Selama masih ada dangdut di Indonesia, saya rasa masih ada sesuatu yang menyatukan kita semua,” kata anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudi Latif, dalam obrolan sore, pekan lalu. Ia melihat musik dangdut, ditambah dengan banyaknya grup band yang manggung hingga ke kota-kota kecil di Indonesia, berandil besar dalam menyatukan perbedaan dan merajut kebinekaan.
Dangdut bahkan muncul di salah satu stasiun televisi selama berjam-jam dengan rating bagus. Musik jenis ini bahkan tetap ditayangkan saat sebagian besar media sibuk dengan Pilkada DKI Jakarta 2017. Berbagai sentilan muncul di media sosial, tetapi dangdut tetap bergema dengan pasarnya yang telah pasti. Indonesia membuktikan, pop culture atau budaya pop seperti dangdut menjadi satu jalan penyatuan, terlepas dari cap atau label tertentu pada dunia itu.
Seperti halnya dalam ”demokrasi”, di dunia budaya populer sebagian orang ”lebih setara ketimbang lainnya”, tulis pengamat budaya pop Ariel Heryanto dalam bukunya, Identitas dan Kenikmatan (2015). Kelompok-kelompok sosial yang lebih berorientasi elitis memandang rendah budaya populer, menghina, dan waswas. Sementara banyak kelompok jelata bersikap mendua. Sebagian bercita-cita naik kelas sosial dan sebagian lain merasa tersinggung oleh hiruk-pikuk budaya populer.
Dari dangdut, mari beranjak ke satu budaya populer yang sudah luas merambah ranah pasar remaja di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Dua hajatan besar, Indonesia Comic Con (ICC) dan Anime Festival Asia, yang digelar di Jakarta makin mendapatkan pasar. Promotor Reed Pop menggelar ICC sejak 2015 dan langsung meraup minat besar hingga puluhan ribu pengunjung. ICC akan kembali hadir pada Oktober 2017. Tagline mereka: We are Pop Culture!
Indonesia memiliki dangdut, seperti Korea Selatan memiliki K-Pop, yang mulai muncul akhir 1990-an. Sebelumnya, pada 1970-an, sebagian besar orang Korea masih asyik mendengarkan musik pop Amerika dan menonton film Hollywood. Tahun 1980-an, mereka menonton film-film Hongkong.
Pengamat budaya pop di Pusat Studi Budaya Asia Timur di Hongkong, Hyewon Kang Kim, dalam bukunya, Busy Korean (2014), menuliskan, gelombang budaya pop itu bermula dari dirilisnya film berjudul Shiri pada 1999 yang meraup 6 juta penonton. Lantas, masihkah kita tidak percaya pada kekuatan musik dangdut?
Olahraga
Semangat persatuan Indonesia juga terasa di olahraga seperti sepak bola. Para suporter yang kerap dianggap sekadar gerombolan pendukung fanatik, dan sebagian dari aksinya sering dekat dengan keributan, di sisi lain diam-diam menyuburkan semangat cinta Tanah Air dan rasa persatuan.
”Bagi kami, sepak bola merupakan bahasa universal karena tak ada sekat yang membatasi kami dalam bermain atau menikmati sepak bola. Dalam sepak bola, kami tak melihat hal-hal seperti agama, suku, atau pekerjaan seseorang. Kami cuma main bola, menonton bola, dan bergembira,” kata Ignatius Indro, Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia.
Indro mengenang pertandingan final laga pertama Piala AFF yang digelar di Stadion Pakansari, Bogor, 14 Desember 2016, antara Indonesia dan Thailand. Stadion dengan kapasitas 30.000 kursi penonton itu penuh dan banyak pendukung timnas tidak bisa memperoleh tiket.
Saat lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” dikumandangkan, semua penonton di Stadion Pakansari berdiri, banyak di antaranya mengepalkan tangan, dan stadion itu sepenuhnya seperti milik suporter timnas yang diliputi kebanggaan luar biasa. Indonesia menaklukkan Thailand, 2-1, dalam pertandingan itu meski akhirnya Indonesia kalah agregat 2-3 dari Thailand.
Di tengah mulai hangatnya kontestasi politik terkait Pilkada DKI Jakarta, pertandingan pada akhir 2016 itu menawarkan suasana yang jauh berbeda.
”Sepak bola tidak mengenal SARA. Timnas kita terdiri atas anak-anak bangsa terbaik yang berbeda latar belakang. Anggota timnas kita terdiri atas berbagai suku bangsa, dan ada pula pemain naturalisasi, serta orang asing yang kemudian menjadi WNI,” kata Indro.
Secara terpisah, penyelenggara pertandingan futsal Andi Zamzami, yang juga mantan Wakil Ketua Badan Futsal Nasional PSSI, menuturkan, anggota komunitasnya beragam, dan hal itu bukanlah penghalang bagi mereka untuk berprestasi dan berkompetisi.
”Olahraga mengajarkan kita bersikap sportif. Begitu kompetisi dimulai, apa yang dipikirkan ialah mengatur serangan, kerja sama tim, dan saling percaya satu sama lain,” katanya.
Tak hanya sepak bola dan futsal, Andi juga meyakini semua jenis olahraga mengajarkan orang untuk menghargai satu sama lain dan tidak berpikiran sempit. Kekalahan diterima, dan kemenangan diperoleh dengan cara jujur, sportif. Nilai-nilai olahraga itu berlaku universal.
Pendekatan budaya
Budaya dan olahraga tidak hanya diyakini menjadi media yang efektif untuk menjaga rasa persatuan dan kebangsaan.
”Budaya lewat produknya, yaitu kesenian, dapat menjadi cara jitu melawan paham radikalisme dan konservatisme yang kini semakin mengkhawatirkan,” kata pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasan Basri.
Menurut Hasan, selama ini upaya deradikalisasi banyak dilakukan melalui penyampaian wacana atau narasi. Namun, cara seperti itu semakin tak efektif. Memang, asumsi dasarnya, radikalisasi itu karena kesalahpahaman terhadap nilai agama. ”Namun, sebenarnya salah satu obat mujarab untuk melawan itu adalah lewat ruang tradisi dan kesenian,” katanya.
Dengan pertimbangan itu, Lesbumi terus melakukan berbagai kegiatan kesenian seperti di Yogyakarta. Berbagai pendekatan, seperti menggunakan medium film, seni lukis, pentas teater, dan literatur, ditempuh untuk menyebarkan nilai-nilai kebangsaan dan kebinekaan.
Pendekatan multikultural lintas budaya diyakini dapat menumbuhkan rasa kebersamaan di tengah ancaman disintegrasi sosial. Hasan mengatakan, sudah saatnya setiap kelompok di masyarakat yang selama ini terkotak-kotakkan berdasarkan identitas suku budaya agama bersatu untuk mencari titik pijak yang sama. ”Dalam hal ini, pesantren bisa memperkaya pemahaman agama dengan kultur lokal,” ujar Hasan. (IVV/AGE/REK/GAL)