Perjuangan 83 Jam Menyusuri Lintas Timur Sumatera Dengan Truk...
Truk fuso itu dijadwalkan berangkat pada hari Kamis (16/2/2017) malam sekitar pukul 23.00 WIB. Kenapa harus berangkat malam? Pertama, tentu kami tidak harus mengendap-endap untuk meninggalkan Medan. Kedua, kami menunggu pemuatan 700.000 butir telur ayam ke dalam truk, dan setelah itu baru kami berangkat untuk menyusuri jalan lintas timur Sumatera.
Pemuatan telur ke dalam truk jelas harus dilakukan dengan hati-hati. Keseimbangan dalam pemuatan harus diperhatikan supaya telur tidak pecah dalam perjalanan ribuan kilometer. Kemudian, antarkontainer telur juga harus dilapisi oleh kertas pengaman yang tebal.
Namun, setelah telur telah termuat, ternyata kami tidak dapat segera meluncur. John—sopir truk itu, harus memperbaiki dulu roda kiri belakang truk tersebut. Karena terlalu sering menghantam jalan berlubang, dua baut roda belakang sebelah kiri truk itu patah. Kalau truk itu ingin selamat sampai tujuan maka John harus mengganti dua baut tersebut.
Dibantu Paul, rekannya, John—tentu saja bukan nama sebenarnya, harus bersusah payah membuka ban truk yang berukuran sebesar badan manusia dewasa itu. Tentu saja, mereka berdua sedang berada di gudang bukan di pit stop ajang Formula One. Jadi, untuk membuka ban truk itu dibutuhkan waktu 15-30 menit. Dan, total dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk perbaikan ban itu.
Begitu melelahkan upaya itu. Bahkan, tenaga John sudah terkuras sebelum memulai perjalanan. Keringat sudah bercucuran sejak dari kilometer nol.
Pukul 00.30, ketika hari telah berganti ke Jumat (17/2), John dan saya baru memulai perjalanan dari sebuah kawasan pergudangan di Medan, Sumatera Utara. John tentu saja harus membawa telur-telur itu dari Medan menuju Jakarta. Di sisi lain, saya harus meliput untuk mewartakan kondisi infrastruktur jalan di Sumatera.
Meski isinya hanya telur, namun dalam truk berjenis fuso 6x2 itu termuat telur dengan nilai total hingga Rp 300 juta. Telur-telur itu diproduksi peternak Sumatera Utara, dan dipasok menuju Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Prasangka yang keliru
Ketika ditugaskan Harian Kompas untuk menyusuri jalan lintas timur Sumatera dengan menumpang truk ekspedisi, saya punya prasangka negatif terkait sopir truk yang akan saya temui. Saya menduga si sopir adalah orang kasar, sadis, dan tidak bersahabat.
Saat bertatap muka pertama kali dengan John (27), prasangka negatif masih muncul. Pria berkulit coklat dengan tinggi kurang lebih 165 sentimeter itu berwajah garang. Perutnya membuncit dengan tubuh yang terlihat liat.
Namun ternyata, John menyapa saya dengan ramah. Saya disalaminya dengan tersenyum. Seketika saya lega, dan merasa sedikit berdosa karena sebelumnya sempat berprasangka buruk.
Mobil truk itu pun mulai bergerak. Menurut John, sebelum berangkat dia sempat mampir ke rumah calon istrinya, Yoko (juga bukan nama sebenarnya). Dia meminta izin Yoko, dan calon mertuanya untuk berangkat ke Jawa. Dia juga memberikan sedikit uang ke Yoko sebagai cicilan dari biaya pesta pernikahan mereka.
John pertama kali bertemu Yoko di kawasan pergudangan telur tersebut. Ketika itu, Yoko bekerja sebagai staf administrasi di gudang telur. Namun, cinta bersemi lantaran mereka sering berjumpa. Setelah beberapa lama menjalin hubungan asmara, mereka berkomitmen untuk menikah di tahun 2017 ini.
Meski orang lapangan, ternyata John tipe orang yang dekat dengan keluarganya. Setidaknya, ia tidak lupa menengok ibu kandungnya. Saya menyaksikan langsung peristiwa itu. Di tengah perjalanan Medan-Riau, John mampir di sebuah rumah di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Saya melihat John memeluk, dan memberikan uang kepada ibunya.
Bagi John, ibunya adalah sosok yang luar biasa. Dua puluh tahun lalu, ayah John meninggalkan keluarga mereka tanpa kabar apapun. Sejak saat itu, ibunya menjadi sosok ayah sekaligus ibu untuk John dan ketiga saudaranya.
Sang ibu juga memberi makan dan menyekolahkan John serta ketiga saudaranya. ”Saya tidak pernah bisa membalas jasa ibu. Saya tidak mau durhaka dengannya. Sesibuk apapun, saya wajib bertemu, minta restu, dan memberi sedikit rezeki untuknya. Berkat doa ia pula, saya selamat hingga sekarang,” ujar John, menceritakan makna ibu dalam hidupnya.
Memulai perjalanan
Truk fuso itu kemudian terus melaju. Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batu Bara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, dan Labuhanbatu Selatan; satu persatu kami lewati.
Jangan bayangkan kami melintasi jalan-jalan lebar seperti di jalur pantai utara Jawa apalagi seperti di Tol Cikampek hingga Brebes Timur. Jalan di Lintas Timur Sumatera itu pada umumnya hanya selebar enam meter. Dengan demikian, hanya muat untuk dilintas oleh dua truk di lajur yang berlawanan arah.
Parahnya, di tepi jalan nasional itu ada banyak kawasan padat permukiman dan pusat-pusat niaga. Akibatnya, tidak jarang lebar jalan jadi menyempit. Kendaraan yang melintas pun terkadang harus menurunkan kecepatan oleh karena gangguan dari permukiman tersebut.
Tidak kalah parahnya adalah, perilaku pengemudi mobil pribadi, angkutan umum, dan sepeda motor yang seolah berlomba-lomba melanggar lalu lintas. Ada kendaraan yang parkir begitu saja di tepi jalan atau bahkan sedikit masuk ke badan jalan. Ada kendaraan yang menerabas lampu merah. Ada pula banyak sepeda motor yang melaju melawan arus.
Setengah berteriak, untuk mengalahkan deru angin dan suara klakson, saya bertanya kepada John, “Bang, apakah tiap hari jalan lintas sumatera ini kacau begini?”
John menjawab, “Tidak. Tidak tiap hari. Jalan ini kacau setiap jam”.Saya tertawa. John juga tertawa hingga tubuhnya berguncang-guncang.
”Pokoknya, kalau sudah jalan di sini, supir harus ekstra fokus. Salah-salah, kita nabrak orang,” ujar John, kali ini dengan nada suara yang kembali serius.
Jalan di negeri ini memang seolah hutan belantara. Hukum yang berlaku ya jelas hukum rimba. Persoalannya, di “hutan belantara” jalan raya, yang salah adalah yang besar. Seandainya, ada tabrakan antara truk dan sepeda motor maka kesalahan pasti ditimpakan kepada truk—kendaraan yang ukurannya lebih besar. Tidak heran bila para sopir selalu ekstra waspada.
Setelah meninggalkan wilayah Sumatera Utara, perjalanan tidak menjadi lebih baik. Dari Riau hingga Jambi, jalanannya terbilang ekstrem. Truk kami beberapa kali merayap menghadapi tanjakan terjal. Di sisi lain, saat jalan menurun maka truk harus benar-benar menjaga kecepatan agar tidak bablas. Bablas dapat berujung pada maut. Terutama karena di kanan-kiri jalan itu ada jurang-jurang yang menganga.
Perjalanan kian menegangkan ketika malam tiba. Jalan nasional itu gelap gulita tanpa lampu penerangan. Lebih-lebih saat turun hujan lebat, jalan hampir tidak tampak. John sangat kesulitan karena marka jalan telah pudar, dan tidak ada rambu penunjuk arah lain yang lebih memadai. Saya berkali-kali harus memberikan peringatan agar truk kami tidak keluar dari badan jalan.
Bahkan, karena kondisi jalan yang ekstrem, truk kami hampir tabrakan dengan mobil minibus di kawasan Siak, Riau. Ketika itu, untuk menghindari lubang yang dalam, truk kami melaju di lajur jalan yang berlawanan. Persoalannya, dari arah berlawanan itu ada minibus yang melaju kencang tanpa mau mengurangi kecepatan. Nasib baik yang kemudian menyelamatkan kami dari maut.
Ketika itu, truk kami sudah disopiri oleh Lennon (21), supir cadangan yang baru diajak John dari sebuah desa di Kabupaten Labuhanbatu, Sumut pada Jumat petang. Lennon berhasil membanting stir ke arah kiri.
“Beginilah Bang, resikonya bawa truk. Kecelakaan bisa mengancam kapan saja,” kata Lennon, yang telah dua tahun menjadi supir cadangan John. Dalam empat tahun terakhir Lennon telah menjadi sopir cadangan John.
Adapun John telah menjadi sopir dalam 10 tahun terakhir. Tiga tahun pertama dilaluinya sebagai sopir cadangan, kemudian dia “naik kelas” menjadi sopir. John pun hanya lulus SMP. Dia lalu bekerja di gudang, dan kemudian sang tauke menyuruh John untuk belajar menyetir.
Jalur neraka
Meninggalkan Jambi, truk yang saya tumpangi mulai memasuki Sumatera Selatan. Ini merupakan tantangan perjalanan yang sesungguhnya. Para sopir truk, dari pembicaraan yang saya dengar di berbagai warung, menjuluki lintas jalan di kawasan Sumatera Selatan hingga Lampung sebagai ”neraka” dari Lintas Timur Sumatera.
Dari kerusakan jalan yang saya lihat sendiri, sulit menepis julukan “neraka” itu. Lubang-lubang jalan menganga dengan kedalaman 30-60 sentimeter dan diameter yang mencapai 1-2 meter.
Ketika turun hujan, lubang-lubang itu menjadi bak kubangan. Namun saat cuaca cerah, lubang-lubang itu justru menebar debu saat dilalui. Beberapa kali, kaca jendela truk yang saya tumpangi harus ditutup rapat untuk menghindari debu.
Sialnya, saat kami menutup jendela, kabin truk yang berukuran lebar 1 meter dan panjang 2 meter itu terasa pengap. Ya, jelas saja, truk kami itu tidak dilengkapi mesin pendingin ruangan.
Akibat terdapat begitu banyak lubang maka kemudian nyaris tiada celah untuk menghindari lubang. Ketika truk dibelokkan ke kanan eh roda kiri truk kami terjerumus. Ketika truk dibelokkan ke kiri, terkadang roda kanan truk kami juga terantuk.
John kembali berseloroh. “Ini bukan lagi lubang, Bang. Kerbau saja kalau masuk ke dalam lubang, mungkin tersesat tidak bisa keluar lagi,” ujar John.Tadinya, saya mau tertawa tetapi saya terlalu mual oleh karena tubuh ini terus dikocok oleh kondisi jalan.
Premanisme
Selain “neraka” jalan berlubang, perjalanan dari Sumatera Selatan ke Lampung juga mencekam oleh karena sepinya ruas jalan itu. Kanan-kiri jalan jarang terlihat perkampungan, di sisi lain justru lebih banyak perkebunan karet, sawit, hutan, atau ilalang belaka.
Tentu saja, terkadang kami melewati perkampungan tetapi jarak antarkampung dapat mencapai puluhan kilometer. Ketika truk kami melintasi kampung bahkan pandangan warga setempat tidak bersahabat. Pandangan mereka tajam seperti ingin menerkam.
John beberapa kali mengingatkan saya agar tidak melirik warga yang melihat. ”Jangan lihat-lihat bang, nanti mereka tersinggung. Salah-salah, mereka mengejar kita, habis kita,” ujar John, khawatir. Luar biasa sebenarnya, John yang berwajah garang saja malas lihat-lihat ke arah warga.
Saya juga sempat kesal saat diberitahu John. Lha, saya ini kan wartawan bagaimana mungkin tidak lihat-lihat. Namun, ketika Lennon juga menjadi pendiam maka saya pun seolah tersihir untuk lebih banyak terdiam dan memasang wajah datar tanpa ekspresi.
Jujur saja, Sumatera Selatan hingga Lampung ternyata merupakan kawasan rawan premanisme. Sebelum memasuki Sumatera Selatan, kisah-kisah horror sudah kami dengarkan dari para sopir yang bertemu dengan kami di warung-warung makan. Menurut para sopir, preman banyak beraksi antara pukul 21.00-03.00. Mereka memanfaatkan jalan yang rusak parah, sepi, dan gelap gulita tanpa penerangan.
Sebelum bekerja di Kompas, tentu saja saya kerap naik kendaraan—meski kendaraan pribadi, dari Palembang menuju Medan maupun Lampung. Meski kerap mendengar cerita mengenai premanisme di Lintas Timur Sumatera, tidak sekali pun saya melihat atau terkena dampaknya.
Namun kali ini, setelah menumpang truk, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri kalau premanisme itu nyata. Premanisme bukan mitos, bukan pula khayalan belaka.
Ketika memasuki Kabupaten Musi Banyuasin, truk kami berhenti di depan sebuah rumah makan. John kemudian turun dari truk, dan berlari untuk menyerahkan uang sebesar Rp 10.000 kepada seorang preman yang duduk di depan warung tersebut. Uang itu pun tanpa dimasukkan amplop dan hanya dilipat-lipat. Betapa transparannya setoran untuk preman itu.
Kata John, uang itu untuk menjaga agar truknya aman saat melintasi kawasan setempat. Jika tidak dibayar maka truknya rawan dipalak, diperas, dan dirampok.
Uang Rp 10.000 tampaknya sepele tapi hitunglah berapa banyak truk yang tiap hari melintas di depan rumah makan itu. Bisa untung besar preman itu meski kita tidak tahu juga uang itu diperuntukkan untuk apa dan siapa.
Saat melintasi kawasan Sungai Lilin, Musi Banyuasin, John kembali menyetor Rp 5.000 ke kawanan preman. Kali ini, ia diminta secara langsung oleh preman yang berkedok mengatur lalu lintas di tengah jalan.
12 Jam Yang Mencekam
Memasuki sebuah kawasan di Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, John kemudian menyuruh saya dan Lennon menyimpan semua barang berharga. Dengan terburu-buru, ia mengisahkan angkernya kawasan Indralaya hingga Simpang Pematang, Kabupaten Mesuji, Lampung.
Ini bukan kawasan yang angker sembarang angker. Bukan angker oleh karena banyak makhluk halus melainkan banyak preman yang sewaktu-waktu dapat datang tanpa diundang dan tiba-tiba lenyap begitu saja.“Menakutkan,” ujar John. Makhluk halus, kata John, tidak bisa melukai tapi preman dapat saja membunuh siapapun yang melawan.
Saya pun menitipkan sejumlah barang berharga kepada John. Telepon genggam dan dompet saya, dia simpan di sebuah rongga di dalam kemudi. Sementara itu, tas, laptop, hingga kamera, disimpan John di dalam sebuah kotak rahasia yang dibelakang jok sopir.
Kotak itu dibuat John setelah dirinya, empat tahun lalu, diperas para preman hingga Rp 1 juta saat memperbaiki baut roda truknya yang patah di perbatasan Indralaya-Kayu Agung. Dengan dalih untuk uang jaga keamanan truk, John harus rela kehilangan Rp 1 juta.
Jadi, barang-barang berharga kami—terutama telepon genggam, yang biasanya tidak pernah lepas dari diri saya, selama 12 jam harus disimpan. Truk kami melintas di Indralaya, Minggu (19/2) pukul 21.00, dan baru keluar dari Pematang Panggang, Senin (20/2) sekitar pukul 09.00.
Sepanjang perjalanan, kami melaju perlahan dengan perasaan tegang. Selama 12 jam itu kami tidak banyak bicara atau bercanda. Kami hanya terdiam, dan seolah menanti tanpa kejelasan siapa yang dinanti.
Demi memastikan keselamatan kami, dan tentu saja muatan truk, John sempat meminta pengawalan kepada preman kenalannya di Pematang Panggang, Ogan Komering Ilir saat melaju hingga melintasi batas Sumatera Selatan-Lampung.
Preman itu dihubungi sebelum truk masuk kawasan Pematang Panggang. Truk kami pun menurunkan kecepatan. Namun, tidak lama kemudian, ada dua orang bersepeda motor yang menyalip truk kami. Situasinya mirip di film-film. John lebih banyak bermain dengan kode, dan “pengawal” kami pun tampaknya sudah mengerti.
Sepeda motor itu kemudian melaju pelan di depan truk kami. Mereka seolah “mengawal” kami hanya untuk melintasi kawasan Pematang Panggang. Setelah mengawal sejauh kira-kira lima kilometer selama kurang lebih 15 menit, John kemudian membayar tunai uang pengawalan sebesar Rp 30.000 dengan mengulurkan uang dari jendela truk.
Bayangkan betapa mencekamnya situasi itu. Bahkan, pengawalan terhadap kami pun dilakukan antara pukul 08.00. Ternyata, para preman itu beroperasi tanpa lagi “takut” dengan matahari. Siapa bilang preman hanya beroperasi di tengah malam?
Selepas Pematang Panggang, kami baru merasa sedikit lega. Dalam diam, saya, John, dan Lennon, masing-masing berdoa untuk mengucapkan syukur kepada Allah bahwa kami telah diberi keselamatan.
Setelah melintas di Sumatera Selatan, barulah saya merenungkan ironi dari perjumpaan dengan preman di Lintas Timur Sumatera. Bukankah Sumatera Selatan dianggap sebagai daerah paling berkembang di Sumatera?
Bukankah Sumatera Selatan akan menjadi tuan rumah Asian Games 2018? Betapa mengherankannya ketika justru terdapat “neraka” di provinsi ini. Apakah pemerintah daerah juga tidak paham dengan gangguan keamanan tersebut?
Yang sedikit melegakan, selama lima hari perjalanan, tidak sekali pun truk kami “dipalak” oleh aparat keamanan. Itu jelas benar-benar melegakan setidaknya bagi saya.
Tidak beroperasinya jembatan timbang, kata John, juga “meringankan” beban bagi sopir. Meski saya juga menyaksikan ada truk-truk yang “digiring” preman untuk masuk ke jembatan timbang hanya untuk dimintai uang.
Biasanya, truk-truk itu belum mengenal medan sehingga menganggap jembatan timbang masih beroperasi. Adapun John maupun Lennon langsung saja melintas tanpa mengubris lambaian tangan para preman yang menggiring truk untuk berbelok.
Dihibur lagu India
Ketika menaiki kabin truk fuso 6x2 buatan tahun 2013 itu, saya sempat terkejut oleh karena tidak tersedianya radio di dashboard. Saya langsung membayangkan betapa keringnya perjalanan kami tanpa hiburan, minimal tanpa suara musik dari radio.
Beruntung, Lennon mempunyai telepon pintar yang dapat memutar musik. Ia juga kebetulan mempunyai banyak stok lagu. Walau stok lagu yang disimpannya mayoritas soundtrack film Bollywood Dhadkan, yang ditayangkan untuk pertama kalinya tahun 2000.
Alhasil, lagu dari film Dhadkan diputar lebih dari 30 kali sepanjang perjalanan lebih 1.800 kilometer tersebut. Saya awalnya tidak menyukai lagu-lagu tersebut. Namun karena berulang kali mendengarnya, terutama karena tak ada pilihan lain, maka lama-lama saya dapat menikmatinya.
John dan Lennon ternyata hapal betul salah satu lagu yang setelah saya cari ternyata berjudul, ”Tum Dil Ki Dhadkan Mein”. Kenapa mereka suka lagu-lagu tersebut? Ternyata, beberapa tahun lalu, mereka menonton film Dhadkan di salah satu warung makan. Film berdurasi 2 jam 51 menit itu mengisahkan cinta segitiga antara seorang perempuan kaya, lelaki miskin, dan lelaki kaya.
Singkat cerita, kendati mencintai dengan lebih tulus ternyata sang lelaki miskin kalah bersaing dengan lelaki kaya. Keluarga perempuan kaya itu tidak merestui hubungan perempuan itu dengan lelaki miskin.
Bagi John dan Lennon, kisah cinta tersebut sangat menyentuh dan terkait erat dengan kehidupan mereka. Berasal dari keluarga yang tak mampu membuat John maupun Lennon sering kalah bersaing dalam hubungan asmara maupun karir.
Saya tiba-tiba terenyuh. Ternyata, betapa dalam makna lagu dan film itu bagi dua teman seperjalanan saya tersebut. Terlepas dari maknanya yang menyedihkan, iramanya begitu menarik dan kami bernyanyi dengan riang gembira. Saya pun kaget karena lama-lama kaki saya ikut bergoyang karena membayangkan pemain film tersebut bernyanyi sambil menari di balik pohon. India banget, deh.
Ketika bernyanyi, kami juga dapat bergoyang tanpa terlalu heboh menggoyangkan badan untuk mengikuti irama-irama lagu India itu. Kok bisa? Ya jelas saja, rusaknya jalan nasional lintas Sumatera senantiasa menggoyang badan kami. Asyik. Goyang terus.
Serba tak teratur
Hidup teratur yang dapat dijalani dalam kehidupan sehari-hari mustahil dilakukan selama naik truk ekspedisi dari Medan-Lampung. Sulit untuk mandi dua kali dalam sehari maupun makan tiga kali dalam sehari. Nyaris mustahil untuk tidur siang, dan tidur teratur saat malam hari.
Waktu sangat berharga bagi supir truk. Di sisi lain, keuangan mereka juga terbatas. Akibatnya, terkadang mereka mengorbankan rasa lelah serta makan dalam perjalanan demi tiba tepat waktu atau lebih cepat dalam perjalanan.
John juga sering berupaya lebih cepat dalam perjalanan dengan mengorbankan waktu berhenti. Suatu hari, kami makan dua kali sehari tapi besoknya bisa hanya sekali makan. Kami pun menganjal perut dengan makan gorengan atau kue yang dibeli dari pedagangan asongan.
Ketika sudah benar-benar lapar, John baru menepi untuk mencari warung makan. Ketika mampir di warung yang sederhana, kami biasanya mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk makan tiga orang dengan menu mie instan dan nasi goreng sederhana.
Namun, bila kami mampir di warung padang, biayanya bisa Rp 100.000-an untuk makan bertiga. Menunya agak lebih beragam yakni ada soto, rendang, ayam, dan ikan. Meski demikian kami lebih banyak singgah di warung gubuk reyot.
Lebih dari 50 persen biaya makan mereka juga saya yang membayar. Selain karena kasihan, saya kan juga menumpang mereka.
Jadi, kami hanya singgah delapan kali di warung makan selama melintasi lima provinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung. Di Jambi, kami hanya makan sekali dalam sehari oleh karena John memilih terus melaju.
Saat singgah di warung makan, beberapa kali, teman-teman John dan Lennon bertanya soal saya. Mereka sempat curiga karena kata mereka, saya terlalu bersih untuk ukuran seorang sopir. Lagi pula, terkadang saya bermain dengan kamera.
“Saudara jauh dari tauke dia ini. Ikut kami untuk meninjau jalan sampai Lampung,” ujar John, sambil meyakinkan mereka.
Tentu saja, sebelum ikut John, Harian Kompas telah meyakinkan sang tauke mengenai pentingnya peliputan di Lintas Timur Sumatera bagi para sopir truk dan armada logistik di Pulau Sumatera.
Meski John meyakinkan teman-teman sesama sopir bahwa saya ini saudara jauh dari tauke tetap saja mereka ramai bercerita kepada saya. Mereka memandang saya sebagai orang luar yang mungkin dianggap dapat meringankan beban mereka jadi kerap berjam-jam mereka “curhat”.
Empat Kali Mandi
Ketika singgah di warung, selain makan, kami juga punya kesempatan untuk mandi. Meski sayangnya, tidak semua warung menyediakan kamar mandi yang layak. Bila pun ada kamar mandi, biasanya berbau tidak sedap, penuh lumut, dan airnya sangat keruh. Selama lima hari perjalanan dari Sumatera Utara hingga Lampung, saya hanya mandi empat kali. Demikian pula John dan Lennon.
Mandi empat kali itu lebih baik daripada tidak mandi sama sekali. Setidaknya, saya dapat menghilangkan gatal di tubuh. Apalagi, saya hanya membawa dua baju, satu baju melekat di badan, dan satu baju cadangan. Saya tidak mau membawa lebih banyak baju karena hanya akan menambah beban bawaan. Lagi pula, saya ikut naik truk untuk meresapi kehidupan sebagai sopir truk.
Para sopir truk juga ternyata memilih jarang mandi supaya badan mereka gatal. Ketika gatal, mereka terpaksa menggaruk badan sehingga tidak mengantuk. Karena ngantuk jelas berarti maut. Mungkin, itulah salah satu kearifan sopir kita saat di perjalanan.
Andai truk kami sering berhenti, perjalanan juga semakin lama. Karena beban berat disertai kondisi jalan yang tidak semulus jalan tol, truk kami juga hanya dapat melaju dengan kecepatan maksimal 50 kilometer per jam. Tetapi, kecepatan jelajah truk rata-rata hanya 30-40 km per jam.
Meski truk melaju lambat tetap dibutuhkan konsentrasi ekstra saat melaju di Lintas Timur Sumatera. Jalan yang tidak mulus disertai berbagai gangguan membuat kerja sopir begitu melelahkan. Selama perjalanan, tiap enam jam, John dan Lennon bergantian menyetir. Bila terlalu lelah, terkadang hanya dalam tiga jam mereka sudah berganti posisi.
Demi keselamatan perjalanan kami, saya juga sering ikut memberi peringatan. Apalagi, ketika bus malam menyalip dari arah berlawanan. Di jalan nasional ini, hukum rimba berlaku dan bus malam, bus antarkota antarprovinsi adalah penguasanya karena mengangkut banyak penumpang alias banyak nyawa.
Bus AKAP dengan demikian diistimewakan. Bahkan banyak truk memilih mengalah ketika disalip dari belakang atau dari arah berlawanan. Minimal sopir truk mengangkat kaki mereka dari pedal gas untuk memberi kesempatan bus malam melaju.
Meski demikian, melihat bus malam yang melaju kencang bahkan hingga 100 kilometer per jam di Lintas Sumatera tentu merupakan godaan. Andai saja saya pindah ke bus itu, dalam hitungan jam mungkin saya sudah tiba di ibu kota provinsi terdekat.
Pola hidup yang paling terganggu tentu saja pola tidur. Bila malam hari, biasanya saya terbangun tiap tiga jam. Sementara di siang hari, saya memaksakan diri untuk sama sekali tidak tidur demi menyerap sebanyak mungkin informasi dalam perjalanan.
Selama lima hari di dalam truk, saya jelas tidur sambil duduk. Tidur sambil duduk ternyata membuat tulang belakang, dan kaki pegal. Sebenarnya, di belakang kursi sopir dan penumpang, terdapat kasur berukuran lebar 60 sentimeter dan panjang 2 meter. Namun, saya tak enak hati untuk tidur di sana. Berulangkali, John dan Lennon menawari saya tidur di kasur itu, namun berulangkali pula saya menolak. Saya merasa merekalah yang lebih berhak tidur di sana.
Selalu bersyukur
Hari Senin (20/2) pukul 19.14, truk kami tiba di Bakauheni, Lampung. Suasana gelap gulita dan muram. Saat kami tiba, hujan turun deras mengguyur kawasan di ujung selatan Pulau Sumatera itu. Berakhirlah perjalanan saya mengikuti truk ekspedisi Medan-Jakarta itu. Namun, kenangan saya selama perjalanan itu tidak akan pernah berakhir. Saya juga tetap akan menjalin tali silaturahmi dengan John dan Lennon.
Saya akan selalu ingat betapa hidup sebagai supir truk ekspedisi tidak mudah. John misalnya, dibayar Rp 2 juta untuk perjalanan Medan-Jakarta, pulang pergi. Artinya, dia hanya mengantongi uang Rp 200.000 per hari oleh karena perjalanan Medan-Jakarta, pulang pergi membutuhkan waktu 10 hari.
Adapun Lennon juga hanya dibayar Rp 800.000 untuk perjalanan Medan-Jakarta, yang artinya per hari dia hanya mengantongi upah Rp 80.000. Tentu saja, terkadang upah itu tidak sepadan dengan pengorbanan yang mereka lakukan.
Terkadang, tentu ada saja hari-hari nahas tatkala truk rusak di tengah jalan, atau preman menghadang dalam perjalanan. Ketika itu, upah mereka akan berkurang atau bahkan ludes hanya supaya truk mereka dapat dibawa kembali hingga Medan.
Saya terkadang tidak habis pikir dengan para preman itu. Betapa teganya mereka menodong para sopir atau kenek sopir yang hanya mengantongi uang Rp 80.000 per hari. Apa yang dikerjakan para preman selain hanya menebar ketakutan belaka. Apa mereka membanting tulang, menahan kantuk, atau beradu nyawa di jalan raya? Kan tidak. Mudah-mudahan, aparat keamanan dapat bekerja ekstra untuk memberantas premanisme di jalan raya.
Selama lima hari, truk kami telah menempuh perjalanan sejauh 1.800-an kilometer. Bila dihitung, kecepatan rata-rata truk ini hanya 21,6 kilometer per jam. Dengan daya tempuh yang sedemikian rendah itu, seharusnya pemerintah mempercepat solusinya. Entah itu dengan membangun lebih cepat jalan tol atau memperbaiki jalan lintas timur Sumatera ini. Tanpa upaya apapun, maka jangan harap daya saing bangsa ini meningkat.
Akhir kata, perjalanan selama 83 jam dan 14 menit menyusur lintas timur Sumatera itu menyadarkan saya, bahwa saya atau mungkin kita semua, harus lebih rajin bersyukur. Sebab terkadang, cobaan yang kita hadapi belum tentu lebih berat dari cobaan terhadap orang lain, terlebih lagi cobaan terhadap para sopir truk ekspedisi. Hormat saya bagi para sopir truk. (*)