JAKARTA, KOMPAS --Di tengah munculnya serangan informasi palsu yang begitu deras, masyarakat sipil juga sudah mulai berusaha melawannya dengan menyediakan alat untuk menandai informasi palsu, seperti trunbackhoax.id. Selain itu, Nahdlatul Ulama juga mulai “membanjiri” media sosial dengan narasi-narasi yang menyejukkan, sekaligus mengajak netizen atau pengguna internet untuk berhati-hati dalam menyebarkan koten di ruang daring karena bisa saja informasi itu palsu.
Seperti diberitakan Kompas, Senin (6/2),informasi bohong atau hoax melalui media dalam jaringan terus merebak, seiring dengan maraknya penggunaan internet. Informasi palsu terus direproduksi dengan tujuan menimbulkan kebencian antarwarga dan komunitas. Jika dibiarkan, hal ini mengancam persatuan bangsa.
Melalui situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp, masyarakat saling berbagi tautan dan konten dengan cepat tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Hal itu berpotensi memicu konflik sosial, seperti yang melanda dua desa di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, 10 Januari 2017. Tercatat 149 rumah warga rusak akibat bentrokan yang dipicu kabar bohong melalui akun Facebook warga di salah satu desa itu.
Lalu ada pula komunitas yang menggerakkan aktivitas daring dan luring (luar jaringan) untuk mendorong literasi bermedia sosial, sehingga masyarakat bisa lebih selektif dalam memilah dan menyebarkan informasi di ruang daring.
Khairul Anshar pengagas Turnbackhoax.id, menuturkan, untuk mendorong makin banyak pengguna internet memanfaatkan laman itu, seharusnya laman ini dioperasikan oleh pemerintah atau pemerintah menyediakan layanan application program interface (API) untuk memvalidasi pengguna. Misalnya orang yang hendak melaporkan harus memverifikasi dengan identitas, sehingga bisa ditindaklanjuti oleh lembaga terkait jika diperlukan.
“Sebenarnya akun media sosial juga harus semuanya terverifikasi. Namun, data ini harus dirahasiakan. Penyedia platform juga tidak boleh mengetahui data itu. Hanya pemilik akun dan pemerintah yang mengetahuinya. Respons dari layanan API pemerintah cukup ‘valid’ atau ‘tidak valid’,” kata Khairul, di Jakarta, Senin (6/2).
Hal itu bisa mengatasi problem anonimitas di dunia maya yang kerap membuat pengguna internet merasa tidak harus bertanggungjawab atas perbuatannya di ruang daring. Menurut Khairul, jika verifikasi itu sudah dijalankan, penyebar hoax di media sosial juga lebih mudah dilacak. (GAL)