Bertubi-tubi masalah merundung petani tebu dan hanya sebagian yang bertahan dan sebagian lainnya kembali ke usaha budidaya padi. Mereka yang bertahan tak ada pilihan lagi demi menjaga periuk nasi. Namun, tak sedikit dari mereka yang nekat keluar dari lingkaran ketidakpastian ketika ”rasa” tebu tak lagi manis.
Bagi Suparmin Sulistyo (48), warga Desa Krasakageng, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (10/5), bertani tebu saat ini sudah seperti bunuh diri. Lima tahun terakhir petani tebu merugi karena hasil panen tidak sesuai harapan. Ia pun beralih menanam padi sejak dua tahun lalu karena padi punya harapan lebih menguntungkan.
Selama 12 tahun Suparmin menggeluti tebu, tetapi akhirnya ia pun menyerah. Ia tak tahan lagi dengan lonjakan biaya produksi tanaman tebu yang kian tak sebanding dengan hasil panen. Pengalaman pahit terus ditelan Suparmin. Tahun 2013, ia menanggung kerugian hampir Rp 16 juta karena rendemen tebu rendah dan tanaman tebu banyak yang tumbang.
Hal itu berbeda dengan keuntungan bersih panen padi yang mencapai Rp 3,5 juta per hektar sekali panen. Dalam setahun, petani bisa panen dua kali, yang berarti petani mengantongi Rp 7 juta. Sementara keuntungan petani tebu hanya sekitar Rp 3 juta per hektar sekali panen, dan dalam setahun tebu hanya panen satu kali. Kini, sebagian besar petani di Kecamatan Sragi lebih memilih menanam padi ketimbang tebu. Alih fungsi lahan terlihat di sepanjang jalan di Sragi.
Lahan-lahan yang dulu ditanami tebu berubah menjadi kompleks perumahan, persawahan, dan lahan tanaman lain, seperti jagung, bawang merah, dan cabai. Sekitar 1 kilometer dari Pabrik Gula (PG) Sragi terdapat area penimbangan tebu dan jalur lori atau kereta api kecil pengangkut tebu. Namun, semua jejak kejayaan sejarah budidaya tebu tinggal menjadi bangunan kosong.
”Konon, jalur lori terhubung dengan beberapa pabrik gula di pantai utara Jawa Tengah, mulai dari Brebes (PG Jatibarang) hingga Pati (PG Trangkil),” ujar Sutoyo (65), mandor petani tebu Sragi era 1970-an.
Alih fungsi lahan
Menurut Sutoyo, era kejayaan petani tebu mulai surut awal tahun 2000-an. Satu mandor yang awalnya dapat mengoordinasi panen tebu hingga 1.100 kuintal per hektar kini 600-800 kuintal saja sudah sangat sulit. Salah satu penyebabnya adalah alih fungsi lahan tanam tebu.
Pemerintah tidak lagi tegas mewajibkan setiap desa mempunyai lahan tebu. Selain itu, produksi tebu juga semakin menurun karena kualitas dan kapabilitas mandor dinilai kurang. Mereka tidak sungguh-sungguh memantau kerja petani sehingga penggarapan lahan sering tidak sesuai prosedur.
”Akibatnya, banyak tanaman tebu yang tumbang karena angin. Selain itu, tinggi tebu juga tidak mencapai 5 meter dan rendemen rendah, tidak sampai 11 persen,” tutur Sutoyo.
Pada saat petani di Jateng mulai berpaling, petani di Jawa Timur berusaha bertahan meski diliputi keresahan karena dihantui anomali cuaca yang mengakibatkan rendemen tebu menjadi rendah. Salah satunya Hartoyo (40), petani di Desa Tomporejo, Kecamatan Singosari.
Kekhawatiran lelaki yang dari tahun ke tahun menanam tebu itu cukup beralasan karena sampai minggu kedua Mei 2017 cuaca masih mendung. Artinya, potensi hujan masih ada. ”Ya, khawatir. Tahun 2016, kan, hujannya hampir sepanjang tahun yang membuat rendemen rendah. Cuma 6 persen,” katanya.
Siang itu, Hartoyo membersihkan daun (gulut) tebu miliknya yang berumur lebih dari empat bulan. Gulut menjadi salah satu bagian wajib perawatan tebu selain pemupukan. Tujuannya agar batang tebu bisa tumbuh lebih sehat dan bersih.
Ini adalah pertunasan kesebelas tebu varietas Bululawang yang tumbuh di lahan seluas 8.000 meter persegi milik Hartoyo. Tebu-tebu itu diperkirakan baru akan ditebang (panen) akhir musim giling nanti, sekitar Oktober-November. Dia berencana menjual tebunya ke PG Kebon Agung, salah satu dari dua pabrik gula di Kabupaten Malang.
Menurut Hartoyo, dalam kondisi cuaca kurang mendukung dan rendemen rendah seperti tahun lalu, dirinya hanya mendapatkan hasil kotor Rp 25 juta. Penghasilan itu belum termasuk ongkos tebang Rp 5.000 per kuintal. Dengan lahan 8.000 meter persegi, ia menghasilkan 70 ton tebu.
”Tahun kemarin panen tiga truk Fuso (truk ukuran besar) atau 70 ton. Hasil penjualan kotor Rp 25 juta dikurangi biaya tebang Rp 3,5 juta. Penghasilan bersih saat itu Rp 21 juta. Kalau rendemen tinggi, pasti penghasilannya lebih tinggi,” kata Hartoyo, yang pernah mengalami rendemen sampai 10 persen.
Selain anomali cuaca, petani juga mencemaskan harga gula petani setelah pemerintah membatasi harga eceran gula di tingkat konsumen Rp 12.500 per kilogram. Saat ini, biaya pokok produksi gula mencapai Rp 11.500 per kilogram sehingga margin mereka sangat tipis.
Kecemasan itu disampaikan Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Cabang Olean Kabupaten Situbondo Taufik Arahman. Ia menilai persoalan harga gula petani jauh lebih meresahkan dibandingkan dengan rencana penutupan tiga pabrik gula di Situbondo.
Petani tebu asal Kecamatan Beji, Pasuruan, Imam Mahdi (42), mengatakan, minimnya keuntungan petani kerap membuat hasil panen hanya cukup untuk kebutuhan harian dan sewa lahan. Untuk memulai musim tanam baru, ia terpaksa meminjam uang.
”Beruntung musim tanam tahun ini PG Kedawoeng memberikan pinjaman Rp 15 juta per petani sehingga saya bisa melunasi utang tahun lalu dan memiliki sisa uang untuk modal tanam,” katanya. (GER/SYA/NIK)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.