Mengapa Jerman Sukses?
JERMAN sukses dalam banyak kategori. Jerman adalah negara eksportir terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat. Dua negara ini berpenduduk jauh lebih banyak daripada Jerman yang hanya berpenduduk 81 juta jiwa. Jerman pemilik produksi domestik bruto sebesar 3,9 triliun dollar AS, terbesar keempat setelah AS, China, dan Jepang.
Jerman pemilik utang negara rendah, berbeda dari negara-negara Eropa lain yang dibelenggu utang. Di tengah negara-negara anggota Uni Eropa (UE) yang kelimbungan politik, salah satunya akibat kepahitan ekonomi, ekonomi Jerman kini sangat stabil.
Jerman kini berjaya meski terbebani sejuta imigran sejak 2015. Anggaran keuangan pemerintahan Jerman surplus dalam tiga tahun terakhir dan pada 2016 keuangan Jerman diperkirakan surplus 25 miliar dollar AS. Seantero UE rata-rata mengalami defisit anggaran pemerintah.
Berdasarkan jajak pendapat tahun 2016 yang dilakukan Wharton School, University of Pennsylvania (AS), Jerman adalah negara terbaik keempat di dunia setelah Swiss, Kanada, dan Inggris. Peringkat ini disusun berdasarkan aspek sosial, ekonomi, bisnis, dan lainnya.
Di UE, Jerman adalah pemimpin de facto. ”Jerman lebih kuat dari segala zaman, terutama di UE. Ini bukan karena Jerman memilih demikian, melainkan karena tidak ada negara lain yang mampu memimpin,” kata Sir Paul Lever, mantan Dubes Inggris untuk Jerman yang juga penulis buku Berlin Rules, seperti dikutip Paul Hockenos, seorang penulis di situs Foreign Policy edisi 27 April.
Jerman maju sebagai hasil perjuangan dan buah perombakan saat mengalami kesulitan. Sepanjang dekade 1990-an Jerman disebut mengalami ”Eurosclerosis”, julukan bagi pertumbuhan rendah. Ketika itu perekonomian AS berjaya sementara penganggur di Jerman di atas 10 persen.
Kini penganggur di Jerman hanya 2,6 juta orang atau 5,9 persen, jauh di bawah rata-rata angka pengangguran di zona euro (pengguna mata uang tunggal euro) yang mendekati 10 persen.
Ini kontras dengan periode reunifikasi Jerman, yang membebani keuangan negara. Banyak dana dari eks-Jerman Barat dialokasikan untuk membangun eks-Jerman Timur. Ini menyebabkan eks-Jerman Barat saat itu kelimpungan.
Bagaimana Jerman berhasil melewati masa sulit? Para ekonom ini: Christian Dustmann, Bernd Fitzenberger, Uta Schonberg, dan Alexandra Spitz-Oener menjelaskan itu lewat artikel berjudul ”From Sick Man of Europe to Economic Superstar: Germany’s Resurgent Economy”. Artikel ini ditulis di situs Journal of Economic Perspectives pada 2014.
Tulisan itu jadi dasar bagi media AS, seperti Bloomberg, edisi 19 April 2017 untuk menuliskan alasan kehebatan Jerman sekarang. Bahan serupa juga muncul di situs Harvard Business Review edisi 13 April berjudul ”The Real Reason the German Labor Market Is Booming” oleh Alexandra Spitz-Oener.
Perombakan pasar tenaga kerja
Disebutkan, pada dekade 1990-an, Jerman melakukan perombakan pasar ketenagakerjaan. Para analis ketika itu menyebutkan sistem ketenagakerjaan di Jerman sangat kaku. Kisahnya, pada dekade 1990-an, para pekerja disadarkan akan keadaan sulit dan bersedia fleksibel, antara lain bersedia menerima gaji yang menurun. Para pekerja memahami bahwa demi negara harus ada pengorbanan diri.
Mengapa ini bisa terjadi? Ini terkait erat dengan kejatuhan tembok Berlin pada tahun 1989, yang mengakibatkan beban keuangan negara meningkat dramatis. Ini mengarah pada kekacauan perekonomian. Akan tetapi, hal ini juga memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan mendapatkan akses atas para pekerja dari negara-negara yang selama ini terkungkung dan siap menerima upah murah.
Hal itu mengubah secara dramatis keseimbangan antara karyawan dan perusahaan. Serikat-serikat pekerja yang kuat dipaksa merespons pada realitas baru dan bersedia fleksibel. Ketika itu kesediaan para pekerja ini di luar perkiraan banyak kalangan.
Jerman melakukan desentralisasi soal penentuan upah sepanjang dekade 1990. Walau para buruh bersedia pada penurunan upah, tetapi mereka tidak mengabaikan produktivitas.
Ketika itu para warga Jerman juga disadarkan bahwa era sedang berubah. Di samping beban reunifikasi juga ada persaingan ekonomi dari negara-negara berkembang Asia, terutama China dan juga dari Eropa Timur.
Saat negara-negara Eropa dan AS tak menyadari ini, Jerman sudah melakukan antisipasi. Reformasi ketenagakerjaan disebutkan merupakan hal mendasar yang mengubah peruntungan ekonomi Jerman. Saat para pekerja di Eropa dan AS dibuai perlindungan kaku berupa peraturan pemerintah, Jerman menghilangkan total perlindungan kaku.
”Christian Dustmann, Bernd Fitzenberger, Uta Schönberg, dan saya yakin bahwa kebijakan pemerintah pusat sebenarnya bukan alasan utama kehebatan jerman. Sejak 1995 Jerman sudah lebih kompetitif daripada negara-negara maju,” kata Alexandra Spitz-Oener. Ini berkat reformasi ketenagakerjaan.
Reformasi ketenagakerjaan dekade 1990-an dilanjutkan dengan reformasi ”Hartz” pada era Kanselir Gerard Schroeder pada tahun 2003. Kata ”Hartz” menggambarkan reformasi mendasar dan berat karena mengurangi jaminan sosial untuk para penganggur dengan tujuan agar mereka mencari pekerjaan.
Saat bersamaan, badan-badan pemerintah beralih peran dengan memberi jasa, termasuk memberi pelatihan ketenagakerjaan.
Hubungan industrial juga bersifat otonomi, tidak ditentukan oleh pemerintah pusat, bahkan pemerintah tidak melakukan intervensi. Ada tripartit ketenagaan kerja, yakni pengusaha, buruh dan dewan pekerja, yang bersedia berembuk.
Di Jerman, upah buruh, jam kerja, dan aspek lain kondisi pekerjaan diputuskan oleh asosiasi pengusaha, serikat pekerja, dan dewan ketenagakerjaan (gabungan serikat-serikat pekerja mewakili pekerja saat berhadapan dengan perusahaan).
Sejak 1995, posisi daya saing Jerman membaik sementara daya saing mitra dagang, seperti Spanyol, Italia, dan Perancis, tetap seperti posisi tahun 1995. ”Penelitian kami menunjukkan perubahan dalam kontrak kerja menjadi dasar utama perbaikan daya saing industri di Jerman,” kata Alexandra Spitz-Oener.
”Saya kira hal ini perlu ditiru negara-negara Eropa lainnya. Dan sudah sering terdengar bahwa Benua Eropa seharusnya mengadopsi reformasi Hartz,” kata Spitz-Oener.
Penelitian lain menunjukkan, produk Jerman dijual di pasar Uni Eropa yang terintegrasi. Hal ini dikombinasikan output berharga relatif murah berkat penggunaan input murah dari impor eks-Eropa Timur, seperti Polandia, Hongaria, Ceko, Slowakia. Jerman juga diuntungkan dengan pemindahan investasi di Eropa Timur, yang meniru hubungan industrial di Jerman.
Paham dengan kualitas
Tentu secara budaya, Jerman dikenal penghasil produk ternama dunia. Aspek lain adalah Jerman merupakan negara yang paham apa yang terbaik untuk mereka sendiri. Ini disebut sebagai ”besserwisserei” dan orang Jerman mengatakan itu sebagai sikap tradisional mereka.
Ini ada kaitannya dengan kekalahan PD II. Selama periode 1949–1990 Jerman menjadi subordinasi aliansi Barat. Jerman sudah terbiasa berserah soal kekuasaan. Di sisi lain, Jerman menilai adalah penting untuk bersatu di dalam Uni Eropa dengan arahan dari Perancis lewat Uni Eropa.
Kini Jerman sukses dan membuat warga merasa bangga. Konsekuensinya, Jerman juga disebut ”arogan”. Filsuf Wolfram Eilenberger membantah, ”Bahkan ketika Jerman berbaik hati dengan menerima begitu banyak pengungsi, Jerman juga dituduh arogan dan bersikap sepihak. Jerman baru adalah Jerman yang toleran dan tidak agresif,” kata Eilenberger.
Kini tuduhan muncul dari Presiden AS Donald Trump bahwa Jerman melakukan manipulasi kurs dalam perdagangan. Menkeu Jerman Wolfgang Schauble pada 30 April mengatakan itu tuduhan omong kosong. “Surplus perdagangan Jerman adalah hasil mekanisme pasar yang diputuskan di tingkat perusahaan,” katanya.
Menteri Perekonomian Jerman Brigitte Zypries mengatakan pemerintahannya tidak bisa memengaruhi arus ekspor Jerman, termasuk ke AS. Jerman memiliki surplus perdagangan 271 miliar dollar AS pada 2016 terhadap AS. ”Produk kami adalah buah dari kerja keras dan efisiensi,” kata Zypries.
(REUTERS/AP/AFP)