Memanjakan Lidah dengan Nasi Kapau yang Sebenar-benarnya
Oleh
RYAN RINALDY/DD16
·4 menit baca
Jika melintasi Jalan Kramat Raya, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, sempatkanlah menyinggahi warung Nasi Kapau Sabana Bana. Setiap suapan ke mulut akan memanjakan lidah dengan cita rasa nasi kapau yang autentik.
Warung nasi kapau yang sudah berdiri sejak 1970 ini berada di tengah deretan belasan warung nasi kapau lainnya. Meski demikian, warung Nasi Kapau Sabana Bana dapat ditemukan dengan mudah dilihat dari banyaknya kendaraaan yang terparkir di depannya.
Memasuki warung nasi itu, aroma dari kombinasi kepulan nasi kapau dan lauk pauk seketika mengundang nafsu makan calon pembeli. Lebih dari 20 menu khas Sumatera Barat tertata rapi di meja bertingkat empat.
“Pesan apa? Andalannya ada bebek cabai hijau, usus isi telur, kakap, dan kikil,” ujar Babe, salah satu pelayan di warung nasi tersebut, saat melayani pengunjung. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 00.00, tanda hari sudah berganti menjadi Senin (19/3).
Warung nasi yang buka setiap hari mulai pukul 11.00 hingga 06.00 pagi itu bahkan telah memiliki pelanggan setia yang rela kembali demi seporsi nasi kapau.
Malam itu misalnya, Abrar (36) datang bersama kelima orang temannya. Ia memesan nasi kapau dengan lauk usus sapi yang diberi isian telur.
“Menu ini (usus isi telur) jarang didapat di restoran lain. Kalau pemiliknya bukan orang Bukittinggi asli, enggak mungkin ada menu ini,” kata Abrar yang berasal dari Bukittinggi.
Alih-alih menggunakan sendok ataupun garpu, ia menyantap nasi kapau itu langsung dengan tangan kosong. “Biar lebih nikmat harus pakai tangan langsung, seperti di kampung. Rasa nasi kapau di sini selalu bisa bikin saya ingat kampung halam,” tutur Abrar yang sudah berlangganan sejak sepuluh tahun lalu.
Bagi Bonang (49), nasi kapau di Sabana Bana memiliki keaslian rasa yang membedakannya dari rumah makan nasi padang lainnya. Keaslian rasa itu membuatnya rela datang dari Tangerang khusus bersantap malam di tempat itu.
“Kalau di tempat nasi padang lain, itu seringnya yang punya orang Jawa. Ini yang punya orang Bukittinggi. Jadi, rasanya tidak berubah dari asalnya,” ujarnya.
Bonang menambahkan, hatinya tertambat pada nasi kapau Sabana Bana sejak 1990. Semenjak itu pula, ia bisa datang ke tempat itu tiga sampai empat kali dalam sepekan. Selain karena rasanya yang autentik, harganya terjangkau, yakni berkisar Rp 23.000-Rp 50.000 per porsi.
Selain menu andalannya, warung nasi tersebut juga menyajikan masakan lainnya untuk memuaskan selera pembeli, di antaranya sate padang, rendang, dendeng basah, serta sop tulang iga. Meski menyantapnya di malam hari, seluruh hidangan terasa nikmat karena selalu dipanaskan secara berkala.
Warung pertama
Berdiri sejak 1970, Warung Nasi Kapau Sabana Bana kini dikelola generasi kedua pendirinya. Dewi Intan (46), salah satu pengelola, mengucapkan, warung nasi tersebut merupakan salah satu yang pertama buka di kawasan Senen. Saat itu, ada dua warung nasi kapau lainnya yang berjualan. Namun, seiring berjalannya waktu, kedua warung nasi itu akhirnya tutup.
“Kami namakan Sabana Bana karena kami memang yang pertama jual nasi kapau di sini. Ini (nasi kapau) yang sebenar-benarnya,” tutur Dewi.
Pada mulanya, kedua orangtua Dewi, Haji Nasir dan Baenar (almarhumah) memutuskan merantau ke Ibu Kota dari Bukittinggi setelah menikah pada 1970 dan memulai usaha warung nasi kapau di Jalan Kramat Raya. Saat itu, mereka membuka warung nasi itu dengan modal nekat.
Sebelumnya, Baenar berprofesi sebagai pengajar guru taman kanak-kanak di Bukittinggi. “Mamah sama sekali tidak masak saat itu, tetapi dia terus belajar sampai bisa. Meski sudah meninggal, beliau sudah mengajarkan cara memasak menu yang kami sajikan kepada tiga karyawannya. Sehingga rasanya tetap sama seperti dulu,” ujar Dewi.
Perjalanan warung Nasi Kapau Sabana Bana mengalami berbagai rintangan sejak pertama dibuka. Dewi mengisahkan, saat Ibu Kota tengah dipimpin Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, kedua orangtuanya kerap “kucing-kucingan” saat ada penertiban. Sebab, mereka belum mengantongi izin dagang saat itu.
Keadaan tersebut berlangsung hingga 1990. Setelah mereka memiliki izin dagang, usaha warung nasi kapau tersebut kian berkembang. Sejumlah warung nasi kapau lain pun menjamur di kawasan itu. “Sekarang memang jadi banyak saingannya, tetapi tidak apa-apa. Yang penting kami menjaga kualitas masakan sehingga tetap autentik di lidah pengunjung,” kata Dewi.