 2014, harus dimulai lagi dengan tekanan dari dunia Arab kepada AS untuk menekan Israel agar mau membuka perundingan lagi dengan Palestina.
Apalagi sekarang adalah era transaksi politik. Israel sendiri mampu mencapai transaksi politik dengan Rusia. Bentuknya bahwa Israel bersikap netral dalam perang Rusia-Ukraina dengan imbalan Israel tetap bebas masuk wilayah udara Suriah untuk menggempur sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah.
Baca juga: Manuver Permainan Licin Israel di Tengah Perang Rusia-Ukraina
Rusia juga mencapai transaksi dengan Uni Emirat Arab (UEA) dalam bentuk UEA abstain dalam voting suara mengecam keras invasi Rusia ke Ukraina dalam sidang Dewan Keamanan (DK) PBB pada 26 Februari lalu. Imbalannya adalah Rusia memberi suara mendukung penetapan kelompok Houthi di Yaman sebagai organisasi teroris dalam voting suara di DK PBB pada 28 Februari lalu.
Kini tiba saatnya dunia Arab mencapai transaksi besar dengan AS dan Barat dalam bentuk dunia Arab mengamankan pasokan minyak dan gas ke Eropa dengan imbalan AS dan Eropa menekan Israel menerima solusi dua negara Israel-Palestina.