Dunia Pendidikan Harus Mampu Mengantisipasi
JAKARTA, KOMPAS – Dunia pendidikan harus mampu mengantisipasi tuntutan kompetensi baru yang muncul akibat perubahan besar dalam teknologi informasi dan komunikasi serta globalisasi. Karena itu, pendidikan pun harus mampu memperkuat soft skill peserta didik agar mampu bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan, termasuk dengan munculnya peluang profesi baru dalam dunia kerja.
Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami, di Jakarta, Rabu (4/5), mengatakan, pendidikan tidak semata soal menguasai bidang ilmu. Pendidikan bertujuan membuat setiap individu dapat bertahan hidup dengan memiliki pekerjaan yang berkualitas sehingga seseorang sejatinya butuh dibekali kemampuan analisis dan berpikir kritis serta berbagai soft skill lainnya.
”Kecerdasan akademik tetap dibutuhkan dengan memberikan pendidikan berkualitas. Namun, tidak kalah penting memperkuat kompetensi soft skills, terutama kemampuan menganalisis, berpikir kritis untuk dapat mengambil keputusan secara tepat, termasuk bekerja dalam tim,” kata Amich.
Antisipasi perubahan
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Intan Ahmad mengatakan, pihaknya mengembangkan program general education yang diujicobakan di sejumlah perguruan tinggi. Program ini untuk melengkapi mahasiswa di perguruan tinggi dengan soft skill yang dibutuhkan dunia kerja.
”Mahasiswa menjadi lebih siap mengantisipasi perubahan dengan dibekali hal penting yang membuat mereka mampu berdaya saing dan beradaptasi pada perubahan. Di kampus, pembelajaran dikembangkan pula dengan memperkuat kemampuan bahasa asing, berpikir kritis, analisis, kepemimpinan, bekerja sama, dan kewirausahaan,” ujar Intan.
Termasuk pula, kata Intan, anak-anak muda semakin didorong untuk memilih bidang sains dan teknologi yang akan makin dibutuhkan di masa depan. Demikian juga pilihan kuliah di politeknik yang dianggap kelas dua akan semakin dibenahi. Sebab, program studi di politeknik dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja sehingga lulusan bisa tetap terserap lapangan kerja.
”Program magang pun akan dikembangkan untuk membuat mahasiswa tertempa tentang dunia kerja dan juga menyiapkan kompetensi yang dibutuhkan seusai kerja nanti,” ujar Intan.
Direktur Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Mustaghfirin Amin menambahkan, kurikulum di SMK dibuat lebih fleksibel. Tujuannya agar mudah merespons perubahan dalam dunia kerja.
Selain itu, ujar Mustaghfirin, program keahlian di SMK terus dievalusi. ”Yang sudah jenuh atau oversupply akan ditutup, termasuk yang pekerjaan tergerus zaman, seperti program perkantoran akan dibatasi. Sebab banyak tugas yang sudah bisa dikerjakan oleh sistem komputer,” kata Mustaghfirin.
Untuk membuat lulusan pendidikan menengah ataupun tinggi mampu beradaptasi, harus dipastikan relevansi pendidikan dengan kehidupan dan dunia kerja yang semakin kuat. Sebab, relevansi pendidikan dengan kehidupan dan dunia kerja dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi bangsa yang semakin tinggi belum sepenuhnya tersambung saat ini.
Masalah ini utamanya karena pendidikan bergerak dari sisi penyediaan semata tanpa punya gambaran dan arah dengan kebutuhan permintaan yang ada dalam dunia kerja dan pembangunan bangsa.
Masih berbasis input
Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, masalah utama dalam pendidikan tinggi di Indonesia adalah terlalu menggunakan pola pendidikan berbasis input. Padahal, mengacu pada standar internasional, sudah harus bergeser berbasis pada outcome base.
”Kita terus berjuang di sini untuk mendapatkan pengakuan internasional. Jadi, perlu perubahan standar pendidikan tinggi dari input base menjadi outcome base. Kalau itu sudah kita tempuh, baru kita diakui internasional. Perubahan ini bukan sekadar mengubah aturan kurikulum,” ujar Satryo.
Menurut Satryo, upaya untuk memperkuat relevansi dengan penyesuaian suplai masih terkendala pada sisi permintaan. Selain belum jelas data kebutuhan dari segi jumlah dan jenis ahli yang dibutuhkan, juga terkendala pada pengembangan industri di dalam negeri. Belum terlihat jelas rancangan induk industri yang bakal tumbuh di daerah dan tingkat nasional.
”Orang yang mau kerja dalam bidang teknik jadi kehilangan minat. Sekolahnya sulit dan mahal, tapi ketika kerja peluangnya sedikit. Apalagi ternyata lulusan teknik di Indonesia belum diakui secara internasional,”ujar Satryo.
Amich mengatakan, memaknai relevansi pendidikan, terutama pendidikan tinggi, merupakan ukuran yang paling dekat soal pekerjaan. Seberapa lama lulusan bisa masuk dalam pasar kerja yang sesuai bidangnya
”Namun, relevansi perlu juga dimaknai secara baru. Sebab, banyak lulusan yang bekerja di bidang lain. Namun, karena punya soft competency yang bagus, kreativitas, dan daya analisis dan kritis yang bagus, bisa masuk bidang kerja lain. Jadi, sepanjang lulusan masuk di dunia kerja dan dia berkontribusi terhadap pengembangan masyarakat terhadap perekonomian, sesungguhnya tidak relevan kita mengatakan bahwa yang bersangkutan itu salah jurusan, atau salah bidang kerja, salah ranah,” ujar Amich.
Satryo mengatakan, dari kajian di lapangan soal lulusan SMA dan SMK, misalnya, ternyata perusahaan lebih suka memilih lulusan SMA. Sebab, mereka dinilai lebih punya kemampuan menganalisis. Hal ini bisa dipahami karena di SMA, input siswa lebih baik dibandingkan SMK.
Keluhan soal lemahnya soft skill ini memang paling mencolok dalam kaitannya dengan kebutuhan perusahaan. Di samping itu, hard skill atau keterampilan kerasnya juga harus dioptimalkan. Kemampuan soft skill yang diinginkan perusahaan adalah soal kemampuan membaca, menulis, etos kerja, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan bekerja dalam tim.
”Sudah lama isu soal lulusan perguruan tinggi ataupun riset yang dilakukan tidak sejalan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Karena itu, masalah relevansi pendidikan tinggi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi harus mulai dikerjakan bersama-sama,” kata Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan ,Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Patdono Suwignjo di Jakarta.
Peningkatan relevansi PT dengan dunia usaha dan industri, ujar Patdono, harus terus diperjuangkan lewat kerja sama dan sinergi. Masyarakat dan dunia usaha harus terus diedukasi untuk tidak ”tergila-gila” pada gelar semata, tetapi menghargai kompetensi seseorang.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, hingga saat ini belum ada rencana induk sumber daya manusia dalam bidang iptek dan dikti yang dapat menjadi acuan bersama mewujudkan relevansi PT dengan dunia kerja di Indonesia. ”Kami baru menyiapkan untuk tiga profesi di bidang kependidikan, keinsinyuran, dan kesehatan. Itu pun tidak mudah. Ke depan kita harapkan bisa lebih lengkap lagi dan komprehensif,” ujar Ghufron.
Menurut Ghufron, dengan adanya rencana induk dalam tiga bidang dapat terlihat apakah jumlah dan kualitas SDM yang dibutuhkan cukup atau kurang. Berdasarkan data ini, bisa didesain pemenuhannya di perguruan tinggi.
”Mahasiswa keteknikan jumlahnya sekitar 16 persen dari total mahasiswa. Lulusan yang bekerja di di bidang keteknikan hanya 46 persen, sisanya di bidang lain,” kata Ghufron.
Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Hargo Utomo yang dihubungi terpisah, berpendapat, pemerintah perlu memperhatikan kondisi pendidikan di tengah tren digital. Permintaan tenaga kerja teknologi yang terampil tidak sebanding dengan suplai.
"Di berbagai industri sudah memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan. Lulusan perguruan tinggi Indonesia belum cukup untuk memenuhi permintaan industri. Di sisi lain, institusi perguruan tinggi dituntut terus membarui kurikulum agar sesuai tren inovasi digital," kata dia. (ELN/MED)