Berpacu bersama Pebalap Sepeda Tur Lombok Mandalika
Liputan balap sepeda Tour de Lombok Mandalika atau TDLM, yang digelar pada 13-16 April 2017, sungguh layak dikenang. Meski penulis sudah beberapa kali meliput tur balap sepeda di beberapa tempat, TDLM menjadi pengalaman yang sungguh berharga.
Selain panorama Lombok yang memesona dan medan yang berat, pengalaman meliput pebalap kelas dunia di TDLM 2017 dapat menjadi pengalaman berharga bagi siapa pun yang akan meliput tur itu di kemudian hari.
Meliput tur balap sepeda harus dipahami tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Ada aturan-aturan yang harus dipatuhi jurnalis.
Sebagaimana ditegaskan Ketua Commissaire dari Federasi Balap Sepeda Dunia (UCI) Peter Tomlinson dari Australia, kenyamanan dan keselamatan pebalap sepeda menjadi prioritas tertinggi dalam setiap tur balap sepeda.
Untuk mewujudkan kenyamanan dan keamanan pebalap itu, semua pihak yang terlibat dalam kegiatan balapan itu mengikuti sejumlah petunjuk. Commissaire, marshall, anggota tim pebalap, pebalap, dan juga media yang meliput balapan itu diarahkan sesuai aturan yang ada, terutama saat iring-iringan ketika balapan berlangsung.
Bagi jurnalis yang ingin meliput sepanjang balapan juga akan disediakan mobil khusus media. Akan tetapi, karena harus mengambil foto, penulis bergabung dengan fotografer lain, menumpang sepeda motor yang dikendarai petugas marshall.
Dalam ajang TDLM 2017, total marshall yang bertugas 40 orang, terdiri dari 10 marshall merupakan marshall nasional dari Jakarta dan sisanya dari Lombok dan Bali. Sepeda motor yang digunakan bervariasi, tetapi mayoritas adalah sepeda motor berkubikasi 150 cc.
Kompas memilih melaju bersama marshall yang menggunakan sepeda motor Yamaha NMax dengan pertimbangan lebih stabil untuk mengambil foto sambil berjalan, dan juga ukuran sadelnya cukup besar sehingga lebih nyaman untuk perjalanan jauh.
Perjalanan jauh? Ya tentu saja. Sebagai gambaran, pada etape I TDLM 2017, jarak tempuh yang harus dijalani pebalap, termasuk media yang mengiringinya, adalah 126,3 km dari pusat kota Mataram ke Pantai Kuta Mandalika di selatan Lombok. Etape kedua berjarak 113,3 km dari Pelabuhan Bangsal di bagian tengah sisi barat Lombok ke Senaru di utara bagian barat Pulau Lombok.
Pada etape ketiga dengan jarak 134 km (setara jarak dari Jakarta ke Bandung), pebalap mengayuh dari Pantai Kuta Mandalika ke Sembalun, di bagian utara sisi barat Pulau Lombok.
Sebuah etape paling cepat ditempuh dalam 2 jam 15 menit, bahkan pada etape ke-3 waktu tempuhnya mendekati 4 jam.
Berhenti dan jalan lagi
Meliput sekaligus mengabadikan tur balap sepeda membuat seorang jurnalis harus sering berhenti di sejumlah tempat yang tepat untuk memotret pebalap itu, dan kemudian kembali berjalan. Terkadang, untuk mendapatkan foto yang baik, penulis harus menunggu hingga seluruh barisan pebalap lewat di depan penulis sehingga penulis bersama marshall kemudian harus melaju kencang sambil berusaha mendapatkan kesempatan mendahului lagi barisan pebalap itu.
Persoalannya, kesempatan untuk mendahului pebalap itu tidak terlalu tersedia. Para pebalap yang sedang melesat umumnya menguasai hampir seluruh badan jalan demi mendapatkan celah untuk mendahului rival-rivalnya. Akibatnya, penulis ataupun beberapa fotografer lain sering kali ”terjebak” di tengah barisan pebalap. Seram juga sebenarnya.
Meski sudah memberikan ”sinyal meminta lewat” kepada pebalap dengan tiupan peluit oleh marshall secara berulang-ulang, klakson motor juga dibunyikan, pebalap tidak selalu memberikan jalan bagi kami untuk mendahului. Dapat dipahami karena mereka sedang berjuang keras dalam kompetisi itu.
Kalau sudah seperti itu, biasanya kami dari media-lah yang kemudian mengalah, dan membiarkan pebalap melaju di depan kami karena memang aturannya media tidak boleh terlalu lama berada di tengah barisan pebalap.
Akan tetapi, sering kali kami terpaksa mengambil jalur jalan tanah yang tidak dilalui pebalap untuk dapat mendahului mereka. Disinilah seorang marshall dituntut kemampuan yang tinggi dalam mengendarai sepeda motornya, dan motor yang dikendarai seorang marshall pun harus sangat baik kondisinya.
Melesat ”kesetanan”
Banyak orang mungkin mengira pebalap sepeda itu melaju dengan kecepatan di bawah 60 km per jam. Di jalan mendatar dan bukan zona yang ditetapkan untuk sprint, pebalap sepeda itu biasanya melaju dengan cukup ”santai” 40-50 kilometer per jam. Namun, di tempat-tempat yang sudah ditetapkan sebagai zona sprint, pebalap dapat melesat hingga 70 km per jam. Namun, itu belum kecepatan tertinggi mereka.
Saat-saat paling menegangkan untuk para marshall, dan juga kami dari media, adalah saat pebalap melaju dengan kecepatan sangat tinggi di jalan menurun. Di TDLM 2017, medan seperti itu cukup banyak dan dimanfaatkan pebalap internasional untuk memacu sepeda mereka secepat-cepatnya.
Sangat mengejutkan, melihat pebalap dapat melaju hingga 90 km per jam di jalanan menurun dan berkelok-kelok tajam. Jangan heran apabila para marshall, termasuk commissaire yang mengawal pebalap dengan menggunakan mobil SUV, harus tertatih-tatih mengikuti mereka.
Dalam kondisi jalan menurun dan berkelok-kelok seperti di sekitar kaki Gunung Rinjani, kecepatan motor 70 km pervjam saja sudah sangat sulit dikendalikan. Apalagi, saat pebalap melaju dengan kecepatan hampir 100 km per jam itu. Akibatnya, kami memutuskan lebih mendahulukan keselamatan kami sendiri, dan tidak berusaha mengejar pebalap yang seperti ”kesetanan” di jalan menurun dan berkelok tajam itu.
Singkat kata, kami ”menyerah” di jalanan menurun seperti itu. Kami sudah berupaya semaksimal mungkin, tetapi tetap memilih memberikan jalan seluas-luasnya untuk pebalap.
Di medan seperti itulah, kami menyaksikan kehebatan sejati seorang pebalap sepeda. Penguasaan bersepeda mereka yang luar biasa yang membuat mereka bisa melaju sangat kencang di jalanan menurun dan berkelok-kelok cukup tajam. Bahkan, di tur-tur balap di luar negeri, pernah tercatat ada pebalap yang melaju hingga 120 km per jam di rute-rute turunan.
Kemampuan seperti inilah yang belum dimiliki pebalap sepeda Indonesia. Pebalap Indonesia terlihat hanya sanggup melaju hingga 60 km per jam. Beberapa pebalap sempat mencoba mengikuti laju pebalap asing itu, tetapi yang terjadi kemudian adalah terjatuh karena gagal menguasai keseimbangan sepeda mereka.
Mencapai finis lebih awal
Tantangan lain bagi seorang fotografer adalah bagaimana dapat mencapai di garis finis sebelum ada satu pun pebalap yang mencapainya. Hal ini sangat tidak mudah karena pebalap tidak selamanya melaju dalam satu rombongan besar. Sering kali ada satu, dua, atau beberapa pebalap yang memisahkan diri dari rombongan besar dan melaju di depan, dan kemudian beradu sprint saat mendekati garis finis.
Karena itu, perhitungan saat untuk melepaskan diri dari pebalap dan segera menuju garis finis menjadi sangat krusial bagi seorang fotografer. Jadi, berdasarkan pengalaman, tidak sedikit fotografer yang gagal memotret saat pebalap melintasi garis finis karena ketidaktahuan atas rute yang mereka jalani. Maklumlah, hampir semua juru foto dan marshall tidak menyempatkan diri lebih dulu menyurvei rute yang akan dijalani.
Beruntunglah media yang dapat mengerahkan lebih dari satu fotografer sehingga dapat berbagi tugas dan tidak kehilangan peristiwa saat seorang pebalap masuk ke garis finis.
Melalui pengalaman ”di balik berita ini” menjadi nyata betapa tidak mudah meliput sebuah tur balap sepeda, apalagi dengan medan lintasan yang sangat menantang seperti di Lombok. Jurnalis tidak lagi cukup untuk sekadar mewawancarai pebalap sebelum atau setelah lomba. Liputan seberat apa pun juga pasti dilakukan oleh insan media untuk melayani pembaca atau penontonnya.
Baca juga: