Harkitnas, Jangan Lupakan Kedaulatan Digital
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Kebangkitan Nasional menjadi momentum untuk melakukan introspeksi terhadap kedaulatan digital di Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia masih dianggap pasar besar untuk segala jenis produk dibandingkan dengan daerah tujuan industri teknologi informasi komunikasi.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia Kristiono di sela-sela peringatan ulang tahun pertama Koperasi Digital Indonesia Mandiri yang juga bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), Sabtu (20/5), di Gedung SMESCO, Jakarta.
"Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang, Indonesia masih kerap hanya dipandang sebagai pasar produk teknologi informasi (TIK). Padahal, jumlah penduduk sebesar itu menyimpan potensi kreativitas dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membangun industri TIK," ujar Kristiono.
Koperasi Digital Indonesia Mandiri dirintis oleh Mastel Indonesia dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mulai awal 2016. Latar belakang pendirian koperasi adalah kekhawatiran pada masa depan karena industri TIK lokal masih kalah bersaing dengan asing di pasar dalam negeri.
Koperasi diresmikan Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga pada 20 Mei 2016. Jajaran kementerian/lembaga lain, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika; Kementerian Perindustrian; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Institut Teknologi Bandung; dan Badan Ekonomi Kreatif, turut mendukung keberadaan koperasi.
"Rata-rata volume konsumsi ponsel di Indonesia mencapai 100 juta unit per tahun. Sekitar 18-20 juta unit masih dipenuhi dengan cara impor. Pemakaian aplikasi bergerak, seperti media sosial, selalu masuk lima besar dunia," kata Ketua Koperasi Digital Indonesia Mandiri Henry Kasyfi menambahkan pernyataan Kristiono.
Pemilihan model bisnis koperasi karena berangkat dari pengalaman sejarah ekonomi Indonesia. Koperasi disebut-sebut sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Layaknya koperasi pada umumnya, Koperasi Digital Indonesia Mandiri mewajibkan setiap anggota memiliki simpanan pokok dan simpanan wajib.
Dana hasil simpanan pokok ataupun wajib diolah untuk memproduksi tiga pilar bisnis utama, yakni ponsel pintar, aplikasi, dan pengadaan jaringan pita lebar berupa satelit telekomunikasi. Nilai simpanan pokok sebesar Rp 100.000 dan simpanan wajib Rp 100.000 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun. Kedua jenis iuran itu dibayarkan langsung dimuka, lalu anggota akan mendapatkan sejumlah manfaat, seperti pembagian sisa hasil usaha koperasi, mendapat ponsel pintar buatan koperasi, dan manfaat lainnya.
Selama setahun beroperasi, Koperasi Digital Indonesia Mandiri sudah mampu memproduksi ponsel pintar level pemula dengan merek Digicoop. Untuk seri pertama Digicoop, spesifikasi yang dimiliki berupa layar 4,7 inci, prosesor quad-core 1,5 GHz, RAM 1 GB, kamera utama 5 megapiksel, kamera depan 2 megapiksel, memori penyimpanan internal 8 GB, Android 6.0 "Marshmallow", mendukung jaringan 4G LTE, dual-SIM, dan baterai 1.800 MHz. Ponsel itu resmi dirilis pada 20 Januari 2017.
Menurut Henry, ponsel Digicoop menjadi identitas anggota koperasi. Setiap anggota mempunyainya. Ponsel juga dijual ke non-anggota melalui mitra ataupun reseller.
"Mulanya kami hanya menargetkan bisa memproduksi dan mendistribusikan 1.000 ponsel Digicoop seri pertama hingga 1 Juli 2017. Tetapi, semuanya berjalan di luar ekspektasi kami. Saat ini, 2.600 ponsel dapat diproduksi dan didistribusikan kepada anggota dan non-anggota koperasi," katanya.
Untuk rencana jangka panjang, lanjut Henry, koperasi berencana memiliki satelit telekomunikasi. Rencana ini lagi-lagi berangkat dari keprihatinan anggota koperasi terhadap minimnya jumlah satelit yang dioperasikan perusahaan lokal.
"Jumlah operator satelit telekomunikasi secara internasional mencapai 60 operator. Di Asia Pasifik terdapat 35 operator dan lima di antaranya berasal dari Indonesia. Sementara sampai sekarang ketimpangan infrastruktur pita lebar masih menjadi persoalan Indonesia," ujarnya.
Pada saat bersamaan, Pelaksana Tugas Direktur Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Mochamad Hadiyana menyebutkan beberapa arah kebijakan pemerintah untuk mendukung kedaulatan digital, contohnya kewajiban tingkat komponen dalam negeri (TKDN), inkusi keuangan, dan perdagangan secara elektronik atau e-dagang.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian Achmad Rodjih mengemukakan, pihaknya sudah menetapkan kewajiban TKDN perangkat elektronika dan telematika, termasuk ponsel, sejak 2011. Langkah ini tetap dipertahankan sampai saat ini. Secara khusus bagi produsen ponsel 4G LTE, pemerintah sudah mewajibkan produsen memenuhi persentase TKDN mencapai 30 persen.
"Membangun ekosistem industri ponsel dalam negeri memang tidak mudah. Kita tidak bisa 100 persen menghapus impor. Secara perlahan, kami bangun hulu hilir keperluan ekosistem industri sehingga kelak keharusan TKDN bisa 100 persen," katanya.
Sesuai data Kementerian Perindustrian, nilai impor ponsel pada 2015 sebesar 2,2 miliar dollar AS dengan jumlah 37,1 juta ponsel. Produksi ponsel di dalam negeri mencapai sekitar 24,8 juta unit. Pada 2016, impor ponsel mencapai 773,8 juta dollar AS dengan jumlah 18,4 juta unit. Produksi ponsel di dalam negeri mencapai 25 juta unit. Kini terdapat lebih dari 20 produsen ponsel lokal dan asing berinvestasi di Indonesia.