CINTA dan keadilan sesekali perlu digugat. Dua keluarga dramawan menghadirkan gugatan tersebut dalam Festival Teater Cirebon 3 di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (11/4). Yang satu bertanya ”Masih adakah cinta di antara kita?” sedangkan lainnya hanya berucap Oh tentang peradilan negeri ini.
Gugatan tentang cinta malam itu tergambar dalam pentas teater Tanda Cinta dari Teater Koma di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang, Cirebon. Cerita dibuka dengan percakapan harian sepasang suami-istri, yakni Nano Riantiarno dengan Ratna Riantiarno (yang aslinya memang suami-istri). Dua kursi kayu dan sebuah meja kecil menemani keduanya.
”Hari apa ini?” Tanya Nano kepada sang istri. ”Hari Senin, sama seperti hari-hari sebelumnya,” jawab Ratna.
”Ah, sama saja. Tidak ada yang beda. Di koran, hanya ada berita kegaduhan politik. Hari ini, demonstrasi apa lagi? Siapa menjegal siapa dengan mengatasnamakan rakyat, tetapi rakyat kebanjiran. Harga perkara berapa?” lanjut sang suami yang tiba-tiba kebelet buang air kecil.
Masih adakah cinta di antara kita
”Hussh… kata-kata seharusnya suci,” kata Ratna menjeda. Berkomunikasi dengan lebih dari 100 penonton, termasuk Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar, Ratna menyampaikan bahwa suaminya selalu ingin kencing saat berbicara soal kekuasaan. Tampak bahwa Nano pesimistis dengan kondisi bangsa, sedangkan Ratna tidak.
Perdebatan sontak terhenti saat Nano bertanya kepada istrinya. ”Masih adakah cinta di antara kita?” Tak ada jawaban dari Ratna. Pertanyaan pamungkas itu selalu hadir dalam setiap percakapan keduanya. Namun, sama sekali tak ada jawaban atasnya.
Hari berganti, begitu pun tahun. Sampai suara Nano dan Ratna parau dan rambut mereka memutih, pertanyaan tentang cinta itu selalu ada. Nano mencari jawaban itu di gelap malam dan terang siang. Namun, nihil.
Hingga suatu ketika, sang suami mulai tersadar. Jawaban atas pertanyaan ”Masih adakah cinta di antara kita?” tidak perlu dicari jauh-jauh. Jawaban itu ada pada Ratna. Istri yang setia menemaninya sampai usia senja adalah sumber jawabannya.
Meskipun Tanda Cinta berlatar kisah sepasang suami istri, pentas tersebut juga relevan dengan kondisi bangsa yang saat ini didera kebencian baik di media sosial maupun kehidupan nyata. Ucapan Ratna bahwa kata-kata seharusnya suci menggambarkan kata tidak patut digunakan untuk menebar kebencian.
Tengoklah bagaimana netizen menggunakan kata-kata untuk saling menyerang dalam konteks Pilkada DKI Jakarta. Ketika keadaan runyam seperti ini, cobalah renungkan pertanyaan, “Masih adakah cinta di antara kita?”
Tanda Cinta kali pertama dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 27-29 Juli 2005 untuk memeringati pernikahan keduanya yang menginjak 27 tahun saat itu. Karya Nano yang juga kelahiran Cirebon ini kembali untuk pertama kali dipentaskan di Cirebon 12 tahun kemudian.
Saya bukan pengacara yang memperdagangkan perkara
OH…
Putu Wijaya bersama istri, Dewi Putu, dan anaknya, Taksu Wijaya juga menghadirkan gugatan soal keadilan malam itu. Hanya ditemani tiga kursi, cerutu, bunga, dan sebuah meja, mereka menghadirkan pentas yang tak sederhana di atas panggung.
Dikisahkan, seorang pengacara muda (Taksu) yang ambisius datang menemui pengacara sekaligus maestro hukum (Putu Wijaya) yang juga merupakan ayahnya. Sang maestro telah sepuh dan sakit-sakitan, hanya duduk diam di atas kursi roda dengan penjagaan ketat oleh suster (Dewi).
Dalam pertemuan itu, Taksu membeberkan seberapa hebat dan idealis dirinya. Ia selalu menegakkan keadilan dengan membasmi para penjahat. “Saya bukan pengacara yang memperdagangkan perkara,” ucapnya kepada Putu, yang hanya diam.
Hingga suatu saat, ia mendapatkan tawaran dari negara untuk membela seorang penjahat bejat yang seharusnya dihukum mati dua kali. Ia menegaskan kepada ayahnya, bahwa tawaran itu ditolak. Tidak ada yang bisa membelinya.
“Hmmmm…hmmmmm…,” ucap Putu menggeram. Rupanya, Putu tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sang anak.
“Apa? Kamu telah mengetahuinya? Iya..iya…aku telah menerima tawaran itu. Jangan dulu bahas kebenaran, tetapi bagaimana aku profesional. Aku tidak boleh menolak tawaran klienku,” ujar Taksu sembari menghamburkan uang.
Akan tetapi, sikapnya membuatnya terbunuh oleh kemarahan rakyat akibat bebasnya sang penjahat. Putu hanya bisa terisak dan merusak bunga pemberian anaknya. Sang suster pun terdiam.
Pentas berjudul Oh, karya Putu, tersebut sedikit banyak menggambarkan kondisi peradilan di negeri ini. Seorang penjahat bejat sekalipun masih bisa bebas. “Masalah peradilan sekarang semakin kompleks dan panas,” ucap Putu, yang malam itu berulang tahun ke-73.
Meskipun Putu sakit di bagian otak, yang kemudian melumpuhkan sebagian motoriknya sejak 2012, ia tak pernah berhenti menggugat lewat teater. Setahun lalu, di tempat yang sama, dengan berkursi roda, ia bermonolog tentang makna merdeka.
Dua pentas oleh keluarga dramawan malam itu boleh jadi menutup Festival Teater Cirebon ke-3. Akan tetapi, semangat berteater anak muda Cirebon terus meninggi. Apalagi, FTC3 kali ini diikuti oleh 16 kelompok teater yang tersebar dari Bandung, Madura, Palangkaraya, Palu, hingga Aceh.
”Pentas ini adalah apresiasi di bidang teater dari sejumlah daerah. Jika teater mati, gugatan-gugatan juga tiada,” ujar Ade Bedul, penyelenggara.
Deddy Mizwar mengapresiasi FTC3 yang dinilai membangkitkan dunia teater di Jabar khususnya Cirebon. Namun, ia mengakui, saat ini belum ada gedung pertunjukan di Jabar yang memadai untuk pergelaran. ”Kami akan membangun gedung pusat kesenian di Bandung. Nanti bisa berteater di sana. Kalau di sini (Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang) di depannya gelap. Ini tempat jin buang anak,” ujarnya.