Radang Alasan ini menjadi sebuah penyakit yang cukup berbahaya karena ia memengaruhi berbagai hal yang membawa dampak masif dan berkesinambungan bagi konteks luas.
Oleh
Alissa Wahid
·4 menit baca
Dalam sebuah pelatihan kepemimpinan, saya mendengar seorang pembicara menyampaikan kaidah you either have reasons for success or you have excuses for failure. Pernyataan yang tampak gimmicky alias sloganistik, tetapi ternyata berdampak cukup signifikan dalam konteks yang lebih besar.
Menariknya, dalam bahasa Indonesia, baik reason ataupun excuse diterjemahkan dalam kata homonim, yaitu alasan. Kita menemukan alasan untuk berhasil atau kita mencari alasan untuk (menjustifikasi) kegagalan atau tindakan-tindakan lain yang tidak cukup masuk akal.
Walau sekilas tampak sama, sama-sama menjadi penjelas atas terjadi atau tidak terjadinya sesuatu, alasan reason berbeda watak dengan alasan excuse. Alasan reason merupakan hal yang menjadi daya dorong untuk mencapai atau mewujudkan sesuatu sehingga ia berorientasi pada perbaikan di masa depan.
Sementara itu, alasan excuse menjadi justifikasi mengapa sesuatu tidak dapat terwujudkan sehingga ia berorientasi ke masa lalu. Kalaupun untuk sesuatu di arah masa depan, alasan excuse digunakan sebagai rasionalisasi untuk sebuah keputusan atau tindakan yang berlawanan dengan logika atau nilai-nilai luhur.
Contohnya, banyak orang mengatakan bahwa alasan seorang pejabat melakukan tindak pidana korupsi adalah karena istri yang menuntut kemewahan material. Atau dalam kasus kekerasan seksual, bahkan ada hakim dalam pengadilan yang mempertanyakan apa pakaian yang dipakai sang korban dengan dalih pakaian korban adalah penyebab pemerkosaan.
Kedua bentuk alasan ini bisa muncul di awal, sebelum sebuah proses terjadi, dibedakan oleh semangat perbaikan atau semangat rasionalisasi terhadap pilihan yang tidak-tidak. Namun, alasan excuse bisa juga muncul belakangan setelah sebuah proses berlangsung dan tidak menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
David Schwartz dalam buku klasiknya The Magic of Thinking Big (1959) menyebut justifikasi kegagalan ini sebagai Excusitis alias Radang Alasan, yaitu penyakit yang menghinggapi seseorang sehingga ia memiliki kebiasaan untuk selalu mencari alasan atas ketidakmampuannya untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan, atau mencari dalih untuk melakukan sesuatu yang tidak berdasar.
Secara anekdotal, penyakit radang alasan ini cukup mudah dijumpai. Salah satu gejalanya adalah penggunaan kosakata ”itu karena mereka/dia/pemerintah/tetangga/apa pun blablablablabla” yang menunjukkan sudut pandang menyalahkan orang lain (blaming others).
Misalnya orang yang berulang kali gagal bisnis, tetapi selalu meyakini bahwa kegagalannya disebabkan oleh faktor-faktor luar dirinya entah itu keadaan ekonomi, pandemi, kebijakan pemerintah, ditipu partner, dan seterusnya, alih-alih berefleksi ke dalam dirinya dan berusaha untuk memperbaiki diri sebagai pemegang kendali kehidupannya.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bernegara, Radang Alasan ini menjadi sebuah penyakit yang cukup berbahaya karena ia memengaruhi berbagai hal yang membawa dampak masif dan berkesinambungan bagi konteks luas.
Misalnya, praktik politik elektoral yang mahal dan dampaknya pada korupsi besar-besaran di Indonesia dapat menjadi alasan untuk membangun sebuah sistem politik yang lebih sehat untuk meminimalisasi kebutuhan dan peluang korupsi uang rakyat. Memang bukan sesuatu yang mudah, tetapi tetap harus dilakukan.
Namun, Radang Alasan akan mengajukan argumen bahwa fenomena praktik politik yang mahal tersebutlah yang menyebabkan wabah korupsi dengan dalih bahwa para pelaku politik tidak punya pilihan lain untuk mengongkosi kerja-kerja politiknya, dan adalah sangat naif untuk mengharapkan hal yang utopis macam negara bebas korupsi.
Dan tentu saja, akhir-akhir ini wacana perpolitikan bangsa kita sedang ramai dengan pembicaraan mengenai perpanjangan masa kepemimpinan Presiden Jokowi, baik melalui perpanjangan periode kedua maupun presidensi periode ketiga. Sampai tanggap 1 April 2022, petisi online untuk menolak penundaan Pemilu 2024 sudah ditandatangani oleh lebih dari 38.000 orang. Di sisi lain, pendukungnya mengklaim bahwa lebih banyak orang menginginkan perpanjangan masa Presiden Jokowi. Berbagai argumen yang diajukan untuk menjustifikasinya.
Argumen pertama adalah tentang sektor bisnis yang sedang berproses pemulihan pascapandemi dan membutuhkan kestabilan politik. Presiden Jokowi dianggap menjadi penjamin stabilitas tersebut dan dengan pertarungan tahun 2024 yang masih gelap, kestabilan politik menjadi sangat rentan.
Selanjutnya dalih pendukung perpanjangan bergeser pada argumen bahwa pandemi telah ”mencuri” waktu kerja Presiden Jokowi sehingga sudah selayaknya diberikan perpanjangan agar dapat menyelesaikan agenda-agenda pembangunannya. Dengan sudut pandang yang sama, semua kepala daerah semestinya juga mendapatkan keuntungan perpanjangan masa ini.
Argumen selanjutnya adalah karena sebagian besar masyarakat Indonesia terbukti sangat puas terhadap Presiden Jokowi dan karenanya masih menghendaki Presiden Jokowi sehingga sah saja untuk mengubah peraturan bangsa dan negara untuk memenuhi keinginan rakyat.
Cukup terang benderang bahwa wacana ini adalah tentang pPesiden Jokowi, bukan tentang standar kepresidenan Indonesia walaupun kerap kali disampaikan sekilas-sekilas bahwa ini akan membawa kebaikan bagi semua presiden Indonesia di masa depan. Kita tidak mendengar argumen bahwa seterusnya nanti memang tiga periode adalah lebih ideal, siapa pun presidennya.
Sekarang kita perlu mengambil keputusan sebagai bangsa, tetapi bola berada di tangan Presiden Jokowi. Apakah Presiden Jokowi akan menggunakan pendekatan Alasan Reason untuk memilih yang terbaik bagi bangsa dalam keutuhan perjalanan sejarahnya, bukan hanya di sepenggal masanya? Atau apakah Radang Alasan yang diajukan para pendukung perpanjangan masa Presiden yang akan menjadi dasar keputusan? Presiden Jokowi memang telah memberikan sinyalemen awal, memilih taat dan patuh pada konstitusi. Apabila demikian, kita boleh lega karena bangsa kita tidak mengalami Radang Alasan dan tentunya tidak perlu obat di kemudian hari.