Pernah bekerja sebagai buruh migran di Singapura dan Hongkong selama enam tahun, Suprapti (43) akhirnya pulang ke Desa Masaran, Banjarnegara, Jawa Tengah. Dia kemudian berbagi pengalaman dan ilmu dengan mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak di sekitar rumahnya secara gratis. Pengalaman hidup di negeri orang pun mendorongnya mendampingi buruh migran dalam hal advokasi.
Selasa (2/5) sore, 11 anak usia SD dan SMP berbondong-bondong datang ke rumah Suprapti di RT 001 RW 001 Desa Masaran, Kecamatan Bawang, atau sekitar 9 kilometer dari Alun-alun Banjarnegara. Berbekal buku dan alat tulis, anak-anak itu duduk bersila mengikuti kursus bahasa Inggris yang diselenggarakan di ruang tengah rumah Suprapti.
Di ruangan berukuran sekitar 4 meter x 3 meter itu, anak-anak duduk beralaskan karpet dan spanduk bekas. Dengan sebuah papan tulis yang didirikan pada sebuah kursi, Suprapti memulai pelajaran bahasa Inggris.
Sapaan selamat datang dan pengantar pun disampaikan melalui bahasa Inggris.
Untuk mengetahui seberapa paham anak-anak dengan materi yang diberikannya, Suprapti memberikan kesempatan kepada beberapa anak untuk tunjuk jari. Saat itu dia meminta anak-anak menyebutkan nama hari dan bulan seorang diri. Jika terdapat lafal yang kurang tepat, Suprapti langsung mengoreksinya. Setelah selesai menyebutkan nama hari dan bulan, Suprapti mengajak semua anak untuk bertepuk tangan. Sebuah tanda dukungan dan selamat kepada mereka yang telah lancar dan hafal.
”Daripada anak-anak bermain-main di sore hari, lebih baik diisi dengan belajar bersama. Apalagi tempat kursus di kota jauh dari desa,” kata Suprapti.
Istri Torik Husein itu pergi merantau ke Singapura menjadi buruh migran pada 1994. Berbekal kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, lulusan SMEA Negeri Banjarnegara itu ingin mencari pekerjaan di negeri tetangga sebagai asisten rumah tangga.
Dua tahun di Singapura, Suprapti pulang ke Indonesia dan menetap di Yogyakarta bersama keluarga. Dia mengikuti kursus bahasa Inggris beberapa bulan, kemudian bekerja di sejumlah hotel sebagai sekretaris. Dia juga sempat mengajar di salah satu tempat kursus bahasa Inggris di Yogyakarta.
Membela buruh
Kemudian, pada 2005, usaha sang suami yang bergerak di bidang pengolahan kayu goyah. Suprapti pun memutuskan merantau lagi ke luar negeri menjadi buruh migran di Hongkong selama empat tahun. Dengan penghasilan sekitar Rp 4,5 juta per bulan, Suprapti bisa rutin mengirim uang untuk anak-anaknya.
Di perantauan sana, dia juga aktif bergabung di organisasi buruh migran bernama Amanah dan sempat bergerak di bidang advokasi pada Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia Hongkong (Kotkiho).
Suprapti aktif membela sesama buruh, antara lain, dengan memperjuangkan isu under payment atau penghasilan di bawah standar, biaya kemahalan, dan kasus kekerasan. Kepada sesama kaum buruh migran, Suprapti juga giat memberikan pelatihan bahasa Inggris, terutama setiap hari Minggu saat mereka libur kerja.
Bekerja jauh dari keluarga, terutama jauh dari kedua buah hatinya, yaitu Muhammad Husein yang kini berusia 19 tahun dan Zulaihah Husein yang kini berusia 16 tahun, membuat batin seorang ibu selalu merasa rindu. Apalagi, kesempatan pulang ke Tanah Air hanya dua tahun sekali.
Saat berlibur selama tiga minggu di Tanah Air, kedua anaknya yang masih kecil saat itu selalu protes dan merengek mengapa sang ibu mengurus anak orang di luar negeri dan tidak mengurus anaknya sendiri di rumah. Kedua buah hatinya meminta ibunya berada di rumah untuk menemani dan mendampingi mereka.
Pada 2009, saat usaha suami sudah mulai membaik, Suprapti pun kembali ke Banjarnegara. ”Anak saya dulu tidak pernah mendapat peringkat di kelas dan nakal sekali. Namun, setelah saya pulang dan mendampingi mereka, mereka menjadi juara kelas. Guru-gurunya heran,” kata Suprapti.
Sekembalinya ke Tanah Air, Suprapti sempat bekerja di Divisi Advokasi Migrant Institute di Surabaya dan kini menjadi Koordinator Keluarga Migran Indonesia Kabupaten Banjarnegara dengan total anggota mencapai 120 orang. Selain itu, Suprapti juga aktif menjadi relawan Dompet Dhuafa dan Paralegal Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Di Desa Masaran yang dihuni oleh sekitar 2.000 orang itu, sebagian besar warganya bekerja sebagai buruh tani. Sekitar 25 warganya merupakan buruh migran di sejumlah negara, seperti Malaysia, Taiwan, Singapura, dan Hongkong.
Di Banjarnegara, Suprapti merintis sejumlah pelatihan wirausaha bagi buruh migran yang sudah pulang ke Indonesia, seperti budidaya sidat dan keripik singkong serta koperasi. ”Saya menanamkan pandangan bahwa bekerja di dalam negeri atau dekat dengan keluarga, hati lebih tenang dan terutama anak-anak ada yang mendampingi,” ujarnya.
Di sela-sela kesibukannya itu, Suprapti mulai membuka kursus bahasa Inggris bagi anak-anak di desanya sejak 2014 hingga saat ini secara gratis. Semua anak dari berbagai usia dan kelas diajak bergabung untuk belajar bersama, terutama untuk berlatih berbicara dalam bahasa Inggris. ”Anak-anak mau datang dan belajar itu saya sudah senang, jadi buat apa saya memungut biaya dari mereka,” kata Suprapti yang hingga kini sedikitnya telah mengajar 35 anak.
Kegiatan sore anak-anak biasanya bermain bersama teman-temannya dan mengaji. Suprapti memanfaatkan waktu sekitar pukul 14.00-15.30, satu sampai dua kali dalam seminggu untuk mengajar bahasa Inggris sebelum mereka mengaji.
”Menyenangkan bisa belajar bersama teman-teman di sini, materinya juga jelas dan lebih bisa dipahami,” kata Devi Puspita Arum (12), salah seorang peserta kursus yang kini duduk di Kelas VI SDN 1 Masaran.
Terhadap pemerintah setempat, Suprapti berharap kehidupan buruh migran bisa lebih diperhatikan, terutama melalui peraturan daerah yang berpihak dan melindungi buruh migran serta penyediaan lapangan pekerjaan yang layak di daerah.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.