Tampilnya pasangan calon tunggal, khususnya para Petahana, dalam Pilkada serentak 2017 kali ini dapat menjadi suatu anomali yang menjungkirbalikkan rasionalitas politik elektoral yang di negeri ini. Dikatakan demikian, lantaran tampilnya para calon tunggal pilkada tersebut tidak dibuktikan oleh pencapaian kinerja yang spektakuler dari sebagian besar calon tunggal pada periode pertema kepemimpinan mereka.
Dalam ajang Pilkada serentak 15 Februari 2017 ini, dari 101 daerah yang tengah memperebutkan jabatan gubernur, bupati, dan walikota, diidentifikasikan sebanyak 9 daerah kabupaten/kota yang diikuti oleh hanya satu pasangan calon kepala daerah. Dari kesembilan daerah tersebut, hanya satu pasangan di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Karolin Margret Natasa-Herculanus Heriadi, yang sebelumnya tercatat bukan berlatarbelakang pejabat kepala daerah. Selain itu, di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara; Kabupaten Tulang Bawang, Lampung; Kabupaten Pati, Jawa Tengah; Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara; Kabupaten Maluku Tengah, Maluku; Kabupaten Tambraw dan Kota Sorong, Papua Barat; dan Kota Jayapura, Papua, diikuti oleh pasangan calon tunggal yang sebelumnya bupati ataupun walikota di daerah masing-masing.
Menjadi calon tunggal merupakan suatu peristiwa yang teramat jarang terjadi dalam sejarah kontestasi pilkada di negeri ini. Pasalnya, bagaimana mungkin dari syarat calon kepala daerah yang sudah diperingan dari calon independen menjadi minimal dukungan 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap dan syarat dari partai politik/gabungan partai politik sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara, muncul hanya satu pasangan calon saja? Padahal sederhananya, dengan persyaratan yang ada, pencalonan dari partai politik potensial mampu menjaring hingga lima pasangan calon. Akan menjadi lebih dari lima pasangan calon jika muncul calon independen. Bahkan, mengambil contoh Kabupaten Aceh Barat Daya, daerah ini mampu melahirkan 10 pasangan calon yang 4 di antaranya berasal dari pencalonan partai politik dan 6 berasal dari pencalonan independen.
Oleh karena itu, keberhasilan pasangan calon menjadi calon tunggal Pilkada dapat dimaknai sebagai suatu standar pemenuhan kelayakan tunggal pemimpin daerah yang disematkan seluruh pengusulnya, khususnya gabungan partai politik, terhadap pasangan calon tersebut. Bagi partai politik, seolah tiada sosok-sosok lain yang dinilai layak menjadi kepala daerah selain pasangan tersebut. Pertanyaannya, faktor apa yang melekat pada pasangan calon tunggal tersebut sehingga layak ditunggalkan pencalonannya?
Idealnya, tingginya derajat kepuasan terhadap kinerja calon tunggal tersebut menjadi faktor terbentuknya calon tunggal. Dalam hal ini, kurun waktu lima tahun periode kepemimpinan calon kepala daerah tersebut dinilai sangat istimewa, sehingga jangan ada satupun pasangan calon menggantikannya. Namun, jika kerangka ideal yang dijadikan patokan, apakah dapat dihipotesakan bahwa kedelapan pasangan petahana yang menjadi calon tunggal pada Pilkada kali ini dinilai membawa keberhasilan yang istimewa bagi daerah ataupun masyarakatnya?
Pengkajian terhadap setiap daerah dengan petahananya menjadi calon tunggal Pilkada menunjukkan, tidak selalu identik kehadiran pasangan calon tunggal diikuti oleh hasil gemilang kinerja daerah yang dipimpin selama lima tahun terakhir. Dari delapan wilayah Pilkada dengan calon tunggal, hanya dua wilayah yang dinilai relatif berhasil meningkatkan laju pembangunan daerahnya di atas rata-rata. Selain kedua daerah tersebut, merupakan kabupaten dan kota yang tidak banyak menuai prestasi dan bahkan tercatat sebagai wilayah yang relatif lamban kemajuan pembangunannya.
[kompas-highmap id="container" map_collection="https://code.highcharts.com/mapdata/countries/id/id-all.js" ext_lib="https://cdnjs.cloudflare.com/ajax/libs/proj4js/2.3.6/proj4.js" /]
Kota Sorong, Papua Barat dan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, tergolong pesat pembangunannya. Pembangunan merujuk pada peningkatan indikator Pembangunan Manusia Pembangunan ekonomi yang ditoreh kedua wilayah ini dalam kurun lima tahun terakhir. Pembangunan manusia, terekam dalam skor IPM yang meliputi kemajuan pendidikan, panjang usia, dan pengeluaran warga. Dalam hal ini, Kota Sorong mencatatkan laju peningkatan IPM dalam kelompok yang tinggi dari 101 daerah pilkada. Apabila tahun 2011 lalu, IPM Kota Sorong mencapai 72.80 maka pada 2015 menjadi 75.91 atau meningkat rata-rata tiap tahunnya 0,62. Peningkatan demikian berada di atas rata-rata peningkatan daerah lain di Provinsi Papua Barat, bahkan di atas rata-rata peningkatan IPM Nasional.
Peningkatan kualitas pembangunan manusia Kota Sorong sejalan dengan peningkatan pembangunan ekonomi wilayahnya. Dengan menggunakan indikator laju PDRB per kapita, Sorong masuk daerah terbesar peningkatannya. Pada tahun 2011, kota ini mencatatkan PDRB per kapita sebesar Rp 28,01 juta. Namun lima tahun kemudian melesat menjadi Rp 48,30 juta per kapita. Laju peningkatan semacam ini jauh di atas laju peningkatan daerah lain di Provinsi Papua Barat dan di atas rata-rata peningkatan nasional.
Sekalipun sama-sama menjadi daerah dengan catatan peningkatan kinerja pembangunan daerah yang signifikan, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, masih tidak sebaik kondisi Kota Sorong. Kabupaten Buton hingga tahun 2015 lalu skor IPM daerah ini 62.78 yang meningkat pesat dari skor 60.12 (2011). Begitupula PDRB per kapita meningkat dari Rp 16,50 juta (2011) menjadi Rp 28,58 juta (2015). Kedua peningkatan indikator pembangunan tersebut di atas rata-rata peningkatan daerah lain di Provinsi Sulawesi Tenggara. Akan tetapi, jika diperbandingkan dengan kondisi secara nasional, Kabupaten Buton masih berada di bawah capaian nasional.
Selain Kota Sorong dan Kabupaten Buton, tidak satupun wilayah Pilkada calon tunggal menjadi daerah dengan peningkatan pembangunan yang istimewa. Terdapat daerah yang di antaranya mampu meningkatkan pembangunan ekonomi wilayahnya namun pada sisi lain masih tergolong lambat dalam pembangunan kualitas manusia daerah tersebut. Kota Jayapura menjadi daerah dalam kelompok pembangunan ekonomi yang sangat pesat lima tahun terakhir. Dengan menggunakan indikator PDRB per kapita, jika pada tahun 2011 sebesar Rp 49,56 juta maka tahun 2015 melesat menjadi Rp 83,89 juta atau meningkat rata-rata Rp 6,87 juta setiap tahunnya. Akan tetapi, kota ini tergolong relatif lambat dalam meningkatkan kualitas pembangunan manusianya jika dibandingkan dengan laju peningkatan rata-rata provinsi Papua atau bahkan nasional. Kondisi demikian menunjukkan, laju peningkatan pembangunan fisik perekonomian belum banyak diikuti oleh laju peningkatan kesejahteraan warganya.
[kompas-highchart id="anomali-2" /]
Di sisi lain terdapat pula daerah Pilkada dengan calon tunggal yang mampu meningkatkan kualitas pembangunan manusianya. Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung dan Kabupaten Tambraw di Papua Barat contoh dalam kategori daerah yang mampu meningkatkan IPM rata-rata per tahun di atas capaian rata-rata provinsinya masing-masing. Namun pada sisi lain, pembangunan ekonomi yang ditunjukkan dalam laju peningkatan PDRB per kapita daerah ini justru tergolong di bawah rata-rata provinsinya.
Kondisi yang tergolong kurang meyakinkan dan tergolong lambat di berbagai aspek pembangunannya justru terjadi pada daerah –daerah petahana calon tunggal. Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dan Maluku Tengah, Maluku, masuk dalam kategori lambat jika dibandingkan dengan laju peningkatan pembangunan di provinsi masing-masing. Kota Tebing Tinggi misalnya, IPM nya kurun waktu lima tahun terakhir meningkat dari 70.85 (2011) menjadi 72.81 (2015) atau hanya 1.96. Sekalipun kondisi IPM kota ini di atas pencapaian rata-rata IPM Sumatera Utara (69.51 pada tahun 2015), namun dari sisi rata-rata laju peningkatan tiap tahun kota ini tergolong lambat dibandingkan dengan peningkatan rata-rata kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Kondisi yang serupa juga terjadi pada pembangunan ekonomi wilayah. Sekalipun PDRB per kapita kota ini di atas rata-rata provinsi namun laju peningkatan rata-rata tiap tahunnya tergolong di bawah pencapaian provinsi.
[kompas-highchart id="anomali-3" /]
Perkembangan daerah yang juga lamban terjadi di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kedua kabupaten tersebut selain menjadi daerah dengan capaian pembangunan IPM dan Pembangunan ekonomi di bawah capaian rata-rata provinsinya juga menjadi daerah dengan laju peningkatan pembangunan yang lamban lima tahun terakhir. Jika demikian fakta yang berlangsung kurun waktu lima tahun terakhir, apakah masyarakat pemilih masih berharap kondisi ideal terwujud dalam kepemimpinan para petahana calon tunggal?
Artikel Terkait:
Daerah Melesat dan Lambat
Konfigurasi "Prestasi" Daerah Pilkada
Peta Kompetisi Peningkatan Pembangunan Manusia