Menyusuri Jalan Sepucuk-Cengal, Sepenggal ”Neraka” di Sumatera Selatan
Sebuah foto jalan rusak di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, saya terima Minggu (23/4/2017) dari Kepala Desk Nusantara Kompas Banu Astono. Dia menugaskan saya untuk menelusurinya meski saya langsung bertanya dalam hati, ”Benarkah ada jalan sehancur itu di Sumatera Selatan?”
Foto jalan itu jujur saja sangat mengerikan. Jalan itu penuh lubang, dipenuhi air sekaligus lumpur. Bahkan, terlihat dalam foto itu ada mobil yang tenggelam. Saya pun kembali bertanya di dalam hati, ”Apakah mungkin di Sumatera Selatan ada jalan serusak itu?”
Tentu saja, di Indonesia ada ruas jalan yang rusak. Namun, persepsi umum kita adalah jalan rusak lebih banyak berlokasi di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Setelah saya ”berselancar” di Facebook, Instagram, dan Google, baru kemudian saya menemukan foto lain dari jalan rusak itu. Ternyata ada jalan serusak itu di Sumatera Selatan.
Meski demikian, saya masih kesulitan mendapatkan lokasi detial dari jalan itu. Ada informasi yang menyebutkan di Sepucuk, ada yang mengatakan di Cengal, dan ada pula yang bersikeras di Tulung Selapan. Tiga lokasi itu ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Yang membingungkan, ada pula informasi yang mengatakan, jalan rusak parah di Sumatera Selatan terdapat di kawasan Lubai, Kabupaten Muaraenim, maupun di kawasan Rambutan, Kabupaten Banyuasin.
Saya kembali menelusuri media sosial. Saya mengubek-ubek media sosial, terutama Facebook untuk mencari orang pertama yang mengunggah foto tersebut. Akhirnya saya menemukan identitas pertama pengunggah foto itu. Dia adalah Indra Gunawan, warga Desa Cengal, Kecamatan Cengal, OKI. Dari Indra, saya mendapatkan informasi yang jelas. Ternyata lokasi jalan rusak itu ada di Kecamatan Padamaran Timur, Kecamatan Sungai Menang, hingga Cengal.
Setelah mendapatkan informasi, saya berdiskusi dengan Rudi Yanto, dari Bagian Rumah Tangga Kompas Palembang. Saya meminta bantuan Oom Rudi―begitu saya menyapa Rudi Yanto—untuk menemani saya meliput ke lokasi jalan rusak itu.
Kebetulan, saya baru saja keluar dari rumah sakit dua minggu sebelumnya. Saya masih dalam masa pemulihan setelah menjalani operasi pengangkatan pen patah tulang bahu yang saya alami 1 tahun 3 bulan lalu di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Selama masa pemulihan, saya dilarang mengangkat benda berat di bahu dan beraktivitas terlalu berlebihan. Untuk itu, saya perlu bantuan Oom Rudi untuk menemani saya dan mengendarai kendaraan hingga lokasi jalan rusak.
Oom Rudi ternyata bersedia membantu saya. Namun, ia meminta saya mencari mobil 4 WD atau mobil gardan ganda untuk menembus jalan rusak itu. Kantor Kompas di Palembang kebetulan tidak mempunyai mobil gardan ganda.
Ditolak sepuluh ”Rental” Mobil
Saya dan Oom Rudi kemudian sama-sama menghubungi sejumlah pemilik rental mobil di Palembang. Namun, ada 10 rental mobil yang menolak kami. Padahal, semua rental mobil itu memiliki mobil gardan ganda. Mobil Mitsubishi Pajero, misalnya, mereka sewa dengan tarif sekitar Rp 1,5 juta per hari, sedangkan Toyota Hilux bertarif Rp 1,1 juta per hari.
Awalnya, semua pemilik rental bersedia menyewakan mobil gardan gandanya itu. Namun, dia seketika membatalkan niatnya saat mengetahui tujuan kami. ”Maaf nian, kalu ke Sepucuk sampai Cengal, aku dak galak kasih. Hancur mobil aku kalu ke sano. Aku sudah pernah nyewoke mobil aku dengan pegawai perusahaan di sano. Baleknyo, mobil aku rusak parah. Dak balik modal aku kalu nyewoke mobil ke sano,” ujar Taufik Mustafa (50), salah seorang pemilik rental mobil.
Ternyata, di kalangan pemilik mobil rental, ruas jalan Sepucuk hingga Cengal sudah lama dikenal. ”Jalan Sepucuk-Cengal itu bukan jalan, Pak. Itu sudah kubangan dan sungai. Lubang di mana-mana. Mobil masuk sano samo bae bunuh diri, Pak,” ujar Cahaya (50), salah seorang pemilik rental mobil lain di Palembang.
Setelah tak ada satu pun rental mobil yang bersedia, Oom Rudi menyarankan untuk menelusuri jalan tersebut dengan motor trail. Persoalannya, sulit mencari penyewaan sepeda motor di Palembang, terutama motor trail. Kebanyakan motor trail dimiliki secara pribadi dan tidak disewakan.
Namun, Oom Rudi ternyata mempunyai motor trail meski sudah lama tidak digunakan. Sepeda motor itu harus diperbaiki terlebih dahulu, seperti mengganti ban bergerigi, ganti busi, ganti aki, dan ganti oli.
Senin (24/4), saya dan Oom Rudi sibuk mempersiapkan perjalanan. Saya fokus membeli perlengkapan, seperti sepatu bot untuk melalui jalan berair dan berlumpur. Sementara itu, Oom Rudi seharian memperbaiki sepeda motor trail-nya.
Kami pun bergegas ke kawasan OKI pada Selasa (25/4) sekitar pukul 09.00. Motor trail Oom Rudi pun sebelumnya kami masukkan ke dalam mobil Kijang operasional Kompas.
Memulai petualangan
Sekitar pukul 12.30, kami telah melewati Kayuagung menuju Sepucuk. Ruas jalan dari Kayuagung hingga Sepucuk pun sudah rusak parah. Jalannya hanya tanah merah. Beruntung jalan itu sudah ditutupi pasir batu sehingga lebih keras dan tidak terlalu berlumpur saat hujan.
Setibanya di kawasan Sepucuk, kami mencari rumah warga untuk menitipkan mobil kantor. Namun, di kawasan itu jarang ada rumah warga. Yang terlihat hanya rawa gambut, kebun sawit, dan kebun karet. Beruntung di Arang Stambun, Padamaran Kota, kami menemukan rumah warga di sela-sela perkebunan karet. Kami pun bertemu dengan Puddin (50), sang pemilik rumah.
Ternyata, Pak Puddin menyambut niat kami untuk meliput jalan rusak itu. Akibat jalan rusak, usaha warung makan Pak Puddin ikut terpukul. ”Lah setahun lalu, aku tutup kareno dak katek pelanggan yang lewat lagi,” katanya.
Pak Puddin harus diakui adalah sosok yang sangat baik dan ramah. Saya tidak menyangka. Padahal, sudah rahasia umum di Sumatera Selatan bahwa penduduk OKI terbilang ”keras”. Sekali lagi, ini bukan pernyataan dari saya, melainkan sudah menjadi persepsi umum.
Setelah mobil Kompas diparkir di sela-sela pepohonan karet milik Pak Puddin, Oom Rudi dibantu anak mantu Pak Puddin menurunkan motor trail. Saya kemudian menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa, seperti kamera, buku catatan, jas hujan, dan sepatu bot.
Sekitar pukul 13.45, saya dan Oom Rudi pun memulai petualangan dengan penuh semangat.
Perjalanan dari kawasan Sepucuk hingga Cengal jelas bukan perjalanan biasa. Perjalanan ini penuh dengan tantangan dan memicu adrenalin. Sejak awal perjalanan di kawasan Sepucuk, kami sudah dihadapkan dengan jalan yang tergenang air hingga sedalam 2 meter. Lubang sedalam itu tak lagi sekadar lubang, tetapi sudah mirip kedalaman sungai atau kolam renang!
Mobil, apalagi sepeda motor, jelas tak bisa lewat. Kami akhirnya menggunakan jasa perahu berukuran panjang 10 meter dan lebar 1 meter. Ongkos naik perahu senilai Rp 10.000 per orang dan Rp 15.000 per sepeda motor untuk menyeberang sejauh 100 meter.
Perahu itu kecil tetapi dapat memuat 5 orang dengan 5 sepeda motor. Perahu yang padat itu terus bergoyang ketika berjalan. Dan, cukup mengerikan, karena kami menyeberangi air hitam pekat khas air rawa gambut dengan tanah berlumpur sebagai dasarnya.
Kami juga dihadapkan dengan satu lagi genangan air berkedalaman sekitar 1,5 meter dan panjang 50 meter. Meski kali ini tidak ada jasa perahu, kami harus nekat melintasi genangan itu. Genangan air itu jelas lebih dari separuh badan orang dewasa. Beruntung sekali kami naik motor trail karena saya melihat sendiri ada banyak motor ”bebek” yang ”tumbang”.
Setelah melewati genangan tersebut, perjalanan kami lanjutkan. Meski sebagian besar perjalanan harus melintasi ruas jalan yang berlumpur merah dan sangat licin. Jalan itu apabila diinjak, kami langsung ambles dan seolah tersedot.
Hanya motor berbadan tinggi dengan ban bergerigi yang mampu bertahan. Saya juga lagi-lagi menjadi saksi dari pengendara sepeda motor bebek yang mati-matian berusaha mendorong dan mengangkat sepeda motornya agar tak terjerembab.
Salah satu titik kerusakan jalan terparah ada di Desa Sidomulyo, Kecamatan Sungai Menang, OKI. Sekitar pukul 18.00, saat kami melintasi daerah itu, kami melihat ada dua truk pembawa karet yang terjerembab. Sopir dan kernetnya mati-matian mengeraskan jalan dengan kayu agar truknya lolos. Sementara itu, 14 truk lainnya harus mengantre panjang selama menunggu dua truk itu dapat mengevakuasi diri mereka sendiri.
Menurut pengakuan sejumlah sopir truk, apabila ruas Jalan Cengal-Sepucuk (sekitar 100 kilometer) dalam kondisi baik, waktu tempuhnya hanya 3-4 jam. Namun, saat musim hujan, waktu tempuhnya dapat melonjak menjadi tujuh hari plus menginap berhari-hari di tengah jalan. Waduh, betapa lamanya seolah-olah sama seperti perjalanan dari Aceh hingga Jakarta sejauh 1.600-an kilometer.
Perjalanan bahkan menjadi menegangkan oleh karena mayoritas kawasan yang dilewati berupa hutan karet dan kebun sawit. Tidak banyak permukiman yang kami jumpai. Kami juga sempat khawatir apabila sepeda motor trail kami bermasalah, seperti pecah ban atau kehabisan bensin. Kalau itu terjadi, jarak antarkampung yang berjauhan akan menjadi masalah. Semakin parah lagi, sinyal terkadang hilang ketika berada di tengah hutan karet atau sawit itu.
Karena kami berangkat selepas tengah hari, kami sempat merasakan perjalanan pada malam hari. Ketika kondisi jalan saja buruk, jelas perjalanan itu dilalui tanpa lampu penerangan. Kami hanya mengandalkan cahaya dari lampu sepeda motor. Beberapa kali kami kebingungan menentukan arah jalan, terutama saat berada di tengah kebun karet yang jalan utamanya lumpuh akibat penuh lumpur. Beberapa kali, kami menunggu warga yang melintas untuk menanyakan jalan.
Tubuh kami, sepanjang perjalanan itu terasa remuk redam, terutama karena sepeda motor kami tidak dapat melaju dengan kecepatan konstan karena jalan dipenuhi lubang. Laju motor juga tidak mulus karena kami menggunakan ban bergerigi.
Badan kami juga pegal karena harus menggendong tas berat di masing-masing badan. Saya lebih menderita lagi karena memakai tas selempang untuk tidak menaruh beban berlebih di bahu sebelah kiri yang baru saja dioperasi. Akibatnya, bahu sebelah kanan saya yang menopang tas selempang terasa amat pegal. Berulang kali saya mencari posisi nyaman, tapi tak pernah bisa.
Jalan tak berujung
Tidak hanya tubuh, pikiran kami juga lelah. Perjalanan kami juga seolah perjalanan tak berujung. Saya dan Oom Rudi selalu bertanya kapan tiba di tujuan. Kami benar-benar tidak tahu kapan karena baru kali ini melintas di ruas jalan ini. ”Ini benar-benar daerah antah-berantah, entah kito nih lah ado di mano sekarang, rasonyo dak sampe-sampe,” ujar Oom Rudi, gundah.
Bagi manusia yang hidup di dunia moderen, kondisi tanpa informasi jelas membuat stres. Karena di kota-kota besar, misalnya, dengan mudah kita dapat membuka Google Map atau Waze untuk mengetahui posisi kita, dan memprediksi sisa waktu tempuh. Di ruas jalan ini, sinyal pun timbul tenggelam.
Kami semakin stres karena jawaban warga yang kami tanya tidak pernah jelas. Setidaknya, lima kali kami bertanya kepada warga, berapa lama lagi perjalanan hingga mencapai Cengal, dan mereka selalu menjawab, ”Tinggal dua jam”. Namun, Cengal tidak kunjung kami raih.
Syukurlah, ketika tiba di Desa SP 1, Sungai Menang, seorang warga mengatakan, perjalanan kami tinggal 1 jam. Kami langsung tersenyum. ”Akhirnyo, bekurang pulo waktu sampai kito. Kalu duo jam terus, artinyo kita dak bakal sampe-sampe,” ujar Oom Rudi, yang saya sambut dengan tertawa lepas.
Satu jam melaju, kami bertemu warga lain dan diberi tahu perjalanan tinggal setengah jam. Kami semakin lega karena hari semakin malam. ”Nah, akhirnyo ado kemungkinan sampai jugo kito,” kata Oom Rudi.
Desa Cengal akhirnya berhasil kami capai sekitar pukul 20.15. Saya dan Oom Rudi sama-sama mengucapkan syukur. ”Alhamdulilah sampai jugo. Aku tadi dak takut binatang buas di sepanjang jalan itu. Yang aku takutke kalu ado rampok,” ujar Oom Rudi.
Jalan kabupaten
Ruas jalan dari Sepucuk hingga Cengal sepanjang 100 kilometer, kami tempuh selama 6 jam 30 menit atau sekitar 15 kilometer per jam. Sungguh, benar-benar perjalanan yang menyita waktu dan menguras tenaga.
Ruas jalan itu sebenarnya jalan kabupaten, bukan jalan provinsi, apalagi jalan nasional. Namun, apakah pantas kualitas jalan kabupaten seperti itu? Permukiman di Cengal sendiri pun, kata warga setempat, sudah ada sejak tahun 1911.
Mengapa warga tetap mau tinggal di Cengal? Ternyata, daerah itu merupakan sentra perkebunan karet. Tiap hari ada truk datang dari Palembang untuk mengambil karet yang merupakan komoditas utama di Cengal ataupun di Sumatera Selatan. Boleh jadi, ban mobil yang Anda gunakan berasal dari karet Cengal setelah dengan perjuangan menembus keluar dari daerah ini.
Di Kecamatan Cengal, juga tidak hanya ada satu, dua orang warga saja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), terdapat sembilan desa di Cengal dengan total ada 47.590 jiwa. Cengal sendiri pun ditetapkan sebagai kecamatan sejak tahun 1986.
Menurut warga, jalan di Cengal mulai dibangun dari jalan setapak menjadi jalan aspal selebar 4 meter pada tahun 1979/1980 ketika transmigran dari Jawa masuk daerah itu. Meski demikian, sejak dibangun, jalan itu tidak lagi pernah dipelihara!
Kami beruntung ketika warga mau memberikan keterangan. Apalagi, awalnya mereka sinis dengan kehadiran wartawan di Cengal. Selama ini, citra wartawan negatif di kawasan OKI. ”Di sini, banyak wartawan Rp 50.000. Artinyo, kalau dikasih Rp 50.000, urusan selesai,” ujar Niaga (45), salah seorang warga Dusun I, Desa Cengal.
Namun, setelah dijelaskan bahwa kedatangan kami punya niat baik untuk meliput jalan rusak agar mudah-mudahan direspons baik oleh pemerintah, kesinisan warga mulai memudar. Bahkan, mereka berinisiatif mengantarkan kami ke rumah kepala desa. Mereka juga menanyakan siapa saja narasumber yang ingin kami temui, dan mereka bahkan mengantarkan kami ke narasumber bersangkutan. ”Kami sudah dak tahan lagi dengan jalan rusak di sini. Kami minta nian daerah ini diekspos supaya Presiden (Joko Widodo) tau cak mano penderitaan kami,” ucap Niaga.
Seusai makan di warung, tepat pukul 21.00, kami diantar ke rumah Kepala Desa Cengal Bahar Usman. Pak Bahar juga sosok yang baik. Ia juga menawarkan kepada kami untuk menginap di rumah orangtuanya yang sudah kosong.
Memicu kematian
Hancurnya ruas jalan Sepucuk-Cengal ternyata berdampak sangat luas terhadap kehidupan warga di Cengal dan sekitarnya. Ketika jalan rusak makin parah, perekonomian warga terpukul. Truk-truk karet memang makin sulit melintas sehingga warga tidak dapat menjual karetnya.
Ketika berada di Cengal, kami pun menyaksikan tiap hari tidak lebih dari 10 truk karet yang masuk daerah itu. Padahal, biasanya, kata warga Cengal, tiap hari dapat singgah 20-30 truk karet. Warga akhirnya banyak yang menyimpan karet di kolam-kolam penampungan.
Akibat jalan rusak, ongkos kirim karet naik dari Rp 500 per kilogram menjadi Rp 1.000 per kilogram. Petani karet makin terpukul karena harga karet sedang jatuh dari Rp 11.000 per kilogram menjadi Rp 5.500 per kilogram sejak awal April. ”Sekarang, kami lah terlilit utang cuma untuk makan tanpa lauk,” ujar Khalal (60), petani karet di Dusun 5, Desa Cengal.
Jalan rusak juga memicu kematian. Dua tahun terakhir ini, ada lima perempuan meninggal duniat menjelang dan sesudah melahirkan. Mereka meninggal karena telat mendapatkan penanganan medis akibat jalan rusak parah.
Pembangunan infrastruktur ”gila-gilaan” harus diakui sedang dikerjakan pemerintahan ini. Di Palembang, di kota tempat saya tinggal, pembangunan light rail transit (LRT) juga sedang dikebut. Persoalannya, pembangunan infrastruktur seharusnya juga merata. Warga Cengal harus diingat juga merupakan warga negara Indonesia yang berhak atas infrastruktur transportasi yang layak.
Dari Cengal, kami merasa puas sudah melakukan reportase yang baik sesuai dengan standar jurnalistik Kompas. Kami juga berharap pemerintah setempat dapat bekerja keras untuk meringankan penderitaan warga Cengal.
Namun, sungguh kami belum dapat tersenyum lepas. Mengapa? Karena jelas, kami masih harus berkendara dari Cengal kembali menuju Sepucuk. Aduh...
Baca juga: