Nasionalisme Sumber Daya
Dalam hubungannya dengan keberatan itu, tulisan ringkas berikut bertujuan untuk menyatakan dua hal. Pertama, memberikan beberapa argumen dan narasi mengapa opsi kebijakan divestasi kerap menjadi problematik. Kedua, tantangan ekonomi-politik yang mungkin akan menghadang pemerintah untuk mewujudkan opsi divestasi itu.
Divestasi dan nasionalisme sumber daya
Jika dilakukan secara sukarela, narasi keputusan divestasi oleh suatu perusahaan asing dapat dikonstruksikan sepenuhnya sebagai keputusan bisnis yang problematik. Meminjam pernyataan Laura Resmini dan Giuseppe V Marzetti (2016), tindakan divestasi oleh perusahaan asing adalah suatu dinamika keluar (exit dynamics) dari suatu wilayah operasi bisnis, sedangkan tindakan investasi adalah dinamika untuk masuk (entry dynamics).
Lebih jauh kedua penulis menyatakan, divestasi menjadi isu kontroversial karena logikanya berseberangan dengan logika investasi. Jika investasi dapat diibaratkan seperti suatu kisah penuh harapan dari suatu pernikahan, maka logika divestasi dapat disebut sebagai kisah sedih dari suatu perceraian. Bahkan, di kalangan para pelaku bisnis di pasar internasional, tindakan divestasi dipandang tak populer karena tak jarang tergambarkan sebagai suatu simbol ’’kegagalan’’ manajemen bisnis. Pandangan umum: mengapa suatu manajemen bisnis harus melepaskan hak kepemilikan sahamnya setelah menghabiskan begitu banyak modal dan waktu.
Narasi keputusan divestasi semakin problematik ketika dihadapkan dengan gagasan nasionalisme sumber daya. Didesakkan oleh negara berkembang, sejak 1960-an telah terdapat upaya di tataran internasional untuk me-norma-kan kedaulatan permanen negara terhadap sumber daya yang dimilikinya. Upaya ini misalnya tecermin melalui Resolusi PBB 1803 pada tahun 1962. Atas dasar kepentingan publik, kesejahteraan masyarakat, dan keamanan nasional, disebutkan bahwa tindakan-tindakan nasionalisasi dan penyitaan (appropriation) dapat dibenarkan. Walau resolusi tersebut juga menyebutkan bahwa kontroversi yang muncul sebagai akibat tindakan penyitaan sumber daya itu dapat dibawa ke proses arbitrase di tataran internasional.
Dilihat dari sudut pandang seperti ini, implementasi kebijakan nasionalisme sumber daya dapat dibedakan dalam dua pendekatan, yaitu radikal dan moderat. Pendekatan radikal terwujud dalam tindakan kebijakan nasionalisasi dan penyitaan (seperti yang pernah dilakukan Indonesia pada masa awal 1950-an). Sementara pendekatan moderat misalnya tampak melalui instrumen kebijakan seperti divestasi (seperti saat ini dilakukan), peningkatan pembayaran royalti yang lebih besar, pembayaran pajak yang lebih tinggi, hingga bantuan sosial untuk komunitas lokal. Kesemuanya merupakan instrumen kebijakan yang dapat digunakan oleh negara berkembang sebagai receiving countries untuk meningkatkan leverage dan posisi tawarnya vis-a-vis investor asing.
Walau dikelompokkan dalam pendekatan moderat, menurut Stephen J Kobrin (1990), tindakan divestasi tak jarang pula muncul dalam narasi yang ”dipaksakan’’ (forced divestment) atau sepihak (involuntary). Hal ini misalnya dapat muncul melalui kerangka regulasi baru yang dibuat secara resmi oleh suatu pemerintah (dalam konteks Indonesia misalnya terlihat melalui keluarnya UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009) atau bahkan mungkin melalui intervensi yang bersifat tertutup-politis. Meski demikian, perlu dipahami pula bahwa ide besar tentang nasionalisme sumber daya ini tak dapat dilepaskan dari dinamika politik-historis di tataran internasional.
Bukan ”gebyah uyah”
Lacakan secara historis menunjukkan terdapat perbedaan antara tindakan divestasi yang dipaksakan yang terjadi pada era 1960-an dan periode setelahnya. Pada era 1960-an, tindakan itu sangat dimotivasi oleh dinamika politik, misalnya karena perubahan rezim. Dalam beberapa kasus, hal ini misalnya ditemukan di Cile di bawah kepemimpinan Alende dan di beberapa negara Afrika lainnya. Namun, dalam periode setelahnya, tindakan divestasi lebih banyak digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang rasional.
Marilah kita melihat beberapa temuan dari kajian yang dilakukan Stephen J Kobrin. Analisis yang dilakukannya terhadap sekitar 511 tindakan divestasi yang dipaksakan terhadap 1.500 perusahaan di 76 negara berkembang dalam kurun waktu 1960-1976 memberikan beberapa temuan menarik. Pertama, kegiatan-kegiatan perusahaan yang bergerak di dalam bidang ekstraktif (pertambangan, perkebunan) kerap kali menjadi target yang rentan dari divestasi. Hal ini terutama terjadi jika perusahaan-perusahaan itu sangat tidak terintegrasi terhadap ekonomi nasional dan lokal suatu negara. Hal ini jugalah yang menyebabkan mengapa perusahaan-perusahaan industri manufaktur dan perdagangan lebih sedikit menjadi target divestasi yang dipaksakan itu. Mata rantainya dengan kegiatan bisnis lainnya telah menyebabkan tindakan divestasi dipaksakan itu tidak mudah dilakukan.
Kedua, divestasi akan lebih sering terjadi di bidang industri yang teknologinya tidak lagi spesifik, sudah matang, dan tersebar di pasar. Karena itu, perusahaan-perusahaan asing yang bergerak di bidang ini cenderung dipersepsikan tidak lagi membawa banyak manfaat bagi negara tuan rumah. Sebaliknya, jika perusahaan-perusahaan industri itu telah mengembangkan teknologi turunannya untuk melakukan hilirisasi industri cenderung dipandang tetap memberikan manfaat yang besar bagi ekonomi nasional.
Ketiga, industri-industri yang hampir sepenuhnya dimiliki oleh pihak asing lebih rentan untuk mengalami tindakan divestasi sepihak dibandingkan dengan usaha patungan. Perusahaan patungan dianggap lebih adaptif terhadap kebutuhan untuk melakukan penyesuaian, baik terhadap kebutuhan fiskal di tataran nasional maupun penyesuaian terhadap kebutuhan ekonomi lokal. Sebaliknya, jika suatu perusahaan sangat dikendalikan pihak asing melalui pemilikan sahamnya, keputusan bisnis kerap dipandang lebih sepenuhnya didikte atau ”disetir’’ oleh kekuatan luar.
Atas dasar tiga temuan ini, Kobrin menyimpulkan bahwa tindakan divestasi yang dipaksakan sebenarnya telah digunakan secara selektif oleh negara-negara berkembang. Ia tidak lagi digunakan dengan gebyah uyah atau secara sembrono. Keputusan divestasi sepihak dan dipaksakan itu lebih banyak didorong oleh hitungan-hitungan logis dan kepentingan ekonomi yang rasional.
Tantangan ke depan
Merujuk pada tiga temuan tersebut, kita tidak perlu terlalu khawatir terhadap sinyal yang disampaikan kepada investor asing dengan sikap kukuh kita untuk melakukan tindakan divestasi. Dalam hal ini ada tiga tantangan yang perlu dikelola pada waktu mendatang. Pertama, kita harus dapat meyakinkan para investor asing di pertambangan bahwa tindakan divestasi tidak akan dilakukan pada perusahaan asing jika teknologi yang dibawanya sangat spesifik, jika dia memiliki linkage yang kuat dengan industri lainnya melalui proses hilirisasi, dan jika dia melakukan usaha patungan yang menunjukkan kemampuan adaptasinya dengan kebutuhan fiskal nasional dan ekonomi lokal.
Kedua, menciptakan suatu mekanisme transparansi dalam proses negosiasi untuk divestasi tersebut. Pengalaman di banyak negara menunjukkan (lihat laporan Kojo Busia dan Maria Chene), renegosiasi yang tidak transparan dapat mengakibatkan semangat nasionalisme sumber daya mendapatkan nama yang buruk. Karena itu, pelibatan secara luas para pemangku kepentingan, seperti LSM pertambangan, komunitas lokal, serta akademisi, dalam proses negosiasi perlu dilakukan. Tujuannya adalah untuk menetralisasi adanya kecenderungan tabiat ketertutupan dalam setiap negosiasi di sektor pertambangan.
Ketiga, perusahaan-perusahaan tambang harus dapat diyakinkan bahwa arbitrase suatu tindakan yang riskan. Bahkan, jika dimenangi, operasi bisnis mereka di masa depan berada dalam zona yang tak nyaman karena negara kemungkinan besar tidak akan berada di pihaknya. Karena itu, harus dilakukan upaya untuk meyakinkan PT FI bahwa tindakan arbitrase adalah tindakan berisiko. Bahkan, dalam kajian Thomas W Walde (2008), jauh lebih banyak jumlah kasus sengketa investasi diselesaikan sebelum sampai ke arbitrase. Ia juga menyatakan tak ada suatu dokumen kesepakatan investasi yang tak memiliki kelemahan dan kontroversi dalam bunyi kesepakatannya.
Makmur Keliat, Pengajar Ekonomi Politik Internasional, FISIP, Universitas Indonesia